Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

Resah-resah Seputar Boikot 'Darlings'




Belum lama ini saya mengintip artikel mengenai boikot terhadap film Darlings (diperankan Alia Bhatt) karena dianggap mempromosikan kekerasan terhadap laki-laki. 

Jelas, tidak ada pemakluman atas kekerasan baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Kekerasan tak hanya bisa dilakukan laki-laki. Perempuan pun mungkin menjadi pelaku relasi beracun. 

Tapi di sini, agaknya ada konteks lain yang perlu dibaca, alih-alih memboikot filmnya. Argumen kelompok pro-boikot ini sesungguhnya malah bikin semakin penasaran. Bagaimana ya, perempuan sanggup merespon kekerasan yang mereka alami? Berapa banyak perempuan yang berani membela diri? Bahkan beraliansi dengan orangtuanya, seperti our darling alias Badru? 

** 

Dalam konteks film, selalu menantang menyaksikan bagaimana sinema ikut mengajak kita menerka... ke mana akhir toxic relationship? Apa solusi dari problem itu? Atau lebih tepatnya: bagaimana perempuan mengakhirinya? Atau, bagaimana perempuan KELUAR dari relasi beracun? 

Ini sebuah pertanyaan BAGAIMANA yang besar, karena di dunia nyata, saya menemukan kawan-kawan yang kesulitan keluar dari hubungan beracun, dan konsekuensinya adalah pada jiwa dan raga mereka. Itu juga ide awal film Darlings: perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya: bagaimana perempuan merespon kekerasan yang ia alami? 

** 

Ke dunia nyata sebentar, alih-alih sinema, meski terkait. Hampir sepertiga wanita di India pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, menurut laporan National Family Health Survey-5 yang kulansir dari Indian Express (mohon dikoreksi). Ini tulisan paling baru soal itu, jadi belum sempat kepo menyeluruh pada data-data lain. 

Lebih dari 80% kasus kekerasan fisik terhadap perempuan, pelakunya adalah suami. Selain itu, mereka mencatat, kekerasan fisik atau seksual yang dialami perempuan berkaitan dengan tingkat konsumsi alkohol suami. 70% wanita yang suaminya sering mabuk pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. 

Artinya, gambaran Darlings tentang kekerasan terhadap perempuan sangat relevan di sini. Lalu kita ke sinema. Pernah nonton kan, film atau serial dengan isu toxic relationship, atau kekerasan terhadap perempuan? Yang pernah saya tonton diantaranya; PINK, Bulbbul, dan The Invisible Man. Masih sangat sedikit. 

Yang paling bikin penasaran dari film dengan isu ini adalah: bagaimana solusinya? Bagaimana menyelamatkan diri dari kekerasan dan relasi toxic

Dalam PINK, para perempuan terpaksa mengambil jalur hukum, karena kasusnya telah melibatkan kepolisian. Mereka juga 'beruntung' punya pengacara yang meski tak cerewet, tapi konsisten membela. 

Sementara, film Bulbbul bergeser ke dimensi fantasi. Aduhai, titik yang esktrem! Perempuan 'baru bisa' membela diri dan kaumnya setelah ia dirasuki kekuatan gaib. Perempuan butuh pihak ketiga, kekuatan yang tidak biasa, dukungan dari keberadaan yang lain. Dalam film ini, tak ada ampun bagi pelaku kekerasan, bahkan juga lebih spesifik: tak ada ampun bagi pelaku pernikahan dini. Mereka mati di tangan Bulbbul. 

Di belantara sinema India, boikot film bukan pemandangan baru. Dari dulu, film-film Amir dan SRK juga ramai diboikot, meski ya tetap ditonton. 

Menurut saya, kekerasan terhadap laki-laki bukan sesuatu yang dipromosikan di Darlings. Karena sebelum itu, harusnya film ini saya boikot duluan, karena: mewajarkan tayangan kekerasan terhadap perempuan dalam film. 

Lagi-lagi, diskusinya harus lebih luas dari itu. 

Mengusung toxic relationship, The Invisible Man menawarkan eksekusi yang mirip Bulbbul, tapi dalam dunia nyata, bukan mengambil latar mistis atau gaib. Tak ada jalan lain melawan kekerasan selain membalasnya. Dengan kekerasan. 

