Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear Rawi (2)

Hai, sayang. This is me again.  Raw, hidup melelahkan, ya? Entah melelahkan karena menjenuhkan dengan rutinitas yang terus berulang, atau melelahkan karena memang, ya lelah, secara fisik dan mental? Huahaha.  Uma berharap, kamu tidak mengalami kelelahan, kamu tidak mengalami ketidakenakan. Raw, doa Uma hari-hari ini sepertinya hanya satu, agar Uma (dan Baba) bisa dipercaya Allah untuk terus merawat Rawi, sampai nanti Rawi siap hidup di atas kaki sendiri.  Hidup nggak mudah, Raw. Dan level ketidakmudahan itu terus berubah. Semisal, saat mulai sekolah nanti, kamu akan menemukan ketidakmudahan hidup seperti: susah bangun pagi, susah memahami pelajaran, mungkin susah mengerjakan PR, susah harus bertanggung jawab dengan aktivitas harian, susah menghafal surat Al-Quran, susah membereskan kamar yang berantakan, dan sebagainya.  Tapi, Raw, jalani saja. Lakukan saja. Bangunlah, pahamilah, belajarlah, kerjakanlah, hafalkanlah. Dengan begitu, ketidakmudahan akan terlewati....

saya merasakan bahwa saya muslim

mungkin mulai detik detik ini, akan banyak aku menulis tentang kehidupan baruku, rasa-rasa baru yg aku rasakan di kehidupan baruku. kehidupan baru yg sangat aku nikmati :)

well. do you know?

hal pertama yg paling aku takutkan saat akan masuk ke kampus adalah masalah agama. oke, konyol mungkin. tapi serius, aku memang perlu takut dan waswas. aku tidak pernah jadi minoritas. aku tidak pernah jadi nomor dua. aku selalu hidup di lingkungan mayoritas dan nomor satu. do you get the meaning?

begitu saja masuk ke kampus, (saya harusnya sudah tau) bahwa everything changed. di sini, muslim nomor dua. saya adalah minoritas: hal yg jarang saya terima. dan mungkin, justru dengan keminoritasan yg saya alami, maka saya istimewa :)

awalnya, untuk bergaul dg yg mayoritas itu, saya pikir bakal sulit. saya malah membayangkan saya bakal ikut-ikutan tertarik Injil, karena ternyata pelajaran Agama atau Religiositas di sini diajar oleh seorang Pendeta. well, saya toh menghargai caranya menghargai saya. namun pendeta tetap pendeta kan? apalagi pendeta. beliau setingkat dengan ulama atau kiai di agama saya, dan itu artinya, beliau memiliki tingkat relijius yg lumayan.

namun, saya bersyukur. ternyata, saya merasakan suatu keajaiban. dengan bergaul dengan mereka si mayoritas itu, saya malah merasa ingin tahu banyak hal tentang agama saya, bahkan dari akar*nya.
saya bahkan menelpon ayah saya di semarang hanya untuk sebuah pertanyaan yg mengganggu saya:

bagaimana proses Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi?

kalau Rasul kan, beliau menerima wahyu di Gua Hira. tapi saat jadi Nabi?

ayah sampai bilang "Wah, ini pertanyaan yg membuat semua orang belajar."

dan saya merasakan bahwa saya muslim.

Komentar

Postingan Populer