Langsung ke konten utama

Unggulan

CATATAN EMPAT TAHUN PERNIKAHAN: "Aku Benar pun Tetap Salah"

Bulan Juni lalu, menjelang ulang tahun pernikahan kami, di tengah momen berbalas chat dengan suami, aku baru menyadari sesuatu. "YANG! Kita tuh udah empat tahun nikah, lho. Kirain baru tiga tahun." Aku punya patokan khusus untuk memudahkan menghitung pernikahan kami. Tahun pertama menikah itu memorable karena aku harus operasi pengangkatan miom. Yes, halo sobat SC. Sayatan lukaku tentu enggak ada apa-apanya dibanding kalian, tapi sama-sama berbekas dan sering gatel atau nyeri kalau kecapekan. Tos. Sisanya maka tinggal ditambah usia Rawi, yang lahir di tahun kedua pernikahan kami.  Ada yang bilang, pernikahan itu yang penting komunikasi. Yes, penting banget memang. Seratus persen aktivitas pernikahan itu sangat terkait dengan komunikasi. Kran kamar mandi rusak, ngomong. Perlu belanja ini itu, ngomong. Pengen gantian momong anak, ngomong. Semua kesepakatan dalam rumah tangga, tentang ke mana anak akan disekolahkan, tentang bagaimana mendidik anak sesuai usianya, tentang mainan...

I have no idea.


Awalnya? I have no ide about what I do. 

Demi Tuhan, ini bukan pelampiasan. Aku hanya mencoba membuka kembali karat-karat kecil yang mulai menghinggapi hati, sebelumnya benar-benar karatan. Dan nyatanya ini susah. Dua tahun tak disapa sedemikian intim, rasanya hati ini benar-benar berat mengasihi.

Lalu semuanya berubah. Mulai dari candaan, sapaan, pertanyaan biasa, yang berubah menjadi “sayang”. Masih saja, I have no idea about what I do. I’m dead.

Lalu semuanya makin berubah. Kini kami sudah bukan dua orang asing. Bukan lagi dua teman lama yang berbagi kisah dan informasi sederhana. Semuanya menjadi serba spesial. Tidak lagi biasa, tapi mulai menjalin makna.

Kata “sayang”, “kangen”, semuanya sudah jadi sarapan, makan siang, dan makan malam sehari-hari. Mungkin malah makan sore. Perhatian yang dia berikan pun makin menjurus. Makin detail. Makin menuntut. Makin galak!

Memang belum seluruh hati aku berikan, dan tak akan pernah. Seperti nasehat seorang teman, “Jangan pernah mencintai sepenuh hati, kalau tak mau sakit belakangan.”

Bersyukur? Iya, aku tentu saja mensyukuri semua ini. Terima kasih Tuhan karena memberiku keajaiban, yaitu perhatian dan kasih sayangnya.

Bahagia? Umm, iya lah. Aku ada di posisi yang diinginkan para gadis. Aku memiliki seseorang yang menyayangiku, rela memenuhi satu dua tiga keinginanku, dan tak akan melepas matanya dari aku.

Akhirnya, aku menyayanginya.

Iya.

Aku menyayangi caranya memperhatikanku. Ia hampir selalu menghardik jika aku bande. Dia sangat baik. Tapi galak. Lol. Aku menyukai caranya mengungkapkan kejujuran. Meksi aku masih saja Inas yang posesif, yang sangat susah dibuat percaya.

Baiklah, mari mulai menjalankan peran. Sekarang, aku gadisnya. Tak ada yang bisa meraba sampai kapan. Aku pun tidak. Tak ada yang bisa menebak jalan ceritanya. Jadi, silakan duduk dan nikmati saja, sementara aku di sini menyusun cerita.

Morning!

Komentar

Postingan Populer