Syiah jadi isu santer di masyarakat. Walau sekarang gaungnya berkurang, tapi ia masih memberi kesan di benak orang: Syiah itu sesat!
Saya tidak berada pada kapasitas untuk menuduh ia sesat atau bukan, karena nyatanya Syiah juga memiliki beberapa aliran di dalamnya. Ada yang ekstrem, sampai tidak menabikan Nabi Muhammad saw., ada juga yang mengagungkan Khomeini, ada yang menilai buruk khalifah selain Ali bin Abi Thalib ra., dan sebagainya. Menurut yang saya pernah dengar, Syiah paling ekstrem sudah tak ada di bumi ini. Wallaahu a'lam.
Tapi, kalau mau dilihat secara general, ya memang ada salah kaprah di sekitarnya. Bagaimana mungkin ada aliran di Islam yang mengkultuskan satu khalifah? Bagaimana mungkin ada aliran di Islam yang menghalalkan mut'ah atau kawin kontrak/kawin sementara? Sama saja, maaf, dengan aliran lain yang membenarkan ada Nabi setelah Nabi Muhammad saw. Bagaimana ada Nabi setelah Muhammad?
Oke, saya tidak membahas bab itu. Kita akan mengenal bab lain: sejarah Syiah, yang sering terlupakan. Padahal menurut saya, bab ini justru paling penting untuk dipelajari. Kalau tahu sejarahnya, kita tidak akan buta dan asal teriak. Kalau tahu sejarahnya, kita pasti lebih bisa memahami.
Kalau paham sejarah, biasanya kita akan melangkah lebih serius dan jelas, melihat solusi semata.
*
Syiah dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok, atau golongan. Dalam terminologi Islam, Syiah ditafsirkan sebagai sebuah aliran kepercayaan yang menisbatkan diri kepada Islam, yang menyakini Ali bin Abi Thalib ra. dan keturunannya sebagai imam-imam atau pemimpin agama setelah Nabi Muhammad SAW. (Syahid, 2013:4-5).
Assegaf (2013:6) mengutip dari Harun Nasution yang berpendapat bahwa sepeninggal Nabi SAW., perkara yang diperselisihkan adalah bukan terkait dengan akidah, melainkan masalah politik, yakni tentang siapa yang harus meneruskan kepemimpinan umat. Beberapa sumber menyebutkan, bahwa masalah transisi politik kepemimpinan pasca wafatnya Nabi SAW. berlangsung saat keluarga Nabi SAW. sedang sibuk mengurus pemakaman jenazah Rasulullah, atau sekurang-kurangnya keluarga beliau masih dalam keadaan berkabung. Dengan demikian, masalah politik adalah sensitif.
Tampuk kepemimpinan pun dipegang secara berturut-turut oleh Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib dimana keempatnya kemudian dikenal dengan nama khulafa’ al-rasyidin (para khalifah yang lurus). Pada tiap peralihan ke-khalifah-an tersebut sebenarnya tidak sepi dari gejolak politik, dan yang cukup intens adalah transisi kekhalifahan Usman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib karena terbunuhnya Usman bin Affan dan munculnya tuduhan terhadap Ali ra. sebagai yang ikut bertanggung jawab atas kematiannya.
Ada yang menganggap Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman bin Affan ra. atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. Pada masa itu, terjadi pemberontakan terhadap khalifah Usman bin Affan ra., yang berakhir dengan kesyahidan Usman tersebut dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibaiat sebagai khalifah.
Memanasnya suhu konflik dan kekacauan tersebut mengakibatkan gejolak politik memuncak hingga timbul perang Shiffin, yang tak ubahnya sebagai perang saudara antara kelompok Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan Syi’atu Aliyin (kelompok Ali) atau disebut Syiah, dengan kelompok pendukung Muawiyah bin Abu Sufyan ra. yang berpretensi menuntut diadilinya tragedi pembunuhan Usman ibn Affan. Ditengah pergumulan di medan perang yang sebenarnya telah menelan banyak korban tersebut, maka dilakukan trik politik dengan diinisiasi oleh kelompok pendukung Muawiyah yang dipimpin oleh Amr ibn Ash untuk mengakhiri perang dengan kembali kepada Kitabullah atau melalui jalan tahkim (arbitrase), yang kemudian justru gagal. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali menentang kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada khalifah disebut Syiah Ali (Pengikut Ali).