Dalam kasus Bulbbul, gadis itu tak berdaya, Kakinya hancur dipukuli, hingga tulang telapak kakinya menekuk terbalik. Ia dipukuli karena suaminya, yang berusia jauh lebih tua, cemburu padanya. Dalam keadaan payah itu, Bulbbul diperkosa oleh saudara kembar suaminya, yang sejak awal sudah 'mengincar' Bulbbul. 

Sementara dalam The Invisible Man, Cecilia melarikan diri dari kekasihnya, Adrian, seorang tukang kontrol yang obsesif dan jahat. Kekerasan yang Cecilia alami adalah lahir batin: ya fisik, ya mental. Setelah berhasil kabur, Cecilia justru tak tenang. Ia merasa seseorang 'mengikutinya.' 

Judulnya cukup mendasar. The Invisible Man. Pria tak terlihat. Sebagaimana kekerasan dan pelaku kekerasan bisa jadi tak tampak. Tapi ada. 

Akhir dari kisah itu adalah, sebuah 'kekuatan baru' hidup dalam diri Cecilia. Tak ada yang bisa menolongnya bebas dari kesakitan yang Adrian buat. Adrian menyulapnya menjadi perempuan gila. Adrian bahkan membunuh orang terdekat Cecilia. Kejahatan Adrian enggak kaleng-kaleng. 

Ia pun membunuh Adrian. 

** 

Darlings memotret isu serupa dengan kultur dan nuansa yang lebih spesifik dan ngepop: keluarga menengah di India. Badru mencintai Hamzah, namun suaminya itu berubah jadi monster, nyaris setiap malam, setelah menenggak minuman keras. Tangan, punggung, kepala Badru jadi samsak tinju. 

Ibunya berkali-kali menyuruh Badru meninggalkan Hamzah, hingga ia sendiri pun kena pukul (bener-bener tabiat penghuni kerak neraka). 

Perjuangan dan kesabaran mereka menghadapi Hamzah sampai pada puncaknya, ketika Hamzah menggugurkan kandungan Badru. Badru setelah itu adalah Badru yang berbeda, ia mati-matian mengorek akal untuk menghentikan teror monster itu, meski dicicil satu-satu mulai dari: obat tidur. 

Namun ia tak pernah bisa benar-benar membunuh suaminya, hingga akhir film pun Badru tak tega. Ia cinta. 

Salah satu adegan menarik, ketika polisi menyebut semacam nama keluarga yang tersemat dalam nama Badru dan ibunya: 'Nissa.' Mereka digambarkan sebagai keluarga Muslim. 

"Namamu 'Nissa.' Namun kami menyebutnya 'Nisha', yang artinya kegelapan malam," kata si polisi, kurang lebih. Relate sama filmnya, yang semakin akhir semakin gelap: kita jadi tau, ke mana ayah Badru sebenarnya pergi. 

Dari film ini, pertanyaan yang mengundang diskusi saya dan suami adalah, bagaimana memahami 'kewajiban untuk taat pada suami'? Sejauh mana ketaatan istri terhadap suami? Ruang diskusi seperti apa yang perlu dibuka? 

Alih-alih diboikot, film ini bisa dijadikan refleksi bersama: bisakah laki-laki bekerja sama demi rumah tangga yang, bermanfaat? 

Dan, ini bukan film pertama yang memiliki adegan kekerasan terhadap laki-laki, with context

** 

Kelihatan tak masalah, tapi ada satu keresahan yang kurasakan dari Darlings, yang juga pernah kubaca di salah satu review film ini (akhirnya ada yang ngebahas!): mengapa Darlings memilih latar keluarga Muslim, diantara latar lain yang bisa dipilih? 

Di negara dengan fanatik Hindu, dengan tingkat kekerasan terhadap Muslim yang tinggi, bukankah Darlings justru berpotensi mempertebal stigma dan sentimen negatif terhadap Muslim? Tidakkah ini faktor yang perlu dipertimbangkan? Apalagi ini proyek mahadaya, diproduseri Gauri Khan, Alia Bhatt, dan Gaurav Verma, di bawah bendera Red Chillies, dan cus rilis di Netflix. 

Pemainnya padahal nggak ada yang Muslim setahuku. Adegan yang relate dengan ritual kemusliman pun... nyaris nggak ada. Jadi... apaaaa urgensinya identitas Muslim di sini?

Update:

Dalam tweet-nya, jurnalis Fatima Khan menuliskan pendapatnya mengenai posisi identitas Muslim dalam film tersebut, kamu bisa membacanya di sini

Cheers.

Komentar

Postingan Populer