Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

A Journey to Baitullah

Baitullah.

Di tempat ini, tidak ada harganya mana kaya mana miskin, mana hitam mana putih. Mana pejabat mana tukang parkir. Lalu semuanya bertasbih, bertakbir, menangis, menjeritkan doa-doa dalam hati. Semua sama. 

Kesempatan berumroh itu datang, alhamdulillah, lewat Ameh saya.Awalnya masih nggak percaya. Berbulan-bulan ngurus administrasi, kesehatan, imigrasi, juga masih nggak percaya rasanya. Masa sih gue bisa lihat Ka’bah? Masa'?

Namira pernah memberi dukungan kepada saya di jejaring Path. Saat itu saya mem-posting foto Ka’bah dari hotel Ayah saat Ayah umroh. Saya tulis caption-nya, “Nggak bisa ngebayangin bahagianya Ayah lihat Ka’bah, setelah selama ini doi selalu bilang pengen ke sana.”

Di postingan itu, Namira bilang, semua orang bisa ke sana. Saya harus percaya bahwa Allah akan mengundang saya ke rumah-Nya dan merasakan langsung beribadah di dekat Ka’bah.

Ternyata benar, alhamdulillah, kami mampu jadi tamu di rumah Allah.


MENDEKATI HARI H,
kami disibukkan dengan persiapan ke Tanah Suci. Beli kerudung bergo (kerudung putih berukuran besar dan menutupi dada), sarung tangan, sepatu khusus, masker, mukena, baju tebal. 

Kami bongkar isi lemari untuk mengumpulkan gamis-gamis atau baju panjang dan longgar yang kami punya. Sisanya beli, yang penting longgar dan nyaman. Yang terpenting bagi gadis rentan sakit macam saya adalah obat migren dan salonpas satu truk, hehehe. Soalnya konon di sana bakal dingin, takutnya saya masuk angin dan migren. Alhamdulillah sih sampai sana nggak perlu minum obat migren, tapi tetep butuh pakai salonpas banyak.

Saya masih merasa ngawang saat packing. Rasanya kayak, “Beneran ini gue bakal lihat Ka’bah? Bakal lihat Mekkah dan Madinah? Ya Allah… kok bisa… ini kayaknya mimpi, deh...”


THE JOURNEY… STARTED!
Kami lebih dulu kumpul di Bandara Ahmad Yani Semarang, lalu lanjut ke Jakarta untuk jemput beberapa jamaah yang berangkat dari sana. Di Jakarta, kami menunggu untuk naik pesawat Qatar Airways menuju Doha, Qatar, untuk transit. Perjalanan dari Jakarta ke Doha memakan waktu sekitar 7 jam, lalu dilanjutkan perjalanan ke Madinah sekitar 2 jam. Yap, proses umroh kami dimulai di Madinah, baru ke Mekkah.

Sekitar 7 jam di pesawat, rasanya pegel-pegel happy karena untuk pertama kalinya ngerasain naik pesawat ke luar negeri. Nggak bosen di jalan karena ada banyak film yang bisa ditonton, walau saya alhamdulillah memilih untuk banyak tidur karena sampai Madinah pasti nggak bakal berhenti deh jadwal ibadahnya. 

Anyway, ada kejadian istimewa di Bandara Soekarno Hatta, saat menuju ke terminal pesawat Qatar Airways, saya mendapati suasana tiba-tiba lebih sunyi dari biasanya. Lalu saya tengok pintu masuk keberangkatan luar negeri, sudah ada beberapa personil keamanan di sana. Ada yang berseragam hijau, biru muda, dan batik cokelat. Seseorang mendatangi kami yang terhenyak menyaksikan pemandangan aneh ini. Terdengar teriakan-teriakan, “Jokowi! Pak Jokowi!”

Set! Saya dan adik-adik berhenti. Weh, Jokowi? Kami langsung berdiri mendekati pintu masuk walau petugas mulai mengusir. Seorang ibu berkata lirih, “Biarin kek, Pak. Orang mau liat Presiden sendiri malah diusir.”

Dalam keheningan yang aneh, Pak Jokowi betulan turun dari mobil diikuti seorang lelaki bertopi, berjalan menuju antrian masuk terminal. Saya kira itu ajudannya. Eh, saat topi dibuka, wajah Kaesang terlihat, ia mencium tangan bapaknya, lalu pamit masuk ke terminal. Udah deh, langsung bubar lagi itu antrian dan kami pun kembali ke tujuan asal.


SAMPAI DI MADINAH..
Langit sudah gelap saat kami mendarat di Madinah. Suhunya 15 derajat! Beda kalau dingin dari AC lah ya, karena kita bisa atur suhu atau pakai selimut kalau kedinginan. Lah ini, bener-bener udaranya, hembusan anginnya, itu dingin-dingin seger tapi menghujam ke tulang. Mana aku anaknya lemah *astaghfirullah* Alhasil saya nggak pernah melepaskan masker, biar wajah tetap hangat. Saya juga setia menutupi kepala dengan tudung jaket. Tak lupa kaos kaki tentunya.

dingin-dingin nyampai bandara


Dari bandara, kami naik bus ke hotel Al-Manaar. Sampai di hotel, saya, Mama, dan Farah langsung bersiap mengejar waktu shalat Isya di Masjid Nabawi.

Nabawi… Masjid agung yang selalu istimewa. Sebanyak apa pun manusianya, Nabawi tetap damai dan menentramkan.

Saya rasa, itulah masjid terbesar yang pernah saya lihat. Luaaaaas banget, dan saat waktu shalat tiba, semua orang berebut masuk ke dalam masjid. Lantai marmer di pelataran masjid sungguh dingin. Saya aja sampai kayak anak alay apaan tau, pakai masker, jaket ditutup sampai ke kepala, kaos kaki, sarung tangan, lengkap lah. Freezing parah.

Pelataran masjid sudah penuh orang, tapi kami tetap meringsek, berusaha masuk ke dalam masjid. Kami hendak masuk ke masjid lewat Gerbang Umar ibn Al-Khattab, saat seorang penjaga wanita meneriaki kami, “Penuh, Ibok! Penuh! Penuh!” sambil menggerakkan tangannya, menyuruh kami keluar dari area masjid. 

Saya perhatikan wajahnya. Pasti orang Arab karena ia fasih berbahasa Arab. Bercadar rapat. Tapi kok bisa bahasa Indonesia? Keren juga. Walau kata “Ibu” terdengar seperti “Ibok” di telinga saya. Lucu. Mungkin karena itu bukan bahasa ibu mereka.


Salah satu pintu masuk Masjid Nabawi

Tak sempat lama-lama saya perhatikan para penjaga ini karena saya dan Mama langsung menyelinap masuk shaf paling depan di luar Gerbang Umar. Selesai shalat Isya, seluruh jamaah berdiri lagi untuk shalat sunnah. 

