Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (4)

Dear, anakku sayang. Hari ini nggak mau bilang apa-apa, selain terima kasih dan maaf. Terima kasih karena sudah tumbuh jadi anak yang lucu, sehat, dan cerdas. Kamu bukan anak penurut, tapi tak kan habis akal Uma dan Baba agar kamu memahami kenapa kamu harus nurut sama kami, LOL. Semoga kerja sama kita berlangsung dengan baik hingga kemudian hari, hahaha. Terima kasih karena Rawi mau memakan apa yang Uma beri, meski mungkin membosankan atau kurang enak. Wi, banyak orang menilai Uma terlalu selektif dengan makananmu. Bahwa Uma melarangmu makan manis, minum manis, termasuk susu, terutama susu. Bahkan Jiddah-mu sendiri kewalahan memahami bahwa kamu alergi susu, dan dia terus meminta Uma memberimu susu. Padahal Uma tak akan lupa rasa stresnya saat kamu minum susu dan tidak makan, lalu di tengah waktu bermain kamu kelaparan. Hadeh. Untuk itu, Uma minta maaf. Tidak ada niat melarang berlebihan. Yang Uma lakukan semata-mata buat kebaikan Rawi, tidak mungkin tidak. Makanan manis hanya akan memb...

saya merasakan bahwa saya muslim

mungkin mulai detik detik ini, akan banyak aku menulis tentang kehidupan baruku, rasa-rasa baru yg aku rasakan di kehidupan baruku. kehidupan baru yg sangat aku nikmati :)

well. do you know?

hal pertama yg paling aku takutkan saat akan masuk ke kampus adalah masalah agama. oke, konyol mungkin. tapi serius, aku memang perlu takut dan waswas. aku tidak pernah jadi minoritas. aku tidak pernah jadi nomor dua. aku selalu hidup di lingkungan mayoritas dan nomor satu. do you get the meaning?

begitu saja masuk ke kampus, (saya harusnya sudah tau) bahwa everything changed. di sini, muslim nomor dua. saya adalah minoritas: hal yg jarang saya terima. dan mungkin, justru dengan keminoritasan yg saya alami, maka saya istimewa :)

awalnya, untuk bergaul dg yg mayoritas itu, saya pikir bakal sulit. saya malah membayangkan saya bakal ikut-ikutan tertarik Injil, karena ternyata pelajaran Agama atau Religiositas di sini diajar oleh seorang Pendeta. well, saya toh menghargai caranya menghargai saya. namun pendeta tetap pendeta kan? apalagi pendeta. beliau setingkat dengan ulama atau kiai di agama saya, dan itu artinya, beliau memiliki tingkat relijius yg lumayan.

namun, saya bersyukur. ternyata, saya merasakan suatu keajaiban. dengan bergaul dengan mereka si mayoritas itu, saya malah merasa ingin tahu banyak hal tentang agama saya, bahkan dari akar*nya.
saya bahkan menelpon ayah saya di semarang hanya untuk sebuah pertanyaan yg mengganggu saya:

bagaimana proses Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi?

kalau Rasul kan, beliau menerima wahyu di Gua Hira. tapi saat jadi Nabi?

ayah sampai bilang "Wah, ini pertanyaan yg membuat semua orang belajar."

dan saya merasakan bahwa saya muslim.

Komentar

Postingan Populer