Langsung ke konten utama

Unggulan

CATATAN EMPAT TAHUN PERNIKAHAN: "Aku Benar pun Tetap Salah"

Bulan Juni lalu, menjelang ulang tahun pernikahan kami, di tengah momen berbalas chat dengan suami, aku baru menyadari sesuatu. "YANG! Kita tuh udah empat tahun nikah, lho. Kirain baru tiga tahun." Aku punya patokan khusus untuk memudahkan menghitung pernikahan kami. Tahun pertama menikah itu memorable karena aku harus operasi pengangkatan miom. Yes, halo sobat SC. Sayatan lukaku tentu enggak ada apa-apanya dibanding kalian, tapi sama-sama berbekas dan sering gatel atau nyeri kalau kecapekan. Tos. Sisanya maka tinggal ditambah usia Rawi, yang lahir di tahun kedua pernikahan kami.  Ada yang bilang, pernikahan itu yang penting komunikasi. Yes, penting banget memang. Seratus persen aktivitas pernikahan itu sangat terkait dengan komunikasi. Kran kamar mandi rusak, ngomong. Perlu belanja ini itu, ngomong. Pengen gantian momong anak, ngomong. Semua kesepakatan dalam rumah tangga, tentang ke mana anak akan disekolahkan, tentang bagaimana mendidik anak sesuai usianya, tentang mainan...

it's all about believing


Halo, Dunia. Selamat bertemu lagi :))

Oke, sebelumnya gue udah posting tentang matkul PBMC kan? Yap. Matkul itu membuat gue harus menjadi wartawan. Mungkin beda sama Indah, dia udah kelatih banget rasa pede dan kritisnya, nah gue? Uhu. Nggak cuma PBMC, tapi matkul Kommas, seperti yg sebelumnya gue ceritain, juga membuat gue seperti menjadi wartawan.

Pertama, cari kontak narasumber di internet. Ini agak awkward saat Cesita bilang dia dapet alamat dan nomor telepon Yayasan SET di internet, yang ternyata itu salah. Gue googling-in lagi dan akhirnya dapet deh. Indah juga sempet salah dapet nomer narasumber. Nggak hanya itu, bahkan ada sebuah perusahaan media lokal yg nggak ada bau-baunya di internet.

Jadi, tips pertama, pandai-pandailah googling kontak narasumber. Telepon dulu sebelum lo ke alamat yg lo temukan. Siapa tahu itu alamat dan nomer telepon hoax kayak yg Cesita alami tadi? Beruntung kalau lo mau usaha sedikit untuk bertanya ke dosen-dosen atau orang yg mungkin punya link ke sana, itu akan sangat mempermudah. And thanks a lot to Pak Igna for some contacts! :))

Kedua, lo hubungi narasumber dan bikin janji, kapan dan dimana bisa wawancara. Ketiga, siapin bahan wawancara. Bikin list pertanyaan sesuai kapasitas narasumber lo. Keempat, baru lo bisa wawancara dg narasumber, woohoo!

Dan.. ini dia. Saat gue dan Indah naik motor menuju tempat narasumber, itu yang gue rasakan. Feel pertama menjadi wartawan. Nggak peduli itu narasumber minta ketemu dimana, jabanin aja. Jauh-jauh dari pinggiran Kota Tangerang, menuju kantor AJI di Senen, Jakarta. Terlebih, saat Indah bilang, “Nas, ini gue nggak tahu dimana kantor AJI-nya. Kita coba cari dulu, ya. Kalo dapetnya sore ya udah besok kita balik lagi.”

Itu membuat gue merinding, di tengah Jakarta yg macet dan ruaar biasa puannas.