Awalnya saya bengong. Saya pandangi tulisan Umar bin Khattab lekat-lekat. Sayyidina Umar… Ini saya di mana? Beneran di Madinah? Ya Allah… ini tempat kok tenang banget padahal orangnya mbludak…

Saya banyak menangis malam itu. Cuma bisa sujud syukur sambil nangis-nangis. Mimpi apa aku ya Allah, bisa sampai shalat di sini? Aku bisa sebegini dekat dengan Makam Nabi Muhammad, bisa sebegini makin dekat dengan rumah-Mu. Bisa merasakan dinginnya Madinah. Merasakan cantik dna tenangnya Madinah. 




Berikutnya, kami pulang dan makan malam. Makanan hotel di Madinah secara keseluruhan menurut saya lebih enak daripada waktu di Mekkah << agak trauma sama rasa tempe pas di hotel Mekkah huhuhu. Tapi kalau daging, lebih enak di Mekkah. Well, ada kurang lebihnya lah. Tapi tetep, enak-enak aja buat saya asal ada kerupuk!

Untuk minumnya, jamaah umroh disediakan beberapa pilihan. Jus jeruk, jus jambu, dan fanta yang rasanya seperti dioplos air putih karena nggak begitu berasa sodanya, tapi tetep enak, nggak terlalu manis kan jadinya. Disediakan juga mangkuk besar berisi serbuk kopi, susu, dan gula. Di sinilah surga dunianya Mama, pecinta kopi susu. Doi bisa kapan pun bikin kopi susu, minuman yang harus ada tiap doi membuka mata.

Jam makan kami sama kayak di Indonesia: sarapan, makan siang, makan malam. Kami membiasakan diri bangun pukul 2 pagi, lalu ke masjid untuk tahajud dan I’tikaf sampai Subuh. Selesai shalat Subuh itu sudah jam 7-an, jadi kami langsung ke hotel untuk sarapan. Pengennya waktu habis untuk ibadah, bukan di kamar hotel.

Saat di Madinah, kami dijadwalkan ziarah ke beberapa tempat. Kalau tidak ada jadwal ziarah, ya kami menghabiskan waktu dengan i’tikaf di masjid, (berusaha) masuk Raudhoh, atau berkeliling lihat kota Madinah. Itupun nggak jauh-jauh perginya. Paling hanya lihat-lihat toko.



Selama di tanah Haram, entah kenapa saya nggak banyak ingat dengan urusan duniawi seperti waktu di Indonesia. Beda banget! Saat di Indonesia, baru bangun tidur aja udah langsung siapin ini itu, jaga toko, bikin list hari ini perlu ke mana aja dan ngerjain apa aja, jam berapa harus udah di rumah lagi buat jaga toko. Bisanya refreshing hanya malam hari, di Gedung Dakwah Muhammadiyah, ngaji Al-Qur’an sama ibu-ibu. Kalau mau jalan malam dengan teman, itu harus Jumat, Sabtu, atau Minggu.

Ibaratnya, Indonesia adalah dunia nyata. Du-ni-a. Sedangkan Madinah adalah…. khayangan. Surga di bumi. Tempat ibadah. Sehingga lebih banyak terbayang dengan ibadah dibanding aktivitas lain. Bahagia banget rasanya bisa bangun pagi buta dan jalan kaki ke masjid untuk tahajud. Ya Allah, udah kangen rasanya pengen ngerasain momen-momen itu dan balik ke Madinah :(


Selepas shalat Subuh di Nabawi


Mandi? Hm, mandi, kok. Tapi… you know… airnya dingin sedingin-dinginnya-dingin. Kayaknya emang lagi musim dingin sih di sana. Mungkin kalau tengah tahun enggak sedingin ini. Muthawwif atau pembimbing umroh menyarankan kami mandi sekali aja sehari karena kondisi sekitar seperti air dan udaranya bisa jadi bikin tubuh kita kaget, takutnya nanti malah sakit dan nggak bisa ibadah dengan baik. Tapi tetep harus mandi demi kebersihan badan. 

Agaknya, hukum “mandi sekali sehari” ini justru sudah umum di daerah Mekkah dan Madinah. Karena toh tubuh nggak kotor-kotor amat. Keringat juga nggak banyak. Seringnya malah nggak berkeringat, lho. Kecuali kalau habis thawaf, sa’i, itu wajib mandi, karena keringat kita udah nyampur juga sama aroman tubuh orang lain karena berdesak-desakan saat memutari Ka’bah.

FYI, orang-orang sana udah paham banget sama kebiasaan orang Indonesia yang mandinya dua kali sehari. Bagi mereka, orang Indonesia itu boros air. Air hotel cepet habis gegara itu. Hahaha, ada aja.

Tapi mungkin kalau sama air zam-zam mereka nggak sensitif, ya. Di sini air zam-zam turah-turah, kalau istilah orang Jawa. Banyak banget. Apalagi di Masjid Nabawi, kamu bisa menemui bertong-tong air zam-zam, lengkap dengan gelas siap minumnya. Tersedia biasanya di dekat pintu masuk masjid. Kamu juga bisa bungkus dan bawa pulang kalau pengen. Tinggal tuang ke botolmu aja.

Selama di Tanah Haram, kami didampingi oleh 3 muthawwif (sebutan untuk pembimbing ibadah haji dan umroh): Pak Fauzan, Mas Ilham, dan Mas Ikmal. Mas Ikmal ini eksis banget, by the way. Terakhir sih saya perhatiin dia juga jadi pembimbing umrohnya para artis ibukota :’)

I can’t feel my feet –
Bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kaki saya lebih banyak digunakan untuk berjalan dan duduk. Kalau nggak jalan jauh, ya duduk lama. Itu bikin kondisi kaki saya nggak baik. Telapak kaki kayak udah mati rasa, tapi karena fun dan seneng jadi ya… terlupakan deh semua nggak enak itu, hehehe.





DOA TAHAJUD DAN ORANG YORDANIA
Madinah dan Mekkah mempertemukan semua Muslim, dari mana pun asal mereka dan bagaimana pun latar belakangnyaIni salah satu ceritanya.

Mama selalu bawa kitab doa kemana-mana. Setiap selesai shalat tahajud di Masjid Nabawi, kami akan baca doa Tahajud yang panjang nian. Karena panjang, maka kami gantian baca doanya. Dan karena ada beberapa kalimat dalam doa yang kurang familiar, maka kami terbata-bata membacanya.

Mungkin itu malam kedua di Masjid Nabawi. Seorang perempuan paruh baya duduk di samping saya. kami bertegur sapa. Ah, jelas ia tidak berbahasa Inggris. Dan ini agak susah. 

Tapi yauds. 

Ibu ini duduk di samping saya dan membaca Al-Qur’an, sementara saya, Mama, dan Fara baru selesai shalat Tahajud dan mulai membaca doa Tahajud bergantian. Seperti biasa, saat ada kata yang susah, kami berhenti dulu, lalu lanjut membaca.

Ibu ini mengamati kami, lalu ia menawarkan diri. Awalnya ia bicara dengan bahasa Arab, tapi saya tak paham dan hanya menjawab, “I am sorry?”

