Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

saya merasakan bahwa saya muslim

mungkin mulai detik detik ini, akan banyak aku menulis tentang kehidupan baruku, rasa-rasa baru yg aku rasakan di kehidupan baruku. kehidupan baru yg sangat aku nikmati :)

well. do you know?

hal pertama yg paling aku takutkan saat akan masuk ke kampus adalah masalah agama. oke, konyol mungkin. tapi serius, aku memang perlu takut dan waswas. aku tidak pernah jadi minoritas. aku tidak pernah jadi nomor dua. aku selalu hidup di lingkungan mayoritas dan nomor satu. do you get the meaning?

begitu saja masuk ke kampus, (saya harusnya sudah tau) bahwa everything changed. di sini, muslim nomor dua. saya adalah minoritas: hal yg jarang saya terima. dan mungkin, justru dengan keminoritasan yg saya alami, maka saya istimewa :)

awalnya, untuk bergaul dg yg mayoritas itu, saya pikir bakal sulit. saya malah membayangkan saya bakal ikut-ikutan tertarik Injil, karena ternyata pelajaran Agama atau Religiositas di sini diajar oleh seorang Pendeta. well, saya toh menghargai caranya menghargai saya. namun pendeta tetap pendeta kan? apalagi pendeta. beliau setingkat dengan ulama atau kiai di agama saya, dan itu artinya, beliau memiliki tingkat relijius yg lumayan.

namun, saya bersyukur. ternyata, saya merasakan suatu keajaiban. dengan bergaul dengan mereka si mayoritas itu, saya malah merasa ingin tahu banyak hal tentang agama saya, bahkan dari akar*nya.
saya bahkan menelpon ayah saya di semarang hanya untuk sebuah pertanyaan yg mengganggu saya:

bagaimana proses Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi?

kalau Rasul kan, beliau menerima wahyu di Gua Hira. tapi saat jadi Nabi?

ayah sampai bilang "Wah, ini pertanyaan yg membuat semua orang belajar."

dan saya merasakan bahwa saya muslim.

Komentar

Postingan Populer