Jadi, lo bisa lihat bahwa gue dan Indah sebenernya nggak ngerti dimana kantor AJI. Kita gambling aja cari tempatnya. Indah aja nggak tau, apalagi gueeee yg bukan orang sini. Kalau dapet ya wawancara. Kalau nggak dapet tempatnya.... ya udah, nasib. Besok balik lagi ke sini. Untungnyaaa hari itu ketemu langsung sama AJI. Gue percaya, itu nasib baik. Gue bahkan sempet lupa makan, pas ke AJI dan Tangerang Express. Dan rasa kenyangnya berasa setelah berhasil dapat berita.

Ada beberapa part dimana gue merasa @#!$%^&*!! yaitu:
 - Saat sekretaris Pak Ninok, Wartawan Senior Kompas, SMS dan bilang Pak Ninok bisa ditemui utk wawancara di ruangannya, sedangkan gueeee ada janji, di jam yg sama, utk ketemu sama tim sukses I'm Kom. Gue nggak pengen ngebatalin janji itu, karna artinya mengecewakan mereka. Tapi Indah bilang, “Tinggal dulu. Pak Ninok lebih penting.” Iya, Indah bener. Bisa ketemu Pak Ninok itu bagai oase di tengah padang gurun *tsaaaah

- Saat Pak Bekti Nugroho dari Dewan Pers bilang bahwa beliau bisa wawancara hari Jumat, dimana gue ada kelas *** jam 2, dan udah dua kali cabut, yang artinya... "Gue nggak bisa cabut lagi!!!!!" Dan gue minta tolong ke Lele sama Indah buat wawancara ke sana.
Disitu, gue notice satu hal. Bahwa saat nanti menjadi wartawan, lo punya satu komitmen utk stay demi berita yg ada. Sabar menunggu. Demi ketemu narasumber. Demi mewawancarai. Yeah. Demi berita. Dan deadline.

Sekarang gue, Indah, dan Lele, mulai berkutat bikin beritanya. Gue sih udah bikin script wawancara gue. Tinggal nunggu Indah dan Lele kirim script Dewan Pers dan Direktur LSPP, lalu bikin berita beneraaaan deh!

Lelah.

Di balik itu, gue sangat berterima kasih sama Pak Benny atas tugas ini. Seenggaknya gue dapet bayangan nantinya gimana jadi wartawan, yg sesungguhnya... itu bukan dunia yg gue inginkan, awalnya.

Hingga pagi itu, saat gue nemui Bu Berta di ruangannya utk minta tanda tangan beliau di surat izin wawancara.

“Gimana inas, ujiannya kemarin bisa?”

“Bisa Bu, alhamdulillah..”

“Trus gimana masuk Jurnalistik? Seneng nggak?”

“Alhamdulillah, Bu. Baru berasa ini senengnya, pas bisa ketemu orang-orang buat wawancara. Kemarin wawancara ke AJI, Bu…”

Habis ngomong gitu, tiba-tiba gue kepikiran..

Iya, ya? Gila, Tuhan baik banget. Kalau gue dulu maksain masuk di universitas di Semarang lewat gelombang kedua, mungkin.. gue tetep Inas yg kayak gitu. Yang mungkin nggak tau AJI itu tempatnya kayak apa. Kalaupun melakukan wawancara, mungkin orangnya ya orang-orang itu. Bukan wartawan TEMPO, Kompas, bukan Direktur LSPP.

Well.

Yang lebih penting dari itu adalah bahwa gue mengalami pengalaman baru yang menantang, dan gue akan selalu mensyukurinya entah gue di Tangerang atau Semarang.

Believe in God. He do the best as always. Mungkin sekarang lo masih nggak menemukan apa sih maunya Tuhan bikin lo kayak gini? Tapi akan ada satu momen, atau lebih, tapi nanti, dimana lo tahu keputusan Tuhan selalu yg terbaik buat lo. Dia kenal semua hamba-Nya, dia tahu apa yang baik buat kita. Kuncinya: JANGAN BERHENTI. JANGAN DIAM. BERGERAK, TERUS BERGERAK.

Komentar

Postingan Populer