Ibu itu mungkin paham bahwa saya tak bisa berbahasa Arab, maka ia mengulangi dalam bahasa Inggris, “Read? Can I read?” tanyanya seraya menunjuk buku doa kami. Mungkin Si Ibu menangkap kesusahan kami, sehingga ia tergoda untuk membantu. 

“Oh, na’am, na’am, alhamdulillah,” jawab saya dalam bahasa Arab yang secuil, artinya, “Oh iya, iya, alhamdulillah.” Alhamdulillah ada yang bantu baca, hehehe.

Beliau pun mulai membaca dan masya Allah, lancaaaar betul. Pada doa tertentu beliau mengulanginya beberapa kali. Misalnya, doa untuk kedua orangtua, doa mohon ampun, dan doa mohon dimudahkan saat kematian. Kami larut hingga menangis dibuatnya.

Selesai membaca, kami ngobrol. Beliau datang dari Yordania. 

Karena waktu Subuh masih lama, kami terus mengobrol. Dalam keterbatasan berkomunikasi (kadang doi pakai Bahasa Arab juga, soalnya. Campur lah), ia menunjukkan foto-foto suami dan keluarganya, makanan favoritnya, semua aktivitasnya deh diceritain. Lumayan biar nggak terlalu ngantuk, hihihi. 

Saat akan berpisah, Ibu ini memeluk Mama, Fara, dan saya, seraya menempelkan pipinya ke pipi saya dan berdoa. Lama sekali. Sayup-sayup saya dengar ia mengucapkan shalawat. Setau saya memang cara bersalaman orang beda-beda. Kalau Turki gayanya beda lagi, Indonesia beda, Yordania mungkin demikian juga.

Ia lalu melepas senyum. Aih, seneng banget rasanya bisa kenalan dengan muslim dari beda negara. Sedih pula rasanya harus pisah secepat itu.

*

Malam terakhir di Madinah, kami bertiga melakukan tahajud lagi di Masjid Nabawi, dan membaca doa Tahajud seperti biasa. Tak lama, datang dua perempuan muda yang duduk di depan kami. 

Lalu selesai tahajud, kami membaca doa yang sama, dipimpin oleh Mama. Di tengah pembacaan doa, salah satu perempuan muda itu berbalik menghadap kami, lalu tangannya diangkat, ikut berdoa. Mama pun jadi grogi dilihatin perempuan itu. Lalu Mama menyodorkan buku doa pada si perempuan muda, disertai senyum lebar.

Me?”
“Can you read for us?” tanya saya. “Will you?”

Si perempuan muda mengangguk dan menerima buku doa itu, lalu membacanya. Fasih, lancar. Selesai berdoa, perempuan ini masih menghadap kami. Ia tatap kami satu per satu. “Malaysia?” tanyanya.

“No. Indonesia. Andonesy,” sahut saya. “Turki?” saya tanya balik.
Ia menggeleng. “Jordania.

Yordania.
Lagi.

“Wah, sama kayak Ibu kemarin yang baca doa tahajud buat kita, Mah. Orang Yordania,” kataku.

Lalu, perempuan ini bertanya.
“You can read Al Qur’an?”
“Of course.”
“What surah can you read?”
“Hmm… my favorite surah is Al-Mulk.”
“Can you read? Only one ayah?”

Kami pun membuka surat Al-Mulk dan membaca ayat pertama. Perempuan Yordania itu lalu menggelengkan kepala, sambil berkata, “Masya Allah, masya Allah.”

What?

Saya dan Fara berpandangan. Kami tak bisa membaca maksud raut wajah perempuan ini. Ia tampak kaget. Apakah kami melakukan kesalahan? Mungkinkah kami salah mengeja?

Perempuan ini berusaha mengatakan sesuatu, namun karena kemampuan Bahasa Inggrisnya kurang, ia menepuk punggung perempuan yang datang bersamanya tadi. Rupanya mereka kakak-adik. Si Adik mengatakan sesuatu tentang kami, lalu meminta kami membaca Al-Mulk ayat pertama lagi. Setelah itu, sang Kakak menggelengkan kepala.

“Masya Allah, masya Allah. It is very good. You can read it nicely.”

Wah, terharu banget dipuji sama orang Yordania yang lebih fasih bahasa Arab. Padahal kami bacanya juga biasa aja.

“You can only read this?”
“I am sorry?”
“You can only read Al-Mulk?”
“No, I can read the whole Qur’an.”
“You can read all of it?”
“Of course.”

Oh ternyata, mereka-mereka ini terkesima bahwa ada orang yang tak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibunya namun mau belajar membaca Al Qur’an bahkan bisa membacanya dengan baik.

Waaaah :”)

Adzan Subuh berkumandang. Kakak-Adik ini kembali ke tempatnya dan mempersiapkan diri untuk shalat. Kami masih bengong, saling pandang. “Alhamdulillah ya kalau ngajinya kita dibilang bagu,” kata saya.

Entah kenapa bisa begitu. Dua kali kami dibantu baca doa, dua kali itu juga dibantunya sama orang Yordania. Walau belum ketemu apa makna peristiwa ini (karena saya percaya nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini). Tapi buat saya, ini bakal jadi secuil kenangan yang akan membuat Madinah terasa selalu dekat dan istimewa.  


Dear calon suamiku, mari kita tinggal di kota ini suatu saat nanti :')


Istimewanya RAUDHAH
Sebelum ini, Ayah dan Ameh-ameh saya sudah beribadah ke Tanah Suci. Mereka menceritakan serunya aktivitas mereka di Mekkah dan Madinah. Seluruh rangkaian ibadahnya seru. Kejadian uniknya juga bikin pengen ngerasain langsung. Misalnya, saat ke Mekkah, Ameh saya pernah membatin dalam hati, “Hawanya panas sekali, ya. Kangen minum es.”

Dan… sim salabim, tiba-tiba seorang perempuan Arab menyodorkan minuman ber-es ke Ameh saya, dan Ameh bengong, lalu minum air itu. Segar sekali, katanya. Banyak hal-hal ajaib terjadi di sana. Saya juga mengalami beberapa. Baca terus, ya! *ceilah

Dari seluruh cerita itu, saya paling penasaran dengan tempat bernama Raudhah. Tentu sama Ka’bah juga penasaran, dong. Tapi dari ceritanya, saya masih belum terbayang seperti apa serunya masuk Raudhah.

Raudhah merupakan area makam Nabi Muhammad saw. Area Raudhah berada di dalam Masjid Nabawi. Tempat ini memiliki keistimewaan tiada tara karena Raudhah adalah taman Surga. Di tempat ini juga, doa-doa lebih utama dipanjatkan.  

Sebelum masuk ke Raudhoh, Ameh berpesan, “Kamu harus berusaha dapat shalat di shaf paling depan. Tempat itu akan penuh sesak oleh manusia dari segala penjuru dunia, maka hati-hatilah dan tetap berusaha maju ke baris paling depan. Dalam perjalanan ke sana, jika kamu lihat ada tempat yang cukup untuk shalat, maka langsunglah shalat di tempat itu saat itu juga. Shalat hajat, taubat, apa pun. Sampaikan doa-doamu. Jika sudah shalat, langsung berdiri, karena kalau kelamaan bisa-bisa kamu terinjak-injak jama’ah lain. Selesai shalat, kamu tetap harus berusaha maju ke depan, ke sajadah hijau, karena di situlah tempat utamanya untuk berdoa.”

