Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear Rawi (2)

Hai, sayang. This is me again.  Raw, hidup melelahkan, ya? Entah melelahkan karena menjenuhkan dengan rutinitas yang terus berulang, atau melelahkan karena memang, ya lelah, secara fisik dan mental? Huahaha.  Uma berharap, kamu tidak mengalami kelelahan, kamu tidak mengalami ketidakenakan. Raw, doa Uma hari-hari ini sepertinya hanya satu, agar Uma (dan Baba) bisa dipercaya Allah untuk terus merawat Rawi, sampai nanti Rawi siap hidup di atas kaki sendiri.  Hidup nggak mudah, Raw. Dan level ketidakmudahan itu terus berubah. Semisal, saat mulai sekolah nanti, kamu akan menemukan ketidakmudahan hidup seperti: susah bangun pagi, susah memahami pelajaran, mungkin susah mengerjakan PR, susah harus bertanggung jawab dengan aktivitas harian, susah menghafal surat Al-Quran, susah membereskan kamar yang berantakan, dan sebagainya.  Tapi, Raw, jalani saja. Lakukan saja. Bangunlah, pahamilah, belajarlah, kerjakanlah, hafalkanlah. Dengan begitu, ketidakmudahan akan terlewati....

Ningsih

Jangan salahkan Ningsih, tolong.

Bukankah Ningsih dayang kesayangan Prabu? Toh kita tahu Prabu Dharma susah nian memilih dayang. Tak mudah hatinya mau menerima dayang baru. Namun Ningsih? Gadis perawan itu memikat hati Prabu sedemikian mudah. Dalam. Lamat. Dibuatnya kami skak mat. Padahal, bibirnya sama dengan bibirku. Ranum, rekah, merisak. Kulitnya semulus milikku. Senyumnya semanis aku. Tubuhnya sebagus punyaku. Tapi tetap, lebih montok dadaku. Biritku.

Ningsih tidak salah. Singkirkan tuduhan itu. Ningsih baik, tak mungkin membunuh!

Ya, perawan itu begitu santun. Tak pernah menaikkan suaranya barang satu oktaf ketika berkata. Bahkan pada yang derajatnya lebih muda. Apalagi padaku, Wardhani, dayang pertama dan terlama Parbu Dharma. Aku yang pertama melayani Prabu ketika ia naik tahta. Menyiapkan bebuahan. Menyapu keringat. Menyisir rambut. Merapikan bahkan kadang memakaikannya busana kebesaran Kerajaan. Menemani malam-malamnya di pembaringan yang dingin, tapi lembut. Memberikannya titik puas yang ia pinta. Aku kesayangan Prabu. Namun tidak setelah perawan itu ada.


Ningsih cantik, Ningsih baik. Jangan salahkan Ningsih! Hentikan tuduhan itu!

Meski aku mati-matian menahan amarah saat melihatnya disanjung Prabu. Gadis itu hanya mendatanginya mengingatkannya makan siang! Tapi Prabu begitu memujanya. Kata Prabu, Ningsih lah gadis tercantik yang pernah dilihatnya. Tak pernah kulihat mata Prabu begitu bahgia. Memancarkan binar yang tak pernah ku pandang sebelumnya. Aku muntab. Ini ancaman. Posisiku sebagai kesayangan Prabu sudah tak aman. Aku mencakar tembok. Kuku jemariku patah. Perih berdarah!


Ningsih tidak salah! Ningsih tak mungkin membunuh Prabu!

Ningsih yang tulus. Ningsih yang polos. Tidak mungkin ia yang membunuh Prabu. Hanya saja, waktu itu aku mendatangi kamar Prabu. Mengelus pembaringannya pelan. Hangat. Kesalku mulai bangkit. Siapa yang sudah rebah di sini selain aku?! Pelan, kuelus punggung Prabu. Kutelusur lekuk lengannya dengan jemariku yang sudah tak terluka. Ia menoleh. Ia tersentak. Tersadar.

"Kamu bukan Ningsiih?"

Aku bangkit. Mengangkat wajah, hingga terkena cahaya bulan. Hingga parasku bisa terlihat. Hingga ia tahu, aku bukan yang dia harapkan.

"War... Aku menungguh Ningsih. Bukan kamu!"

"Pra.. Prabu.. Am, ampun... Kenapa Prabu menunggu Ningsih?"

"Tadi dia sudah bebaring di sini. Lalu pergi. Ku pikir ia kembali ke sini..."

"Jadi, kini... Prabu dengan.... perawan itu?"

"Jaga ucapanmu Wardhani!"

"Prabu tak menginginkan aku lagi di sini? Menemani malam-malam Prabu lagi?"

"Ningsih!" Prabu tak menghiraukan keputusasaan dalam suaraku. Ia bangkit dan berjalan ke pintu.

Segera saja kusabet pisau yang menancap di buah apel, di samping kursi malas Prabu. Dengan penuh amarah, kutancapkan ujung tajamnya ke punggung Prabu. Detik berikutnya, darah mengalir begitu cepat. merembes ke pisau, lalu ke tanganku!

Kucabut pisau. Kutinggalkan Prabu yang perlahan menubruk lantai. Kulangkahi jasadnya.


Sungguh, ini bukan salah Ningsih!

Kamar Ningsih tujuanku berikutnya. Kubuka cepat sadel pintu. Yang kuingat berikutnya, aku menaruh begitu saja pisau di tangan Ningsih. Tangan yang suci itu. Tangan yang tulus itu. Kutinggalkan kamarnya, Kucuci tanganku, kuguyur tubuhku dengan air. Lalu beranjak ke pembaringan, seolah tak ada apa-apa.

Tolong jangan penjarakan Ningsih!

Setengah dariku tertawa. Setengah dariku terluka. Setengah dariku mati rasa. Sisanya, kepiluan. Kebingungan. Ningsih tertangkap. Ia langsung dianiaya oleh dayang-dayang lain. Dicakar. Tampar. Dorong. Aku menyaksikannya dalam diam. Aku membencinya. Rusak saja wajahnya! Enyahkan dia!

Datang para penjaga. Mereka menyeret Ningsih ke penjara. Lalu tinggallah aku, muram durja. Ini tidak benar. Prabu tetap mati. Ningsih di penjara. Dan aku, disiksa dusta.

Tak akan ada lagi kepuasan di tengah malam. Tak akan ada rutinitas indah itu. 

Tolong! Aku yang salah!

Komentar

Postingan Populer