Istilah Syiah pada era kekhalifahan Ali hanya bermakna pembelaan dan dukungan politik, hanya bersifat kultural dan tidak bercorak akidah seperti yang dikenal pada masa sesudahnya hingga sekarang. Sedangkan menurut Thabathabai (Ranuwijaya, dkk., 2013:23) Syiah muncul karena kritik dan protes terhadap dua masalah dasar dalam Islam, yaitu berkenaan dengan pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan yang menurut Syiah menjadi hak istimewa ahl al-bait.
Setelah Ali ra. wafat, Syiah terpecah menjadi tiga golongan. Pertama, kelompok yang berpendapat Ali ra. tidak mati terbunuh dan tidak akan mati, sehingga ia berhak menegakkan keadilan di dunia. Inilah kelompok ekstrim pertama, yang disebut Syiah Saba’iyah. Mereka terang-terangan mencaci serta melepas diri dari Abu Bakar, Umar, dan Usman, serta sahabat Rasulullah. Kelompok pertama ini dipimpin oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam dan mendukung Ali. Faktor inilah yang membuat orang menuduh bahwa sumber ajaran Syiah adalah dari Yahudi.
Kedua, kelompok yang berpendapat, imam pengganti sesudah Ali bin Abi Thalib wafat adalah puteranya Muhammad bin al-Hanafiah. Mereka mengkafirkan siapapun yang melangkahi Ali dalam Imamah, juga mengkafirkan Ahlu Shiffin. Kelompok ini disebut al-Kaisaniyyah. Kelompok terakhir berkeyakinan bahwa setelah Ali ra. wafat, imam sesudahnya adalah puteranya al-Hasan (Ranuwijaya, dkk., 2013:24-26).
Nah, itu sejarah yang saya kutip dari beberapa buku. Jadi, ada faktor politik dalam sejarah Syiah, sehingga ia tak sepenuhnya sebuah aliran keagamaan. Dukungan politik itu juga "dibumbui" rasa tinggi dari para pendukung Ali bahwa harusnya ahlul bait (anggota dalam rumah tangga atau orang rumah Nabi Muhammad) yang meneruskan tonggak pemerintahaan dan menyebarkan paham keagamaan, bukan "khalifah" lainnya yang tidak berasal dari rumah tangga Nabi Muhammad.
Baru-baru ini, saya mendapatkan penuturan lain soal sejarah Syiah, yang secara khusus saya kutip dari kitab Al-Lama'at yang ditulis oleh Badiuzzaman Said Nursi, seorang alim ulama dari Turki. Begini penuturannya:
… ada sebuah isyarat singkat yang mengarah pada masalah yang sangat besar sampai-sampai ia masuk ke dalam pembahasan buku-buku akidah dan termuat bersama pokok-pokok keimanan. Ia adalah masalah yang memicu perselisihan antara kalangan Ahlu Sunnah dan Syiah. Masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Kalangan Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Imam Ali ra. merupakan khalifah keempat di antara para khulafa ar-rasyidin. Abu Bakar ash-Shiddiq ra. lebih utama dan paling berhak terhadap kekhalifahan. Karena itu, dialah yang pertama-tama menerima tongkat kekhalifahan.
Namun menurut kalangan Syiah, “Hak kekhalifahan tersebut berada di tangan Ali ra. Hanya saja ia kemudian dizaimi. Ali lah yang paling utama dari semua khalifah yang ada.”