Ayah menambahkan, “Kamu harus kuat sendirian, Kak. Jangan takut terpisah sama rombongan, karena hampir pasti terpisah. Ayah dulu juga bilang sama Ami, nggak usah pegangan tangan, daripada sakit dan malah nggak dapat shalatnya. Mending sendiri-sendiri aja, berusaha shalat di tempat yang baik, lalu ketemuan lagi pas keluar Raudhoh.”

Tapi gimana sama ibu-ibu yang sudah sepuh? Kalau mereka kenapa-kenapa gimana? Kalau mereka keinjek-injek gimana? Wah, berarti saya harus jagain Mama dan adik saya. Ketahanan fisik saya juga harus bagus nih, biar bisa berjuang dengan baik pas di Raudhah, biar nggak gampang jatuh atau goyah saat disenggol kanan-kiri. Itu yang menempel di benak saya.

Then, the day is coming. Kami masuk Raudhah.. sekitar Dhuha, mungkin. Saya lupa tepatnya. Tapi yang jelas hari itu belum terlalu sore. Untuk masuk ke Raudhah, kita perlu antre karena banyak rombongan jama’ah lain yang mau masuk juga, sementara tempatnya sangat kecil dibanding jumlah jama’ah. 

Ada peraturan yang ketat di sana. Ibu-ibu Arab penjaga pintunya jauh lebih galak, hehehe. Mungkin hanya 40-an orang yang bisa masuk dalam sekali waktu. Sembari antre, kami baca doa dan istighfar sebanyak-banyaknya, memohon agar nanti bisa shalat di shaf terdepan di Raudhah.

Lalu.. tibalah giliran kami masuk. Gruduuuk! Kami berjalan cepat supaya lekas masuk, lekas shalat, lekas doa, lekas kelar. Ternyata betul. Woaaaaaaw. Raudhah betulan ramaaaaaai! Manusia berdiri berdekatan tanpa jeda. Di Raudhoh, saya membentengi dada dengan tas, sedangkan tangan kanan saya sesekali memegang belakang kepala, takut-takut kena sikut jamaah dari Arab, Pakistan, karena mereka kebanyakan tinggi besar. Hehehe.

Setelah beberapa kali berhenti untuk shalat, akhirnya alhamdulillah kami sampai di karpet hijau, karpet terdepan. Mama shalat di depan saya, gantian dengan Fara, barulah saya. Selama Mama dan Fara shalat, saya berdiri di belakang mereka untuk melindungi mereka, karena, ya, begitulah, suasana terlalu ramai dan orang bisa tanpa sadar menyikut saudaranya. Dorong-dorongan sudah biasa, sehingga takutnya orang tak sengaja terdorong lalu oleng dan menjatuhi Mama atau Fara. Jadi saat yang lain shalat, kami saling gantian menjaga.

Tak banyak yang saya minta. Saat jatuh sujud di Raudhah, saya hanya menangis dan menangis. Bersyukur, mohon ampun, mohon jodoh. Itu aja terus diulang-ulang. Kebanyakan mohon ampun sih, hehehe, lebih mudah untuk ingat dosa soalnya, saking banyaknya :”)

Tiap berjalan di sekitar Tanah Haraam, saya seringnya berpikir: ya Allah, saya banyak dosa, banyak nakal, banyak janji nggak saya tepati. Tapi lihat sekarang? Allah kok masih mau sih kasih aku kesempatan berdiri di tanah ini, berjalan dengan sehat ke rumah-Mu, Kau kasih aku kebisaan untuk mendatangi rumah-Mu, memudahkan panggilan-Mu. Bagaimana bisa? Bagaimana Kau masih mau berbaik-baik sama aku, hamba-Mu yang menjijikkan ini? Kata-kata itu terus berputar di kepala saya, saat saya menggandeng Mama menuju masjid, setiap saat saya melihat sekitar. Sambil nangis, tentunya...

Kembali ke Raudhah.

Selesai shalat, kami berputar menuju jalan keluar. Sudah lelah juga lihat ibu penjaga yang berkali-kali teriak, “Keluar, Ibok! Ukhruj! Ukhruj!ukhruj berarti perintah beliau untuk keluar. Ibu penjaga ini berdiri menyender di salah satu tiang dan memberikan aba-aba dari sana demi menjaga ketertiban di Raudhah. Setahu saya, hampir semua pekerja di Masjid Nabawi adalah orang Timur Tengah, tapi ada juga beberapa orang Indonesia yang saya temui waktu itu.

Saat berada di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, kita kudu hati-hati. Karena umumnya saat berdesak-desakan kita akan jengkel dan mudah emosi. Nah, jangan sampai tersulut mengeluarkan omongan yang kasar, karena itu akan menodai niat baik kita. Wah, ini susah. 

Makanya banyak istighfar deh, udah. Yang namanya kesenggol, disesel-sesel waktu shalat, diterobos antrian makan, didorong-dorong waktu masuk Masjid, wah, harus terbiasa itu. Apalagi, kalau yang nyengol atau ndesel atau nerobos atau ndorong adalah lansia. Waduh, jadi nggak tega, kan.

Ada satu kejadian saya didorong oleh ibu-ibu Arab waktu masuk Masjid Nabawi untuk shalat Isya. Bener-bener keras sampai saya hampir terjengkang ke depan dan terpleset dari sajadah. Saya spontan mendesah, “Allah, Allah, ya Allah…”

Si Ibu tau kayaknya kalau saya hampir terjatuh dan (jujur saja) saya kesal. Beliau lalu memeluk saya dari belakang sambil mengelus dada saya. Katanya, “Astaghfirullah, astaghfirullah, sorry.” Saya langsung merangkul tangannya dan tersenyum. Ini masih mending. Ada yang bener-bener nggak peduli dan tetap mendorong kita. Dorong-dorongan ini terjadi karena semua orang berebut ingin shalat di dalam masjid, karena lebih hangat, mungkin. Area di luar masjid jauuuh lebih dingin. Tapi, anehnya, suasana di dalam maupun di luar masjid sama tenangnya. 

Sebelum sampai ke Tanah Haram, saya sempat bertanya-tanya, gimana caranya kita bisa dapat air zam-zam saat di Masjid? Bukankah pasti susah? Pasti antre? Aish, ternyata enggak sama sekali. Air zam-zam tersedia bertong-tong, baik di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram.


Jangan takut haus, zam-zam siap menuntaskan dahagamu

Pulang dari shalat di Raudhah, ya Allah, rasanya lega karena sudah merasakan langsung suasana Raudhah, tapi juga capek banget. Padahal “cuma” shalat dan doa ya, tapi berdesak-desakannya itu bikin badan lemas seketika, hehehe. Tentu saja kami terpisah, tapi alhamdulillah saya, Mama, Fara, dan Ameh Yi tetap bersama. Setelah itu, kami kembali ke hotel untuk makan siang dan menemui saudara kami lainnya, lalu kembali lagi ke masjid untuk shalat Dzuhur.

