|
Pinterest.com |
HAI!
Sudah lama tidak mampir, hehe. Tapi, selalu saya intip kok, sambil dikit-dikit bersihin debu.
Ceritanya, alhamdulillah, meski kerja kini serabutan, saya masih diberi kesempatan untuk menulis, dan kemarin salah satu tulisan saya mendapat penghargaan di kompetisi Menulis Munir, Merawat Ingatan.
Ini sedikit celotehan saya tentang siapa dan bagaimana Munir. Sebuah curhat yang belum sepenuhnya diutarakan.
*
Siapa Munir buat Inas?
Jihadis.
Ketika orang lain, kelompok lain, menganggap jihad itu harus ke “sana”, harus begini, harus menggertak, harus membunuh orang-orang yang berbeda pandangan, bahkan bunuh diri, itu konyol. Munir hanya membantu orang-orang di Indonesia yang butuh bantuan hukum, sesuai dengan basic kemampuan dan ilmu yang Munir punya. Lebih spesifik, dia tergerak menolong mereka yang dizalimi.
Munir mengajarkan saya berjihad dengan sederhana. Lakukanlah sesuatu mulai dari lingkungan sekitar, dengan hal-hal yang kita mampu dan bisa. Demi memberdayakan sekitar, menguatkan sekitar, menginspirasi.
Itu menginspirasi saya. Beliau belajar hukum maka lalu mengadvokasi buruh dan menuntut peradilan bagi pelanggar HAM. Saya mengadaptasi semangat itu untuk saya terapkan di lingkungan saya, dengan kemampuan saya. Saya jelas bukan aktivis dan belum terikat pada organisasi mana pun, sehingga saya tak melakukan hal sebesar Cak Munir, tapi saya mencoba. Perjuangannya itu meginspirasi saya. Dan, beliau belum ada penggantinya.
Apa yang menarik dari sosok Munir?
Keberaniannya. Kekuatan batin dan keteguhan niat.
Buat saya, itu luar biasa. Gimana bisa ada orang yang nampak tidak punya rasa takut? Padahal dia punya, tapi dia merasionalisasi rasa takut itu demi orang lain. Kok ada orang yang rela gitu berkorban banyak, lahir batin buat orang lain. Padahal di saat itu, kalau mau selamat, maka menyebut nama Soeharto saja nggak bisa sembarangan. Apalagi menuntut Soeharto dan oknum tentara?
Proses di balik itu. Proses lahirnya komitmen untuk memihak korban kezaliman, itu juga menarik buat saya. Ada proses sehingga dia menjadi Munir “yang dibunuh”. Sebelum prodemokrasi, dia dulunya mahasiswa yang secara militan membela Soeharto.
Untungnya, Ya Tuhan, kapal oleng. Dia berbalik arah jadi orang yang memusuhi kebusukan pemerintah, gila-gilaan menghidupkan HAM. Untuk itu, kita harus berterima kasih pada Bambang Sugianto. Berkat diskusi dan debat mereka, Munir jadi paham apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini: ada hak-hak rakyat yang dilanggar. Ada kelompok yang dipinggirkan. Kemudian, pilihan-pilihan Munir kembali bikin heboh saat beliau melirik ke arah Amien Rais dalam Pilpres 2004. Keputusan yang mendapat hujan kritik.
Tapi saya melihatnya sebagai suatu proses yang manusiawi, bahkan justru menarik karena kita belajar bahwa hidup bukan tentang hitam dan putih.
Dia tetap jihadis buat saya. Sehingga aneh saat ada orang mengaku beragama dan berjihad tapi melakukan kekerasan. Kok sempit sekali cara berpikirnya. Padahal, agama Islam terutama, itu rahmat buat seluruh alam, bukan orang Islam tok, gitu. Bergeraknya juga bukan karena kepentingan politis, tapi ya kepentingan orang-orang yang dizalimi ini.
