Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

12-12-2016



Hai, hai! Apa kabar semua?
Semoga yang rajin mampir ke sini masih suka mampir yah, hehehe.

Hm, I wanna share a great news for you, guys.
Tanggal 12 Desember kemarin, saya bertemu lagi dengan seseorang yang sangat berharga.
Bukan kekasih, lho.
Bukan perempuan juga.
Lalu?
Hehehe.
Eh, btw, tanggal ketemunya bagus juga, ya. 12-12-2016?
Hahaha.

Hmm, orang ini sangat berharga dan istimewa. Saya memilikinya sejak dulu. Kami pernah melewati sore dengan naik becak ke warnet dekat rumah, lalu pulang dengan rasa hampa karena Facebook sedang maintenance. Tak lagi naik becak, kami pulang jalan kaki. Sambil bicara, berdiri bersebelahan. Saking bahagianya, saya sampai lupa, hari itu kami sedang menahan lapar karena puasa Ramadhan.

Ketika kami lebih kecil, mungkin di usia SD menjelang SMP, kami sering nongkrong bareng di kamar Jidah. Kalau dipikir-pikir, banyak lho cowok yang nongkrong di kamar bareng saya *plak* tentu bukan untuk apa-apa, ya. Sebagian besar sih untuk les. Sebagian lagi untuk main. Ah, maaf ya. Namanya juga anak kecil, hehehe. Tapi tenang, semua di bawah pengawasan orangtua, kok *peace*

Pertanyaannya, apa yang membuat orang ini berharga?

Hmm, dia tidak biasa bagi saya yang mengidamkan seorang kakak lelaki, dan dialah kakak saya. Sebut saja L.

Kenapa mengidamkan kakak lelaki? Karena, lelaki tidak ember, tidak membocorkan rahasia, tidak tergoda untuk bersaing, tidak mudah tersakiti, dan punya karakter melindungi, jika betulan lelaki.

Saya yang ceroboh dan butuh sokongan itu cocok sekali dengan tipe yang cenderung ngemong ini.  Sayangnya, keadaan membuat kami tak bisa banyak bersama, banyak bicara, berbagi. Keterbatasan tak berperasaan, tumbuh di tengah kami, membutakan kata hati.

“Kebutuhan” itu membuat saya mencarinya bukan pada L, tapi pada lelaki lain. Itu barangkali saat saya memutuskan untuk pacaran. Sekali dua kali, tiga kali empat kali.

Betul. Saya hanya cocok dengan lelaki yang bisa menyeimbangi saya. Mereka yang sabar, pendiam tapi perhatian, dan mau mengerti saya. Kebanyakan sih, cocoknya dengan yang lebih muda. Entah kenapa kalau pacaran dengan yang lebih tua, pasti seumur jagung lalu hilang tanpa bekas. Hampir-hampir saya berkesimpulan, saya ini seleranya berondong. Aduh. Ya nggak apa, sih.

Tapi jujur saya, pacaran demi pacaran ini tak membantu. Saya butuh yang lebih dari ini; lelaki yang membawa kebaruan bagi hidup saya. Tak perlu diikat status. Disatukan rasa bunga-bunga penipu. Tidak, tidak.

Terus saja, saya temukan bahwa saya merindukannya. Bang L. Kenapa harus mengembara hingga disentuh dan habiskan waktu di sana-sini, jika saya sudah memiliki kakak yang luar biasa asik seperti L sejak dulu kala? Jika saja, jika saja tak ada keterbatasan yang disengaja itu, saya pasti sudah berlari padanya tiap saya ingin membagi aneka perasaan dan kabar.

*

Maka satu dua kali, kami bertemu. Kemarin itu kedua kali kami bertemu. Maklum, doi sibuk benar.

Tentulah, pertemuan itu selalu jadi obat penawar yang ampuh. Inilah yang saya butuhkan; bicara berdua dengan orang yang tepat.

Yang saya temukan, kami kini sudah dewasa. Bukan lagi dua anak kecil yang bertengkar lalu saling mendiamkan hingga harus dilerai baru mau bicara. Bukan lagi dua anak kecil yang terus berebut perhatian orang dewasa.

Bahasan kami meluas. Kondisi keluarga, musik, film, buku, politik, isu internasional. Dari Young Lex sampai Saykoji. Rockafeller sampai Queen of England. SBY sampai Trump. Eka Kurniawan sampai Taufik Ismail. Ustaz menyebar amarah sampai Ihsan Ali Fauzi. Sari Roti sampai ganja Aceh. Dari adikku sampai sepupunya. Dari mantanku sampai mantannya. Kisah asmaraku hingga asmaranya. Kondisiku dan kondisinya.

Seingat saya, tak pernah saya seterbuka ini. Pada siapa lagi saya menyatakan keinginan saya yang agak tabu? Pada siapa lagi saya bilang bahwa saya pernah melakukan hal-hal yang bahkan bibir saya sendiri tidak bakal sampaikan pada hati dan akal? Hal-hal yang saya tak sadar bahwa saya mau, dan semuanya itu L tahu.

Selesai bercengkrama, rasanya saya cukup bahagia. Rasanya hidup bakal baik-baik saja, bahkan saat dia bilang sambil tertawa, “Gue jitak lo, Nas!”

Setiap bertemu,  ada yang baru dari dirinya, juga ada yang baru dari diri saya. Sesuatu yang baru saya sadari, bodohnya.

Bagi saya, dia tumbuh menjadi kakak lelaki yang gentle. Andai saja, andai saja dinding pembatas itu tak pernah ada. Tapi seperti kata Ayah, kita tidak boleh berandai-andai. Jadi saya anggap, dinding pembatas itu adalah pengalaman berharga kami untuk menjaga sisa-sisa keutuhan dan rasa peduli yang kami punya.

Saya belajar, lagi dan lagi, bahwa saya tak ingin menciptakan keterbatasan dan tak mau membangun dinding selain dari suruhan Tuhan. Saya bersumpah ingin selalu memaafkan, karena ke mana lagi kita pulang kalau bukan ke rumah? Dan keluarga adalah sebaik-baik rumah.

You don’t need the whole world.
An honest and deep talk with the right person
is enough.

Inasshabihah
dan Misery_Loves_Zephyr
:p

Komentar

Postingan Populer