Kesimpulan dari keseluruhan argumen mereka adalah bahwa banyak sekali hadits yang menyebutkan keutamaan Sayyidina Ali ra. Ia merupakan rujukan bagi sebagian besar wali dan jalan-jalan sufi sehingga ia disebut sebagai sultanul awliya (pemimpin para wali). Selain itu, ia memiliki berbagai kemuliaan baik dalam hal pengetahuan, keberanian, dan ibadah. Terlebih lagi, Rasul saw. telah memperlihatkan hubungan yang sangat kuat dengannya dan dengan ahlul bait yang berasal dari keturunannya. Semua itu menjadi petunjuk bahwa Ali ra. adalah yang paling utama. Jadi, kekhalifahan merupakan haknya, hanya saja kekhalifahan itu kemudian dirampas darinya.
Jawaban dari pernyataan di atas adalah sebagai berikut: Pengakuan berulang kali yang diberikan oleh Sayyidina Ali ra. dan para pengikutnya terhadap tiga khalifah sebelumnya, pengangkatan dirinya sebagai Syaikhul qudhot (Hakim Tertinggi) selama 20 tahun lebih, merupakan kenyataan yang membantah klaim kalangan Syiah. Apalagi berbagai kemenangan Islam dan perjuangan melawan para musuh berlangsung di masa tiga khalifah sebelumnya. Sementara pada masa kekhalifahan Ali ra. terjadi banyak fitnah. Hal ini tentu juga membantah klaim Syiah dari sisi kekhalifahan. Artinya, klaim yang diberikan kalangan Ahlu Sunnah adalah benar.
Barangkali ada yang berpendapat bahwa golongan Syiah (pendukung dan pengikut Ali ra.) terbagi dua: Ada Syiah wilayah (yang menempatkan Ali sebagai rujukan para wali) dan ada pula Syiah khilafah (yang meyakini Ali sebagai orang yang paling layak sebagai khalifah). Salahnya golongan kedua karena tercampurnya antara politik dan kepentingan-kepentingan tertentu dalam klaim mereka.
Golongan pertama, yang justru terbebas dari percampuran tersebut. Anggaplah golongan yang kedua ini bersalah karena masalah politik dan kepentingan telah bercampur dalam klaim mereka. Akan tetapi pada golongan pertama tidak terdapat kepentingan atau keinginan politis apa pun. Tapi pada gilirannya, Syiah wilayah juga tercampur dengan kelompok Syiah khilafah. Maksudnya, segolongan wali yang mengarungi jalan sufi memandang bahwa Sayyidina Ali ra. sebagai orang yang paling utama. Sehingga mereka juga membenarkan klaim Syiah khilafah yang memasuki wilayah politik.
Jawaban atas pendapat tersebut adalah bahwa Imam Ali ra. harus dilihat dari dua sisi: Yang pertama, sisi kepribadian beliau yang mulia dan kedudukan pribadi beliau sebagai cerminan dari sosok ahlul bait. Tentu saja sebagai sosok ahlul bait ia memantulkan substansi Rasul saw.
Dilihat dari sisi yang pertama, semua ahlil hakikat –termasuk Imam Ali ra. sendiri yang berada di garda terdepan- telah memuliakan Abu Bakar ra. dan Umar ra. Mereka menganggap keduanya sebagai orang yang lebih utama dalam pengabdian mereka terhadap Islam dan kedekatan mereka kepada Ilahi.
Lalu dilihat dari sisi yang kedua di mana Imam Ali ra. dipandang sebagai cerminan sosok ahlul bait. Sebagai sosok ahlul bait yang mencerminkan hakikat Muhammad saw., ia sama sekali tak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Dan jika ditinjau dari sisi yang kedua ini telah banyak hadits-hadits Nabi saw. yang isinya memuji Imam Ali ra. serta menjelaskan berbagai keutamaannya. Di antaranya adalah hadits sahih yang berbunyi, “Keturunan setiap nabi berasal darinya (Adam as.), sementara keturunanku berasal dari Ali.”