Sungguh timpang. Dulu Munir sendiri juga disebut komunis, Yahudi, anti-Islam, karena kebetulan orang yang dilawan itu Soeharto, seorang muslim. Lalu Wiranto, seorang muslim juga. Munir seolah menjadi lawan, menjadi anti-Islam. Sehingga dulu orang kaget lihat Munir itu solat di masjid, Jum’atan. Padahal ya… begitu. Itu disebut Munir sebagai cara intelijen melakukan pembodohan publik terhadap Munir si aktivis ini, sehingga ada salah paham.
Penegakan HAM saat ini
Masih banyak PR terkait HAM yang harus dijawab pemerintah juga orang-orang yang bertanggung jawab atas hilangnya teman-teman kita, dan bertanggung jawab atas tragedi-tragedi memilukan lain.
Saya sempat merasa, kita sudah di era baru. Dulu, perjuangan Munir itu dasarnya terkait satu hal: ingin kita melek HAM. Hak kitalah untuk tahu, hak kitalah untuk bicara, bertanya. Itu hak.
Nah orang dulu nggak menggunakan bahkan nggak tahu hak itu karena mereka takut. Rasa takut itu yang harus dijebol menurut Munir. Karena mereka untuk menyebut nama Soeharto aja nggak berani. Apalagi harus berkomentar, mengkritik, nggak ada. Maka Munir ingin menyuburkan rasa berani di dada mereka, dan itu warisan dia sampai sekarang. Sekarang saya rasa sudah mulai tumbuh akan kesadaran hak itu. Orang mulai bebas berkomentar bahkan “menghina” di mana-mana. Imbasnya tercipta pula hoax yang bahkan dikelola jadi bisnis, sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat itu.
Tapi ternyata.. kita masih butuh pejuang HAM. HAM belum betulan tegak dan rata buat seluruh orang. Justru kemunculan UU ITE jadi senjata pihak yang ingin mengkriminalisasikan kebebasan dan hak berpendapat. Pasal karet, sebutannya.
Sehingga, apa yang disebut “pemerintah” itu belum berhasil menyamaratakan hak. Masih ada usaha-usaha membungkam, dan merepresi kita. Wujudnya lewat pasal karet, yang ternyata bisa jadi bumerang bagi sikap kritis. Sedih dan lucu saat lihat Acho, menggunakan haknya untuk berekspresi, tapi malah dilaporkan polisi. Mas Dandhy belum lama ini juga mengalami itu. Penyerangan LBH kemarin. Artinya, kita belum bebas betul. Apalagi zaman ini, dengan terpaan informasi hoax, orang lebih mudah disulut emosinya dibanding diajak berpikir adil.
Jadi, masih diperlukan usaha-usaha menegakkan HAM, karena masih ada usaha menggerus hak, apalagi untuk orang-orang yang dipinggirkan, katakanlah tidak mampu, miskin, dan berada di daerah tertinggal. Lewat Munir-Munir era sekarang, orang-orang yang peduli.
Terakhir
Untuk anak muda, apa aja sebutannya, Millenial, X, Y, Z, mereka harus sadar bahwa negara masih punya hutang untuk warganya: hutang informasi. Hutang keterbukaan informasi. Karena kita berhak tahu. Negara hutang peradilan bagi oknum, hatta tentara, yang belum terlibat pelanggaran HAM berat. Anak muda harus tahu, setiap usaha pengungkapan kebenaran selalu ada harga yg harus dibayar. Ada orang-orang benar yang dibungkam, dihilangkan, dipisahkan secara paksa, yang sampai sekarang keluarga dan kerabatnya masih bertanya, kapan dia bakal pulang. Fakta sejarah itu menyeramkan, itu bukti negara masih abai, dan kita harus terus berani menuntut kebenaran. Anak muda harus tahu, kalau kebebasan tidak dirawat, tidak dijaga, bisa-bisa diambil lagi oleh monster yang zalim.
Salah kalau pembunuh Munir itu berpikir bahwa, masalah selesai setelah Munir mati. Tidak. Pembunuhan itu bukti bahwa perjuangan Munir benar. Orangnya sudah tidak ada. Tapi semangat dan idenya bakal terus ada, bakal terus menginspirasi.
Komentar
Posting Komentar