Setelah 3 hari di Nabawi, kami lanjut ke Masjidil Haram. Sebelum ke sana, kami mengunjungi Kebun Kurma terlebih dulu. Noted: kurma terenak adalah kurma Ajwa. Nggak terlalu manis buat saya, pas dan enak! Hmm, jadi ingat, saya dulu nggak suka kurma. Bener-bener nggak mau. Sama kayak saya nggak suka durian dan nangka. Weird aja gitu. Tapi suatu hari, Ayah maksa saya untuk nyoba. “Kalau kamu tetep nggak suka, ya nggak papa.” Ternyata… :”)))

Enaaaak! Inas emang payah, sih.

Setelah ke Kebun Kurma, kami ambil miqat sekaligus niat umroh di Bir Ali. Di tempat ini, ada sebuah lorong panjang menyerupai terowongan yang disebut Terowongan Casablanca-nya Mekkah.


Terowongan Casablanca ala-ala


KA’BAH, SIMBOL SEJARAH SEKALIGUS KEBESARAN ALLAH
Sejak menapakkan kaki di Mekkah, sampai masuk ke Masjidil Haram, saya merasa melayang. It’s coming. The time I see Ka’bah with my own eyes, for the very first time. Gugup banget rasanya. Lebih dari gugupnya ketemu kamu #ea #tetepAlay

Sebelum masuk Masjidil Haram, kami melepas sandal dan memasukkannya ke plastik, lalu menalikan ujung plastik ke tas slempang. Jadi kami bisa dengan mudah membawa sandal kami ke mana pun di dalam area masjid. Lalu… jreng, saya masuk ke dalam masjid. Belum terlihat Ka’bah di sana. Saya sangat nervous. "Mana Ka'bah-nya? Mana? Kok gue nggak lihat?" Berisik banget isi kepalaku.

Kami pun digiring ke area shalat untuk shalat sunnah. Lalu, ini dia detik-detik melihat Ka’bah… saya merasa melayang. Kaki saya serasa tak menapak tanah. Otak rasanya kayak diangkat. Rasanya kayak mimpi.

OMG, nggak ngerti lagu gue nggak ngerti lagi deh ini ya Allah kok bisa ya Allah duh gimana ini bentar lagi gue liat Ka’bah mana coba Ka’bahnya kok nggak ada? Mana kok nggak ada?



Lalu… detik berikutnya, saya menangis. Udah deh nggak peduli lagi sama orang sekitar, karena yang lain juga sama-sama nangis dan sibuk dengan doa masing-masing. Tante berkali-kali mengingatkan, “Banyak-banyak lihat Ka’bah selama kita di dalam Masjid. Lihat terus, sambil baca doa terus.”

Nggak mau, saya nggak mau lihat pemandangan lain selain ini. Inilah titik Kiblat saya selama ini. Setiap shalat, saya menghadap ke sini. Ke Ka’bah, kiblat seluruh umat Islam di dunia. Ini dia. Kotak besar berselimut kain hitam. Dengan benang emas mengitarinya. Allahuakbar indah banget. 

Di sinilah, keagungan-Mu menyala-nyala. Pada putaran inilah, umat tak henti menggaungkan dzikir. Pada poros inilah, poros yang tak pernah tidur, selalu saja ada kobar-kobar iman yang menyala dan membuat umat mampu memutari Ka’bah, menghambakan diri di hadapan Tuhannya. Akhirnya, saya bisa melihat tempat ini. Saya bisa ada di sini. Rasanya perjalanan melelahkan di pesawat itu nggak ada artinya. Rasanya malah saya ke depan Ka’bah itu dengan teleportasi. Pindah tempat. Kayak diangkat terus cling! Sampai di depan Ka’bah. Nggak berasa semua capeknya. Lemes, tapi lemes karena rasa syukur dan nggak percaya.

Muthawwif meminta kami membaca doa melihat Ka’bah. Semua menangis. Semua ingat dosa. Semua memanjatkan pinta. Tak pernah hening, tak ada yang alpa. Suara sesak karena menangis, suara anak-anak berceloteh, suara takbir dan tahlil, suara doa thawaf, semuanya melebur di udara. Dengung yang lirih dan indah. Allahuakbar.


Tapi ada yang aneh…
Saya berkali-kali menatap Ka’bah, tak percaya, kenapa kok Ka’bah begitu dekat? Setiap melihat televisi, nampaknya Ka’bah ada di tengah-tengah lapangan yang luaaaaas sekali. Saya bayangkan sebelumnya, Ka’bah akan terlihat kecil dan jauh karena areanya yang luas, apalagi dengan banyaknya orang yang melakukan thawaf (memutari Ka’bah).

Tapi…. kok gini?

Begitu masuk area thawaf, saya bengong. Kok… kok Ka’bah terasa sangat dekat? Area thawafnya tak seluas yang saya bayangkan. Rasanya dengan sekali melompat saja saya akan bisa menyentuh Ka’bah. Saya bisa menembus lautan manusia ini dan menyentuh Ka’bah. Padahal kalau lihat di televisi, lingkaran Ka’bah ini luaaaaaaaas, lho! Seneng banget rasanya….

…ternyata Ka’bah tak seeksklusif itu.  

Allah jadikan Ka’bah jadi dekat untuk kita. Ya Allah, dekat sekali..

Ada rimbunan rasa di dada yang membuat saya betah menatap Ka’bah. Bersyukur iya, bingung iya, senang juga iya. Terima kasih, ya Allah, karena Engkau telah menjadikannya mudah dan dekat.

Untuk pertama kalinya juga saya merasakan sa’i. Menurut saya, saat sa’i itulah titik lelah saya meningkat, hahaha. Saya dan sepupu saya bernama Mila terus bersama-sama di barisan paling belakang. Kami berjalan pelan sambil membaca doa sesuai buku panduan. Kadang kami saling tatap dan tersenyum lebar. Senang, tapi capek. The struggle is real, kata Mila. Badan sudah capek sejak di bandara karena harus gotong-gotong koper segede gaban, plus sampai sini pun nggak ada waktu banyak untuk merebahkan badan. Itu resiko, tentu. Jadi tidak masalah. Memang pasti ada harga yang harus dibayar.  The struggle is real, bahagianya juga real.

Setelah sa’i, kami antre untuk tahalul atau potong rambut. Bagi perempuan, dipotongnya sedikit, di ujung rambut saja, itupun tanpa membuka jilbab, yakni dengan merogoh bagian bawah jilbab. Bagi lelaki, boleh dipotong sedikit atau gundul sekalian.

Capek, tapi seru, jadinya senang.

Selama di Mekkah, kami singgah ke Jabal Uhud dan Jabal Rahmah bersama rombongan. Kadang, selesai shalat Isya, saya dan adik-adik berlama-lama menghabiskan waktu berjalan menyusuri jalanan Mekkah, dari Masjidil Haram ke hotel.

Suasana Mekkah beda sekali dengan Madinah. Madinah kota yang tenang. Banyak orang, tapi nggak banyak suara, nggak rusuh lah. Di sekitar Masjid Nabawi dan hotel, kamu bakal menemui banyak taksi dan kendaraan, tapi mereka tak berisik–catatan: taksinya nggak pakai mobil sedan, tapi…. wah, kamu googling sendiri deh, coba. Sopir taksinya pun, waduh… kamu coba googling sendiri, hahaha. Saya dan adik-adik bengong lihat abang-abang sopir taksi yang tampan rupawan, pakai sorban, setia senyum setiap saat. Kami langsung menunduk dan mengucap lirih, “Subhanallah, indahnya ciptaan-Mu, ya Allah.” Hehehe.

Sedangkan Mekkah… Mekkah itu betul-betul mirip Jakarta. Ramai sekali. Orang-orang berbicara lebih keras di sana. Kata muthawwif kami, barangkali perbedaan itu bisa dipahami dari sejarah Nabi Muhammad. Masyarakat Mekkah memang cenderung keras saat bicara dan bertindak. Simpelnya; petugas keamanan di Mekkah cenderung menertibkan jama’ah dengan berteriak keras “Ya Hajj!” (Hei, Haji!) atau “Ya Andonesy!” (Hei, orang Indonesia!) sambil mendorong atau menggebrak pembatas jalan. Sementara, petugas keamanan di Madinah cenderung menertibkan jama’ah dengan lebih lembut, kecuali kalau sudah kebangetan.  


Personally, I love Madinah so much.
Saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Madinah dengan ketenangannya, kedamaiannya, pesonanya, semua begitu membius. Adik saya setuju. Kami berencana pindah ke Madinah. Kalau bisa, cari pasangan yang mau diajak hijrah ke sana #ea. 

Saking pengennya, kami pernah berencana jualan bakso saja di sana. Karena, kalau ngejar beasiswa, masa tunggunya setahun. Itu juga kalau keterima, dan, masalahnya, perempuan harus didampingi mahrom. 

“Apa pun caranya, deh. Kita pindah ke sana. Pelan-pelan. Misalnya aku sama kamu dulu, ngerintis usaha apa pun di sana. Lalu, kalau udah mayan, bisa nyewa rumah, bawa Ayah sama Mama ke sana,” itu obrolan kami sebelum tidur, sepulang umroh, hehehe.

Yang ada di benak; kami harus pindah, karena.... rahmat Allah memang tersebar di muka bumi. Tapi buat saya, Madinah adalah tempat yang sempurna. Ada kesan yang begitu kuat setelah saya merasakan beribadah di Masjid Nabawi. Wah, berat banget rasanya meninggalkan Madinah dan kenangan itu. Bener, deh…

:')

Dingin-dingin berburu es krim
Dasarnya kami demen makan, jadi ya mainnya ke kedai kebab atau es krim hehehe. Untuk bisa nyicipin es krim atau minuman lainnya di Madinah, kamu bisa main ke kedai es krim ini di dekat Hotel Al-Manaar, luruuus saja. Nggak hanya hotel Al-Manaar, sih. Ada deretan ruko panjang membentang di sekitar Masjid, dan di situ banyak kamu temui penjual kebab, burger, suvenir, juga es krim.

Agak nekat sih, dingin-dingin makan es krim. Yeah, namanya juga demen, hehehe. Es krim di Madinah menurut saya biasa saja, tapi jusnya enak banget. Es cokelatnya juga mantap! Kenyang, segar, dan nggak terlalu manis.

Di Mekkah, kami juga berburu jajan. Waktu singgah di Jabal Rahmah, lagi-lagi saya nyicipin es krim yang dijual di pinggir bukit, dan rasanya…. biasa saja. Mau tau di mana tempat beli es krim yang enak di Mekkah? Tenang, nggak jauh, kok. Justru adanya di dekat Masjidil Haram. Tak jauh dari pintu masuknya, ada kedai es krim yang enaaaaak banget! Kalau ke sana, kamu harus cobain es krim slash-nya. Mantap! Terenak! Dengan tiga warna dalam satu scoop. Aaaaak jadi kangen!

Selain itu, kami juga mencicipi kebab dan burger. Kalau burger sih standar, lah. Tapi kebabnya beda. Kulit atau doh-nya itu lebih tebal dan lebar, dagingnya sedikit tapi mantap. Kebab ini dijual di deretan toko dekat hotel kami menginap. Ada toko aksesoris dan oleh-oleh juga di sebelahnya.

Nah, saat plesir itulah, saya jadi tahu bahwa orang sana pun belajar bahasa Indonesia dan menghapalkan kata-kata tertentu sebagai strategi marketing mereka. Inggris? Hahaha, jarang dipakai malahan :D


Bahasa Indonesia, Bahasa Kedua
Ibaratnya, Bahasa Indonesia sudah jadi bahasa yang dipraktekkan di sini, jangan-jangan kedua setelah Arab, LOL. Baru mendarat di Madinah saja, saya langsung dengar para Ibu penjaga pintu Masjid Nabawi menggunakan bahasa Indonesia untuk menegur wajah-wajah Indonesia.

“Ibok (maksudnya ibu), periksa tas!”
“Penuh, Ibok! Di luar saja! Shalat di luar!”
“Tidak boleh duduk di sini, Ibok!”
“Pindah! Pindah!”

Saat belanja, banyak pula pedagang Arab dan India yang menggunakan kata Bahasa Indonesia untuk menarik pembeli. Misalnya, saat singgah ke sebuah toko di dekat Masjid Nabawi:

“Masok sini, ayo masok!”
“Lihat dulu, kakak!”
“Baju murah, Kak. Baju murah, bagus, ayo bagus bagus!”
“Indonesia Jokowi bagus! Jokowi bagus!”
“Kakak lihat dulu, Kakaaaak!”

Atau saat di Balad, Mekkah:
“Kakak, mampir Kak. Lihat dulu, Kak!”
“Om telolet om!” Buset, mereka tau beginian HAHAHAH!
“Om telolet om ayo, Kak dilihat bajunya!” << apa siiih iiniii nggak nyambung tapi lucu karena diucapkan sesuai logat mereka, hahaha!

Balad memang surganya belanja. Harga juga bisa ditawar banget di sini. Saya dan Fara naksir sebuah tas di Balad. Kami pun mencari pegawai toko untuk tanya harga. Eh ternyata, pegawainya banyak orang Indonesia! Bahkan, seorang Arab pemilik toko itu juga bisa bahasa Jawa, salah satunya: selawe, yang dalam bahasa Jawa berarti dua puluh lima. Lucuuuu <3

Saya: Mas dari mana? Jawa Timur, ya?
Pegawai toko: Kok tau?
Saya: Logatnya, hehehe.
Pegawai toko: Nggih, betul, Mbak.
Saya: Saya beli tas ini 2 deh, Mas. Tapi kasih murah, lah… kemahalan, ini…
Pegawai toko: Hmm..

Si Mas mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya, lalu menulis angka di situ. Widih, diskon!

