Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

globalisasi, dan mengapa identitas kultural menguat

globalisasi kerap dimaknai sebagai bentuk pembauran dan peniadaan garis batas antar-wilayah sekaligus tidak ada lagi batasan atas nama suku atau ras. nggak heran kalau Ben Anderson bilang, imagined communities. orang tak berbangsa yang mendefinisikan komunitas atau mungkin nation sebagai imajinasi. ia sebenarnya tiada.

kadang gue yakin dengan hal itu. harusnya, dan pengennya, gue dikenal sebagai human being aja gitu, bernama Inasshabihah. titik. yes, saya juga seorang perempuan, but beyond that, i am human being. lupakan bahwa gue keturunan Arab-Banjar, bahwa gue hidup di lingkup tradisi Arab yang kuat, dan sebagainya.

tapi di satu sisi, kadang gue merasa terkoneksikan dengan Arab atau Banjar. gue masih memperkenalkan diri sebagai keturunan Arab dengan segala tradisinya yang khas. and somehow, it is me. i am proud with that.

kadang kalau ditanya, Inas orang mana? gue jawab, Indonesia. tapi ketika obrolan lebih intim, gue seolah menegaskan sebuah garis bahwa gue juga seorang keturunan suku, bangsa, atau ras tertentu.

membingungkan. aneh gue ini.

tapi kemudian gue ketemu tulisannya Ilham Mundzir, yang sebenernya gue pakai untuk bahan tesis. doi nulis soal multikulturalisme, dan gue manggut-manggut di beberapa poin yang secara nggak langsung relate dengan apa yang lagi gue gelisahkan.

bahwa menguatnya klaim-klaim atas identitas juga ternyata menjadi dampak dari globalisasi dan demokratisasi. semakin dunia mengglobal, preferensi identitas justru semakin mengecil. lo nge-blend dengan dunia yang luas, tapi malah dengan begitu lu secara nggak sadar makin erat dengan identitas lu sebagai sarana perkenalan lu juga kepada 'dunia yang luas' itu.

doi juga mengutip Fathali M. Moghaddam, yang bilang bahwa globalisasi berperan penting dalam krisis identitas karena perubahan sosial, politik, ekonomis, serta budaya yang cepat serta tidak menentu. hayolo. dalam perubahan yang cepat itulah, individu jadi merasa perlu untuk menegaskan basis identitasnya dan itu membuat hubungan antar berbagai identitas menjadi rumit.

menarik juga menyimak pendapat Sheila L. Croucher, yang mengatakan bahwa kemunculan berbagai identitas adalah karena seseorang dengan identitas budaya tertentu bertemu dengan orang lain yang memiliki identitas berbeda, sehingga demikian muncullah 'identitas' sebagai eksistensi dan pengakuan kami dan mereka. in other words, globalisasi membuat "ikatan-ikatan rasial, nasional, dan kepercayaan itu justru memperoleh makna baru."

mas Ilham juga melanjutkan bahwa, problem pada multikulturalisme budaya muncul ketika negara berupaya menyeragamkan lewat slogan "budaya nasional." itu juga pertanyaan besar gue selama ini: emang BUDAYA NASIONAL itu yang kayak apa, sih. karena argumen budaya nasional itu bakal bikin oknum mengklaim praktek ini itu salah karena bukan BUDAYA NASIONAL, misalnya pas perayaan Imlek dilarang. kan gila. rasis! blunder.

ini malah jadi bias. kebijakan pemerintah juga malah rasis dan diskriminatif, misalnya dengan berupaya membubarkan Ahmadiyah lewat jalur hukum karena dianggap begini begitu. artinya, ini bukan negara multikultur. secara kebijakan, ini negara yang condong pada asimilasi. dan itu rasis, menurut si penulis.

apakah gue menyalahkan globalisasi? ya enggak. ini resiko dari perubahan. apa yang bisa dilakukan? jadi terus jadi filter bagi diri sendiri.

ditambah lagi, adanya kekhawatiran mengenai persatuan dan stabilitas negara seringkali membuat orang berpaling dari mutukulturalisme. akhirnya ya itu, warisan Orba kalau di Indonesia: munculnya konsep BUDAYA NASIONAL.

mengutip dari F. Budi Hardiman, bahwa politik yang ingin melancarkan hegemonisasi atas keragaman sosial-kultural di bawah satu ideologi dan kekerasan politik justru akan menghasilkan apa yang disebut "menabung dendam kultural." itu nggak sehat, ya tho?

sementara Will Kymlicka, membandingkan kebijakan di Eropa Barat dan Amerika yang menerapkan kebijakan multikuturalisme, dengan negara Eropa Tengah dan Timur yang menerapkan kebijakan "keamanan" terhadap kelompok minoritas guna menjamin stabilitas negara --ya macem di Indonesia, terhadap Ahmadiyah misalnya. hasilnya? "Negara-negara yang disebutkan pertama kondisinya lebih baik, lebih demokratis dan lebih mau dibandingkan dengan negara-negara yang disebutkan terakhir," tulis mas Ilham.

doi juga mengutip Keith Banting yang memaparkan pendapatnya bahwa kebijakan multikultural yang mengakui pluralitas budaya tidak akan mengerosi ataupun meruntuhkan entitas politik negara. ini hasil dari studi Keith di 21 negara, termasuk Austria, Australia, dan Kanada.

well, then, tetep susah karena tak jarang multikulturalisme jadi isu untuk merai kepentingan politik tertentu, kan?

Semesta memang suka bercanda. baru kepikiran soal bagaimana mengalamatkan identitas diri sendiri, eh taunya nemu artikel yang sedikit banyak berkorelasi dengan kegalauanku, hehehe.

sekian tulisan awut-awutan ini, met bobo.

Komentar

Postingan Populer