Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Doa siang, untuk Mama dan Ayah.

Mama, Ayah,

apa yg bisa inas lakukan, Ma, Yah? Inas di sini cuma bisa berdoa dan menangis. Rasanya ingin berhenti dari semua ini. Berhenti kuliah, berhenti memikirkan tetek bengek bertitel masa depan, berhenti berandai. Dan hidup bersama kalian.

Cuma itu yg inas mau sekarang.

Please, ya Allah,
jaga mama sama ayah. Inas rela menukar seluruh waktu, harta, prestasi, nyawa, bahkan surga inas sekalipun, untuk mereka. Agar mereka tetap hidup, sehat, tegar, dan bahagia demi anak-anaknya.

Amin.

Oke, sebut gue lebay.
Yang jelas bagi gue, orang tua itu suatu mukjizat. Nggak ada mereka nggak ada gue.
Tanpa ayah, gue nggak ngerti agama gue.
Nggak ngerti siapa Tuhan gue, dan apa yg harus gue lakukan utk mencapai Surga.

Ayah nggak hanya ngenalin gue sama agama, tapi juga membuat gue menjadi perempuan yg seharusnya.
Perempuan yang sadar belajar. Perempuan yang bekerja. 
Berdaya, pintar, dan mandiri.

Ayah bahkan ngajarin gue gimana menggunakan palu, bor, kuas cat.
Memasak, menyapu, berkendara.
Ayah adalah segalanya. Ayah adalah hidupku.

Mama?
Jangan tanya. Beliau orang paling tegar di dunia, dan aku sangat mencintainya.
Mendengarnya sakit sama saja dengan GALAU stadium akhir.
Tangisan mama tangisanku, galau mama galauku.
Sama seperti tangisanku adalah tangisan mama, dan galauku adalah galaunya mama.
Mama tak pernah pergi dari sisiku sebelum aku berhenti menangis.
Mama akan berkata, "Mama juga rasanya pengen nangis kalau lihat kamu begini."

Mama ku bukan mama kalian, yg pandai menggunakan riasan wajah, berkebaya modern, menggenggam smartphone, bahkan lihai ber-laptop. Atau bahkan punya account Facebook?

Mamaku hanya merias wajah saat akan kondangan, itu pun seadanya. Ia tak menutupi keriputnya sedikitpun. Bajunya selalu gamis yg itu-itu saja. Ponsel? Oh no. Sampai sekarang mama tak tahu bagaimana mengirim SMS.

Itulah Mamaku. Beliau lebih suka berkutat di toko atau dapur. Hobinya memasak dan cari uang.

Dua manusia ini menjadi sangat berarti. Rasa itu muncul, sayangnya, setelah aku jauh dari mereka. Dan ini menyedihkan.

Aku mencintaimu, Ayah, Mama. Sepenuh hati, dengan seluruh jiwa dan raga.

Love,

Inas.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer