|
weheartit |
Belakangan ini, saya banyak diam-diaman dengan Ayah.
Bukan berantem besar, sih. Tapi ada satu-dua ketidaknyamanan, yang setelah saya pikir lagi, itu justru lahir dari kesamaan kami.
Kami terlalu mirip.
Selain sama-sama suka baca, nulis, makan, sharing, bikin ide, di sisi lain kami juga sama-sama keras kepala, sering nggak sabar, dan lebih suka memberi jarak pada apa-apa yang kami nggak suka. Sama-sama galak, berani, bahkan nekat, dan betul-betul nggak peduli sama apa-apa yang nggak kami anggap layak untuk kami pedulikan.
Mirip banget. Positifnya, negatifnya.
Butuh struggle menghadapi kondisi ini, karena kesamaan kami membawa berkah sekaligus masalah. Kadang saya pikir, memang tak selamanya kesamaan itu membuat kita seragam dan harmonis.
Saya lihat, Ayah dan Mama juga betulan beda. Beda banget. Yang satu ketagihan baca, yang satu nggak terlalu suka baca. Yang satu kalau ngomong kalem, yang satu nggak bisa kalem. Yang satu berpikir praktis, yang satu maunya pelan-pelan dijabarin. Beda banget. Bener-bener dua dunia. Mungkin karena background pendidikan dan pengalaman hidup juga, sih. Sama-sama pejuang di masa muda dulu, tapi beda sikon.
Justru, dalam perbedaan itu, mereka bener-bener saling melengkapi. Tentu ada crash, tapi tetep aja bakal balik happy lagi, karena dasarnya saling butuh dan saling melengkapi. Apa yang Ayah nggak punya, Mama punya. Apa yang Ayah punya, Mama nggak punya. Ketika akhirnya Tuhan mempertemukan mereka, itu berasa kayak: made from heaven. #tsah
Saya pun bercermin pada pengalaman-pengalaman merah jambu yang pernah saya alami. Dan ternyata benar.
Dulu, saya pernah dekat dengan seorang pria. Jurnalis. Selera bacaan sama. Nyambung pol. Bahkan, God, dia demen Bollywood! Hahaha. Pandangan politik dan agama sama. Kebetulan dulu saya "ijo" banget alias super NU, hahaha. Dia open-minded dan suka bicara. Mirip dengan saya.
Seriously, saya pikir dia adalah soulmate saya. Kayaknya kami bakal bertahan lama. Sudah senang sekali membayangkan ada temen keliling cari buku bekas, temen diskusi buku, agama, apapun. Gila, gila, Saya pasti bahagia sama dia.
Tapi semuanya malah jadi membosankan.
Then, saya pernah menjalin hubungan juga, kali ini dengan yang beda 360 derajat. Sebelum dengan Kakak Jurnalis ini.
Dunia saya dan dia, betulan beda. Doi anak teknologi. Gamer. Dua hal yang nggak saya banget. Game di mata saya bener-bener nggak ada gunanya (dulu). Anaknya kaku, pemalu. Super pendiam. Beda banget kan, sama saya yang super ceriwis? Dia jago matematik, saya engak (#penting). Dia betulan cowok: selalu berpikir simpel, Saya pun betulan cewek: seringnya berpikir ribet.
Dan yang paling ekstrem adalah.. dia nggak suka baca! DIA NGGAK SUKA BACA! Kalaupun ke toko buku, saya lari lurus ke rak novel atau best seller, dan dia langsung belok kiri menuju rak komik. Saya suka komik, tapi cuma suka Conan. Doraemon. Chinmi. Kobo-chan. Mainstream, lah. Dia demen komik. Seriously TOTALLY COMICS. I hate it. Nggak ada nyambung-nyambungnya ngomongin novel. Aaaak.Kami bener-bener beda.
Saya pikir, kami nggak bakal cocok. Runyam kalau kami beneran langgeng.
But it's weird. Karena, saya justru super nyaman dengan dia. Dia melakukan hal-hal yang saya suka, tanpa perlu saya arahkan, tanpa perlu saya beri tahu.
Saya bahkan jadi kenal game. Misal, pas kami lagi pengen "pacaran" (astaghfirullah), tapi dia lagi pengen nge-game, maka dia akan minta saya online Facebook, then kami main game-game Facebook. Hahaha. Saya baru tahu game ternyata menyenangkan.
Saya juga nggak pernah kenal musik Jepang. Atau lagu Barat. Saya cuma dengerin lagu Indonesia. Lawas dan baru. Lalu datanglah doi, dengan selera "Harajuku"-nya, jadilah tahu yang namanya L-arc-.... Laruku gimana sih nulisnya? Ya, itu lah. Jadi tahu juga ada lagu manis berjudul Love Story, yang akhirnya saya benci setelah kami putus, hahaha.:pKami melalui perjalanan yang menyenangkan sekaligus melelahkan, lalu berpisah karena sama-sama punya mimpi, tapi di tempat berbeda.
*
Kayaknya, kita memang butuh perbedaan agar hidup kita seimbang.
Tapi toh, beda atau sama, yang penting: halalnya.
Eh, maksud saya.. yang penting sabarnya :p
Saya sama Ayah masih struggling mendamaikan diri di tengah kesamaan-kesamaan kami yang terlampau ekstrim. Tapi saya berusaha ingat posisi saya: seorang anak gadis.
And I'll fix myself from there.
Komentar
Posting Komentar