Ada pun berbagai riwayat yang terkait dengan kepribadian Ali ra. dan pujian terhadapnya yang jumlahnya lebih banyak daripada khalifah-khalifah lainnya, hal itu disebabkan oleh karena kalangan Ahlu Sunnah telah menyebarkan berbagai riwayat terkait dengan Imam Ali ra. guna menghadapi serangan dan celaan kaum Umayyah dan kaum Khawarij yang ditujukan kepadanya. Sementara para khulafa ar-rasyidin lainnya tidak mengalami kritikan dan celaan seperti itu. Dengan begitu, tidak ada alasan yang mendorong mereka untuk menyebarkan hadits-hadits yang terkait dengan keutamaan para khalifah lainnya.
Kemudian, Rasul saw. melihat dengan kacamata kenabian bahwa Sayyidina Ali ra. akan menghadapi berbagai peristiwa menyakitkan dan berbagai fitnah internal. Karena itu, beliau menghibur Ali ra. sekaligus mengajarkan umat Islam dengan hadits-hadits yang mulia. Misalnya, “Siapa yang aku sebagai walinya, maka Ali juga walinya.” Hal ini untuk menolong Ali ra. dari keputusasaan, serta untuk menyelamatkan umat ini agar jangan sampai mempunyai prasangka buruk terhadapnya.
Kecintaan berlebih yang ditampakkan golongan Syiah waliyah kepada Sayyidina Ali ra. dan sikap mereka yang mengutamakan Ali ra. atas yang lain dari sisi tarekat tidak menjadikan mereka memikul pertanggungjawaban yang sama besarnya dengan yang dipikul oleh Syiah khilafah. Sebab, para wali tersebut memandang Ali ra. dengan pandangan cinta seorang murid terhadap mursyidnya. Dan biasanya orang yang sedang mabuk cinta mempunyai sikap yang berlebihan dengan memandang kekasihnya. Begitulah sebenarnya pandangan mereka. Gejolak cinta berlebihan yang ditunjukkan oleh para wali itu masih berpeluang untuk dimaafkan dengan syarat sikap mereka yang lebih memuliakan Imam Ali ra. tersebut tidak sampai pada tingkat mencela dan memusuhi para khulafa ar-rasyidin lainnya. Serta, tidak sampai keluar dari prinsip-prinsip dasar Islam.
Adapun golongan Syiah khilafah, karena sudah bergelut dengan kepentingan politik, mereka tidak mungkin lepas dari sikap permusuhan dan kepentingan pribadi sehingga tidak mendapat hak untuk ditoleransi. Bahkan mereka justru menunjukkan sikap dendamnya terhadap Umar ra. yang dibungkus dalam bentuk kecintaan terhadap Ali ra. Sebabnya, bangsa Iran merasa telah disakiti oleh Umar ra. sampai-sampai sikap mereka itu sesuai dengan sebuah ungkapan yang berbunyi, “Sebetulnya bukan karena cinta pada Ali, tetapi karena benci pada Umar.” Tindakan Amru bin al-Ash yang melawan Ali ra., serta tindakan Amru ibn Sa’ad yang memerangi Sayyidina Husein ra. dalam perang yang memilukan dan menyakitkan telah mewariskan kebencian dan permusuhan yang sangat hebat bagi kalangan Syiah terhadap nama yang berbau Umar dan sejenisnya.
Sementara golongan Syiah wilayah mereka tidak pernah mengkritik kalangan Ahlu Sunnah. Sebab, kalangan Ahlu Sunnah tidak merendahkan kedudukan Ali ra. bahkan mereka secara tulus sangat mencintainya. Hanya saja mereka menghindarkan sikap cinta berlebihan sebab hal itu berbahaya seperti yang disebutkan dalam hadits. Adapun pujian Nabi saw. terhadap kelompok pengikut Ali ra. sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits, sebetulnya hal itu mengarah kepada kalangan Ahlu Sunnah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang mengikuti Sayyidina Ali ra. secara konsisten. Karena itu, mereka juga disebut sebagai Syiah (pengikut) Imam Ali ra.
