CATATAN EMPAT TAHUN PERNIKAHAN: "Aku Benar pun Tetap Salah"
Bulan Juni lalu, menjelang ulang tahun pernikahan kami, di tengah momen berbalas chat dengan suami, aku baru menyadari sesuatu.
"YANG! Kita tuh udah empat tahun nikah, lho. Kirain baru tiga tahun."
Aku punya patokan khusus untuk memudahkan menghitung pernikahan kami. Tahun pertama menikah itu memorable karena aku harus operasi pengangkatan miom. Yes, halo sobat SC. Sayatan lukaku tentu enggak ada apa-apanya dibanding kalian, tapi sama-sama berbekas dan sering gatel atau nyeri kalau kecapekan. Tos. Sisanya maka tinggal ditambah usia Rawi, yang lahir di tahun kedua pernikahan kami.
Ada yang bilang, pernikahan itu yang penting komunikasi. Yes, penting banget memang. Seratus persen aktivitas pernikahan itu sangat terkait dengan komunikasi. Kran kamar mandi rusak, ngomong. Perlu belanja ini itu, ngomong. Pengen gantian momong anak, ngomong. Semua kesepakatan dalam rumah tangga, tentang ke mana anak akan disekolahkan, tentang bagaimana mendidik anak sesuai usianya, tentang mainan apa yang mau dibeli bulan ini dan apa yang jangan dibeli, tentang apa saja jajan yang disepakati ditoleransi untuk dimakan anak dan mana yang tidak–itu semua harus diselesaikan dengan ngomong.
Maka, buat yang belum menikah, kalau kalian berniat menikah, carilah pasangan yang bisa diajak ngobrol, enak diajak diskusi. Bukan yang maunya enak sendiri, karena komunikasi aja enggak cukup. Perlu kemauan untuk menyadari dan memahami pasangan. Karena kalau tidak dibarengi pemakluman, ya jadinya hanya satu arah, komunikasinya hanya untuk cari menang dan benar.
Kiranya, berkompromi adalah apa yang aku dan suami coba lakukan untuk menjaga mood sehari-hari, HAHAHA. Semakin ke sini, semakin terasa bahwa kompromi adalah pondasi pernikahan kami–selain Pancasila dan Rukun Islam-Rukun Iman. Ahahay.
Kompromi adalah, ketika kami bersepakat mengorbankan satu dua hal demi mementingkan kepentingan bersama. Contohnya ada banyak, misalnya, kami berkompromi untuk berbagi peran mengurus anak. Ketika suami pulang kerja, maka dia yang memegang Rawi, menemaninya bermain, dan sebagainya. Sementara aku minta waktu untuk me time yang sebenarnya enggak me time-me time amat, yaitu mandi dan shalat dengan tenang, lalu menyiapkan makan malam Rawi. Secapek apa pun suami, dia harus menyetujui ini, karena si istri alias aku juga sudah berjibaku dengan urusan tetek bengek lainnya: mengurus anak, rumah, dan bekerja at the same time.
Selain kompromi, kata kunci lainnya untuk survive dalam rumah tangga ini adalah kesalingan dan pemakluman. Tiga kata ini mirip-mirip maknanya. Pemakluman lahir dari kesadaran bahwa suami dan istri sama-sama bisa lelah. Suamiku bangun pagi setiap hari, bahkan di hari Sabtu dan Minggu, untuk bekerja. Dia hanya libur di hari Jumat, maka di hari itu dia cenderung kubebaskan leha-leha, meski tetap aku kasih PR di sore atau malam hari untuk main dengan Rawi.
Sama juga dengan kesalingan, bahwa kita sama-sama meninggali rumah ini artinya kita saling mengurusnya. Hari ini misalnya, suami mengambil alih urusan dapur karena aku sudah mengambil alih kerja cuci-jemur baju. Tapi kesalingan favoritku adalah, ketika kami bisa saling bertukar informasi mengenai apa pun itu, mendiskusikannya, membicarakannya. Entah musik, berita politik, kabar dari kantor masing-masing, dan sebagainya.
**
Terlihat indah dan keren ya pernikahan ini? Tapi tentu ada saja yang bikin wasweswos alias berantem kecil, untuk perkara yang kecil pula.
Satu yang sedang sering terjadi, adalah (aku tulis di sini ya, Sayang, buat kenang-kenangan LOL), bagaimana suamiku dan aku sama-sama teguh bahwa aku yang benar. Misalnya, terjadi satu kejadian, saat suamiku bertanya, aku lupa apa tepatnya, tapi kira-kira gini, "Uma, nagetnya di mana?"
Aku dengan nada kesal menyahut, "Itu di kulkas bawah. Cari dulu kek. Benci banget aku kalau ada kayak gitu. Males banget, sih?"
Ini sebenarnya amarah yang sah, karena ini sering terjadi. Bukan cuma suami, kadang juga Abah Mertua, wkwkwk. Ngerti kan rasanya jadi satu-satunya perempuan di rumah, yang dianggap paling tau segala, padahal juga baru berapa lama di rumah ini :'(
Suamiku pun tau, bahwa rasa marah dan jengkelku akibat hal seperti itu adalah sah. Tapi malam itu aku apes. Ternyata, naget tidak ada di chiller, melainkan freezer. Alias, aku lupa menurunkannya ke chiller, alias aku salah.
Aku ke dapur, menghampiri suamiku yang ketawa tapi lalu menekuk mulutnya. Aku meminta maaf, tapi kemudian ia berkata, "Aku benar pun tetap salah."
Dan jadilah, kalimat itu seolah menjelma jadi meme yang sering dia lontarkan saat situasi mirip terjadi. "Aku benar pun, tetap salah."
Terdengar menyedihkan, tapi memang benar adanya. Dia benar pun, sudah salah karena disalah-salahin istrinya, sekaligus menunjukkan pangkatku yang akan selalu lebih tinggi darinya, karena aku memang selalu benar, hahaha.
Komentar
Posting Komentar