“Ini, kasih kertas ini ke bapak Kasir. Bilang aja beli tas, gitu.”

Asssaaa, dapat diskon :D

Satu lagi cerita seru waktu belanja. Saat itu, saya memasuki sebuah toko untuk mencari tas bertuliskan I love Madinah atau sejenisnya. Begitu masuk, ada dua wajah menyambut saya. Dari logat bicara dan wajahnya, mereka orang India. Saya jelaskan apa yang saya cari, namun mereka tak bisa bahasa Inggris, maka saya praktikkan dengan gerakan.

“Tas…” saya seolah mencangking tas.
“I love Madinah…” lalu saya gerakkan tanda love di udara.

Aih, mungkin dipikir saya ngajak joget kali, ya? Karena setelah itu salah satu dari mereka berseru,

“Katrina?”

Saya dan Fara bengong. Maksudnya aktris Katrina Kaif? Hubungannye ape sama tas Madinah?

“Katrina… Kaif?” tanya saya. “Katrina Kaif?”

Yes yes! You, Katrina,” ujarnya seraya menunjuk saya. “Me, Salman Khan!”

Lalu Abang ini mulai menggerakkan tangan dan kepalanya. “Dance, dance!”

… oh, God.

Ini nih, gara-gara demen berlebihan sama drama India, akhirnya dibalas di sini sama Allah. Nggak dapet barang, malah diajak goyang, hahaha.


Banyak Malaikat di Dekat Allah
Sebenernya, saya nggak berharap bakal merasakan sesuatu yang istimewa di Tanah Suci. Nggak berharap dikasih apa lah, dibantu apa lah, enggak sama sekali, karena saya pikir, ya udahlah biar semua terserah Allah aja. Yang penting, saya datang niatnya baik dan banyakin di masjid, udah itu aja.

Tapi alhamdulillah, kedapatan mengalami peristiwa yang menjelma jadi kenangan manis.

Saat masuk ke Raudhoh, saya ngikutin alur aja, pasrah aja. Itu suasananya crowded dan desak-desakan. Nggak hanya penuh manusia, tapi juga penuh suara. Wuih, berdengung itu doa, gumam, dzikir, jadi satu memenuhi ruangan.

Tapi alhamdulillah, saya lancar-lancar saja. Ada celah dikit, langsung shalat, langsung berdiri lagi, ada celah lagi, shalat lagi. Lalu majuuuuu dan sampailah di karpet hijau Raudhoh, bener-bener nggak sesusah bayangan saya. Maka saat di karpet hijau itu, aduh, berderai deh udah. Terima kasih sama Allah karena kami sampai ke taman Surga ini, setidaknya sekali seumur hidup, sekeluarga, dan selamat semua keluar dari Raudhoh :’)

Saat ingin mencium Ka’bah. Pada hari kedua di Mekkah, pembimbing Umroh mengajak kami kembali ke Masjidil Haram, kali ini untuk bersama-sama mencoba mencium Ka’bah. Sepanjang jalan dari hotel ke Masjid, saya merangkul Mama sambil doa-doa. Sepagian itu saya deg-degan. Nervous. This is one special moment in life, yang mungkin nggak akan terulang lagi dalam puluhan tahun mendatang, atau bahkan sampai saya mati sekalipun. Saya harus kuatkan diri dan hati saya biar bisa diberi kemudahan mendekati Ka’bah.

Kami masuk ke Masjidil Haram, lalu membentuk barisan menembus orang-orang yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah, dan mendekatlah kami ke Hijr Ismail, mendekatlah kami ke Ka’bah. Yang saya ingat, saya banyak nangis dan minta ampun, itu aja. Orang penuh mengelilingi dan menciumi Ka’bah. 

Saya dan keluarga antre dalam kepasrahan. Mau nderak juga nggak berani, karena orangnya tinggi dan besar-besar. Tapi, tangan saya sudah menggapai-gapai Ka’bah, mencoba memegang kiswah atau kain penutupnya. Tangan saya nggak sampai, tapi saya terus mengangkat tubuh sehingga bisa memegang Ka’bah walau di depan saya ada seorang Ibu yang masih menempelkan wajahnya ke Ka’bah.

Tiba-tiba, seorang lelaki Timur Tengah di sebelah kanan menarik kuat lengan tangan saya dan menempelkannya ke Ka’bah. Ibu yang berdoa di depan saya juga perlahan bergeser setelah tahu tangan saya sudah menempel di Ka’bah. Saya ucapkan syukron dengan lirih ke lelaki itu.

Allah.. saya usap-usap, saya genggam, lalu saya elus kiswah itu. Allah, saya sudah rasakan, begini ternyata rupai kain kiswah. Saya berdoa lagi. Menangis lagi. Tapi ini belum tuntas karena saya belum mencium Ka’bah. Saya mau mencium wanginya.

Seorang lelaki Timur Tengah di sebelah kiri saya, mungkin karena kasihan melihat seorang perempuan dengan wajah basah dan mengeluarkan isakan tiada henti, dia meletakkan tangannya pada kiswah, lalu memberi isyarat pada saya untuk berdoa di tempatnya sebelum diambil puluhan jamaah lain yang juga antri. 

Saya mengangguk cepat, dia tersenyum dan menyilakan saya mengambil tempatnya. Segera saya tempelkan wajah ke Ka’bah, saya hirup dalam-dalam aromanya, dan lagi-lagi saya terisak, mohon ampun dan berdoa. Maaf ya, Tuhan. Hamba-Mu satu ini memang cengeng sekali.

Wangi Ka’bah itu… nggak terlupakan buat saya. Wangiiii banget. Konon kiswahnya sengaja diguyur wewangian itu secara berkala. Lamaaaa sekali saya di situ, dan barulah saya berhenti berdoa setelah Ameh menepuk pundak saya dan mengajak keluar dari area Ka’bah.

Kami berjalan ke pinggir Ka’bah, lagi-lagi menembus kerumunan thawaf. Bergantian, kami minum air zamzam yang sudah disediakan di sana. Setelah formasi lengkap, kami naik ke lantai dua untuk mencari tempat shalat.

“Inas gimana? Lancar? Kamu lama banget ya di deket Ka’bah.”
“Iya, Meh. Alhamdulillah dibantu, hehehe.”

Satu kejadian lagi yang nggak bisa saya lupa, yaitu seusai thawaf wada’ atau thawaf perpisahan. Ini kami lakukan sebelum pulang ke Tanah Air. Thawaf terakhir sebelum pulang ke rumah. Thawaf selesai, kami pun berlama-lama berdoa sambil menatap Ka’bah.  Derai air mata jelas lebih deras. Wajah saya jadi lusuh dan kusam, padahal masih pagi, hehehe.

Depan Masjidil Haram

Pemandangan sebelum meninggalkan Mekkah


Pernah ngerasain nggak sih, saat kita akan meninggalkan suatu tempat yang sudah kita tempati selama periode waktu tertentu, misalnya mau resign kerja, tiba-tiba kita jadi ingat semua aktivitas kita di sana. Kita teringat orang-orang istimewa yang bersama kita selama di sana. Kenangan itu menusuk-nusuk akal kita lagi, dan jadi berat mau pergi.