Apabila golongan Syiah wilayah berpendapat bahwa Imam Ali ra. telah diakui mempunyai keutamaan yang luar biasa maka sikap yang melebihkan Abu Bakar ra. di atas Ali ra. tidak bisa diterima, pernyataan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Martabat kenabian jauh lebih mulia daripada derajat kewalian bahwa satu gram kenabian lebih berat daripada satu kilo kewalian. Dari sisi ini, bagian yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar ra. dalam mewarisi kenabian dan menegakkan hukum-hukum Islam lebih besar. Kedamaian yang terjadi pada masa kekhalifahan mereka bagi kalangan Ahlu Sunnah menjadi buktinya. Keutamaan pribadi Ali ra. tidak membuat jatuh kedudukan mereka itu. Imam Ali ra. telah menjadi Hakim Tertinggi (Syaikhul Qudhot) bagi kedua tokoh tersebut di masa kekhalifahan mereka. Dan ia menghormati keduanya.
Buanglah segera konflik yang tak ada artinya, batil dan berbahaya di antara kalian. Jika kalian tidak membuang konflik tersebut, maka kaum lalim akan menyibukkan kalian dengan saling bertengkar antara yang satu dengan yang lain. Serta, mereka akan mempergunakan salah satu di antara kalian sebagai alat untuk membinasakan yang lainnya.
Karena itulah, kalian harus cepat-cepat membuang hal-hal sepele yang bisa menimbulkan konflik. Sebab kalian adalah ahli tauhid. Pada kalian ada ratusan ikatan suci yang bisa menjadi faktor pendorong bagi terwujudnya persaudaraan dan persatuan.
*
Menurut saya, kutipan dari Ustaz Said Nursi ini melengkapi sisi sejarah yang sebelumnya belum ada. Nah, dengan mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya Syiah, saya harap ini menjadikan kita tidak asal membenci tanpa tahu sebabnya, tidak asal menuduh tanpa ada alasannya. Terlebih, Ustaz mengingatkan bahwa kita harus segera membuang hal sepele yang bisa menimbulkan konflik, dan jangan sibuk bertengkar satu dengan yang lain. Dengan menunjukkan kebencian, itu akan membuat kita dibinasakan oleh orang yang memanfaatkan rasa benci kita itu, kata Ustaz tadi. Dan, sepertinya, itu sudah terjadi. Sejak dulu. Di Indonesia. Coba ya nanti saya kepo-kepo lagi.
Menuduh seseorang menganut Syiah? Bagaimana bisa? Wong Syiah itu salah satu karakteristiknya adalah: harus menyembunyikan identitas ke-Syiah-an mereka. Jadi, tuduhanmu bakal mental dan bahkan jadi fitnah, dan itu bahaya. Kecuali, yang bersangkutan memang mengakui dirinya Syiah.
Lebih baik kalau kita bicara soal solusi. Tidak maukah penganut Syiah (di Indonesia) diajak untuk berbaik diri dan kembali ke fitrah? Ke ketauhidan dasar? Yang tak tercampur baur oleh perkara kekhalifahan juga politis? Wong kalau bicara tauhid saja, sudah ada banyak persepsi, hehehe.
Kalau tidak, ya sudah. Bukankah kita tidak boleh memaksa dalam beragama? Apalagi sampai menjahati mereka, menzalimi dan merampas hak, membakar rumah, mengusir, waduh. Bukan maksud saya memberi ruang bagi kesalahkaprahan, tapi zaman sudah tidak seperti dulu. Politik, teknologi, kriminalitas, teror, semua berkembang luas dan masif. Kita perlu melihat lebih dekat untuk tak membuatnya terlalu blur dan bias.
Tapi itu, sebagai prinsip: jauhi pertengkaran yang tak berujung. Wallaahua'lam.
Sumber:
Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ranuwijaya, Utang, Cholil Nafis, Fahmi Salim, dkk. 2013. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia. Jakarta: Forum Masjid Ahlus Sunnah.
Syahid, Akrom. 2013. “Syi’ah, Sejarah dan Doktrin Kesesatan”. Dalam majalah An-Najah September 2013.
Komentar
Posting Komentar