Hai, hai! Apa kabar semua?
Semoga yang rajin mampir ke sini masih suka
mampir yah, hehehe.
Hm, I wanna share a great news for you,
guys.
Tanggal 12 Desember kemarin, saya bertemu
lagi dengan seseorang yang sangat berharga.
Bukan kekasih, lho.
Bukan perempuan juga.
Lalu?
Hehehe.
Eh, btw, tanggal ketemunya bagus juga, ya.
12-12-2016?
Hahaha.
Hmm, orang ini sangat berharga dan
istimewa. Saya memilikinya sejak dulu. Kami pernah melewati sore dengan naik
becak ke warnet dekat rumah, lalu pulang dengan rasa hampa karena Facebook
sedang maintenance. Tak lagi naik becak, kami pulang jalan kaki. Sambil
bicara, berdiri bersebelahan. Saking bahagianya, saya sampai lupa, hari itu
kami sedang menahan lapar karena puasa Ramadhan.
Ketika kami lebih kecil, mungkin di usia SD
menjelang SMP, kami sering nongkrong bareng di kamar Jidah. Kalau
dipikir-pikir, banyak lho cowok yang nongkrong di kamar bareng saya *plak*
tentu bukan untuk apa-apa, ya. Sebagian besar sih untuk les. Sebagian lagi
untuk main. Ah, maaf ya. Namanya juga anak kecil, hehehe. Tapi tenang, semua di
bawah pengawasan orangtua, kok *peace*
Pertanyaannya, apa yang membuat orang ini
berharga?
Hmm, dia tidak biasa bagi saya yang
mengidamkan seorang kakak lelaki, dan dialah kakak saya. Sebut saja L.
Kenapa mengidamkan kakak lelaki? Karena, lelaki
tidak ember, tidak membocorkan rahasia, tidak tergoda untuk bersaing, tidak
mudah tersakiti, dan punya karakter melindungi, jika betulan lelaki.
Saya yang ceroboh dan butuh sokongan itu
cocok sekali dengan tipe yang cenderung ngemong ini. Sayangnya, keadaan membuat kami tak bisa
banyak bersama, banyak bicara, berbagi. Keterbatasan tak berperasaan, tumbuh di
tengah kami, membutakan kata hati.
“Kebutuhan” itu membuat saya mencarinya
bukan pada L, tapi pada lelaki lain. Itu barangkali saat saya memutuskan untuk
pacaran. Sekali dua kali, tiga kali empat kali.
Betul. Saya hanya cocok dengan lelaki yang
bisa menyeimbangi saya. Mereka yang sabar, pendiam tapi perhatian, dan mau
mengerti saya. Kebanyakan sih, cocoknya dengan yang lebih muda. Entah kenapa
kalau pacaran dengan yang lebih tua, pasti seumur jagung lalu hilang tanpa
bekas. Hampir-hampir saya berkesimpulan, saya ini seleranya berondong. Aduh. Ya
nggak apa, sih.
Tapi jujur saya, pacaran demi pacaran ini
tak membantu. Saya butuh yang lebih dari ini; lelaki yang membawa kebaruan bagi
hidup saya. Tak perlu diikat status. Disatukan rasa bunga-bunga penipu. Tidak,
tidak.
Terus saja, saya temukan bahwa saya
merindukannya. Bang L. Kenapa harus mengembara hingga disentuh dan habiskan
waktu di sana-sini, jika saya sudah memiliki kakak yang luar biasa asik seperti
L sejak dulu kala? Jika saja, jika saja tak ada keterbatasan yang disengaja itu,
saya pasti sudah berlari padanya tiap saya ingin membagi aneka perasaan dan
kabar.
*
Maka satu dua kali, kami bertemu. Kemarin
itu kedua kali kami bertemu. Maklum, doi sibuk benar.
Tentulah, pertemuan itu selalu jadi obat
penawar yang ampuh. Inilah yang saya butuhkan; bicara berdua dengan orang yang
tepat.
Yang saya temukan, kami kini sudah dewasa.
Bukan lagi dua anak kecil yang bertengkar lalu saling mendiamkan hingga harus
dilerai baru mau bicara. Bukan lagi dua anak kecil yang terus berebut perhatian
orang dewasa.
Bahasan kami meluas. Kondisi keluarga,
musik, film, buku, politik, isu internasional. Dari Young Lex sampai Saykoji. Rockafeller
sampai Queen of England. SBY sampai Trump. Eka Kurniawan sampai Taufik Ismail. Ustaz
menyebar amarah sampai Ihsan Ali Fauzi. Sari Roti sampai ganja Aceh. Dari
adikku sampai sepupunya. Dari mantanku sampai mantannya. Kisah asmaraku hingga
asmaranya. Kondisiku dan kondisinya.
Seingat saya, tak pernah saya seterbuka
ini. Pada siapa lagi saya menyatakan keinginan saya yang agak tabu? Pada siapa
lagi saya bilang bahwa saya pernah melakukan hal-hal yang bahkan bibir saya
sendiri tidak bakal sampaikan pada hati dan akal? Hal-hal yang saya tak sadar bahwa
saya mau, dan semuanya itu L tahu.
Selesai bercengkrama, rasanya saya cukup
bahagia. Rasanya hidup bakal baik-baik saja, bahkan saat dia bilang sambil
tertawa, “Gue jitak lo, Nas!”
Setiap bertemu, ada yang baru dari dirinya, juga ada yang
baru dari diri saya. Sesuatu yang baru saya sadari, bodohnya.
Bagi saya, dia tumbuh menjadi kakak lelaki
yang gentle. Andai saja, andai saja dinding pembatas itu tak pernah ada.
Tapi seperti kata Ayah, kita tidak boleh berandai-andai. Jadi saya anggap,
dinding pembatas itu adalah pengalaman berharga kami untuk menjaga sisa-sisa
keutuhan dan rasa peduli yang kami punya.
Saya belajar, lagi dan lagi, bahwa saya tak
ingin menciptakan keterbatasan dan tak mau membangun dinding selain dari
suruhan Tuhan. Saya bersumpah ingin selalu memaafkan, karena ke mana lagi kita
pulang kalau bukan ke rumah? Dan keluarga adalah sebaik-baik rumah.
You
don’t need the whole world.
An
honest and deep talk with the right person
is
enough.
Inasshabihah
dan Misery_Loves_Zephyr
:p
Komentar
Posting Komentar