Sama seperti itu perasaan saya setelah thawaf wada’. Rutinitas yang sudah jadi kebiasaan, tiba-tiba muncul di mata saya; saat berebut kamar mandi pagi hari dengan Mama dan adik-adik sebelum tahajud ke Masjid, saat mencari-cari tempat yang hangat dan nyaman untuk berlama-lama duduk di Masjid, saat berjalan pulang Masjid, saat makan bersama jama’ah lain di hotel, saat thawaf, saat sa’i, saat memberi makan burung, saat barisan shalat sudah rapat tapi orang Aljeria, Pakistan, dan India selalu berusaha menerobos barisan sampai kami harus kesakitan karena bersempit-sempitan, hehehe.

Semua kenangan itu menyeruak, bersamaan dengan rasa sedih di hati. Beraaaat sekali. Tapi tetaplah kami harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke dunia nyata.

Kami berdiri dan beranjak keluar dari masjid. Saya terus memandang Ka’bah, hingga seorang perempuan berniqab hitam dan berbau harum tiba-tiba memegang pipi saya dengan kedua tangannya, dia berkata, “Allah qabul, insya Allah.” Artinya, kurang lebih: Allah mengabulkan doa, insya Allah. Lalu perempuan itu mengelus pundak saya. Kami saling tatap sampai saya belok ke pintu keluar.

Saya tak bisa melihat apakah ia tersenyum saat mengatakan itu, karena wajahnya tertutup cadar plus matanya tertutup kain tipis menerawang. Tapi saya bisa melihat kulit di sekitar matanya naik. Matanya mengecil. Tanda ia tersenyum.

Aih, Tuhan. Tangis saya yang sudah reda malah makin menjadi. Mama berkata pelan tapi terharu, “Ya Allah.. kak, insya Allah doamu dikabulkan Allah, Kak. Yaaa Allaaaah,” Mama menangis, Fara juga menangis, saya pun menulis ini dengan menangis.

Momen Allah qabul itu adalah penutup yang manis dan sempurna, karena itulah pada akhirnya yang saya butuhkan di sini: Allah kabulkan doa saya.

Terima untuk ibu berniqab, siapa pun ibu, walau ibu pun tak membaca ini, terima kasih sudah menyemangati saya. Allah melindungimu, insya Allah.

*

Masih ingat nggak tadi saya menyebutkan bahwa banyak orang Aljeria, Pakistan, dan India yang berusaha menerobos barisan sampai kami harus kesakitan karena bersempit-sempitan? Hehehe.

Itu jadi salah satu pengalaman tak terlupakan selama di Tanah Haram. Kadang kalau kita nolak ngasih tempat shalat karena memang sudah rapet, mereka bakal ngedumel pakai bahasa mereka sambil ngeliatin kita. Sungguh intimidating. 

Orang Indonesia nggak boleh ada yang kayak gini, ya. Kalau memang sudah nggak ada tempat shalat ya cari lainnya. Masjid kan luaaaas banget. Kalau mau dapat spot shalat yang enak, ya datang lebih awal. Kecuali kalau ada jeda tempat yang cukup untuk tubuh kamu, maka masuklah, pasti orang juga nggak masalah. Saya sih malah senang, karena barisan shalat yang rapat itu bikin hangat, dan tentunya sesuai aturan shaf shalat. Tapi kalau tempat sudah penuh, sudah rapat, ya cari yang lain.

Pernah, saat kami duduk menunggu shalat Subuh di Masjidil Haram, seorang ibu-ibu memaksa masuk di barisan shalat di samping kiri Mama. Mama sudah menggeleng untuk memberi tanda bahwa tempat sudah rapat, nggak ada tempat lagi untuk ibu itu, silakan cari yang lain. Tapi si Ibu memaksa. Mama malas ribut dan jadi tontonan, jadi beliau iyakan saja. Masalahnya, ibu ini bertubuh besar. Saat dia duduk, kaki Mama sampai terjepit, Mama jadi susah bergerak, dan, ya, kesakitan. Saya dan Mama mencoba bergeser ke kanan biar Mama nggak kesempitan dan bisa shalat dengan nyaman, tapi ya tetep aja. Wong memang sudah ramai. Saya lirik tas ibu-ibu Arab itu. 

Seorang Indonesia di samping saya mengucap lirih, “Astaghfirullah, kita memang kudu sabar sih Mbak di sini, banyak cobaannya. Ya kayak gini, mau shalat saja harus kesakitan karena didesak-desak. Andai boleh mengeluh, andai boleh kesal, tapi ya mau gimana. Wong kita sama-sama ibadah. Sabar, Mbak.” Saya tersenyum mendengarnya. Iya juga, nggak boleh marah. Tapi juga sebaiknya kita semua berbesar hati untuk menghargai hak orang lain. Bukan cuma mati-matian memperjuangkan hak sendiri. Daripada mau ibadah tapi malah menyakiti orang lain?





Haji, Rukun Terakhir, dan Hanya Jika Mampu
Butuh kesehatan jasmani dan rohani, kebugaran fisik dan akal untuk bisa menjalani ibadah umroh (apalagi haji) dengan baik dan maksimal. Kalau bisa, daftar haji lebih cepat lebih baik, lalu umroh dulu sebelum haji, jadi punya pengalaman dan pengetahuan untuk beribadah kelak.

Sebelum kami berangkat, seorang kerabat bilang, dia sangat memimpikan bisa beribadah ke Tanah Suci bersama seluruh keluarganya, karena itu sungguh lebih enak dibanding pergi sendiri. Awalnya saya nggak tahu dimana istimewanya. Tapi setelah menjalani bareng keluarga… ah, ternyata betul. Lebih enak ke Tanah Suci sama keluarga. Ada orang yang akan betulan menjaga dan membimbing kita :’)

Beda banget deh hidup saya selama di Semarang dengan di Tanah Suci. Jam 2 pagi, kami sudah “keliaran” keluar dari hotel menuju Masjid. Kalau di Semarang, jam 8 malem saja sudah nggak berani keluar rumah.

Mungkin karena Mekkah dan Madinah itu tanah Allah yang dirahmati. Orang, siapa pun, dari mana pun tujuan utamanya pasti ke masjid. Jadi nggak perlu takut jalan sendirian ke masjid, mah. Banyak temannya. Justru mereka berlomba pagi-pagian sampai masjid supaya bisa dapat tempat ibadah yang enak, entah di depan Ka’bah atau di dalam masjid yang hangat.

Mungkin karena di sana adalah tanah yang dirahmati juga, sehingga membuat kami mudah bangun untuk ibadah, mudah menumbuhkan semangat untuk terus gerak. Di otak cuma ada Allah dan ibadah. Sementara kalau di rumah sendiri… haduh, bangun tahajud saja susah.

Menurut saya, ibadah umroh dan haji itu sebenar-benar bukti bahwa jihad paling luar biasa adalah berperang melawan hawa nafsu dan egoisme pada dirimu sendiri. :)


The best view ever

Komentar

Postingan Populer