Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

Tentang Ayah di Hari Ayah

Selamat hari Ayah!

Emang sih, banyak yang mulai bilang kalo di Islam nggak ada perayaan hari Ayah segala. Sama dengan hari Ibu. Tapi biarlah ini jadi momen super spesial, seperti momen super spesial lainnya dalam mengenang Ayah :)

Nama Ayahku Faisal Riza. Dia nggak pantas disapa dengan "Bapak". Kesannya kaku. Kalo "Papa", kesannya modern. Padahal beliau nggak kaku dan nggak modern amat. Makanya, "Ayah" dirasa tepat, karena beliau memang ngayomin, njagain, ngedidik banget. Pas. Beliau lulusan SMK jurusan Teknik Mesin. Pernah mondok di sekitar Jogja dan masuk panti asuhan Muhammadiyah. Tidak kuliah. Pernah mau dibawa ke Jepang oleh orang Jepang untuk belajar di sana saat masih kecil, namun tidak diizinkan Nenek. Dari album foto, aku tahu beliau menghabiskan masa muda dengan aktif di pemerintahan sampai hampir maju di DPRD sebagai wakil dari PAN, seru-seruan sama teman-temannya di pantai, air terjun, berburu, hingga karate. Merantaunya ke Kalimantan, di hutan-hutan. Pernah jadi sales buku, sampai obat. Bagiku, beliau luar biasa.

Aku bangga sama ayahku.

Ayahku adalah keajaiban hidup. Gara-gara ngototnya beliau menyuruh kami baca buku agama sejak kecil, seenggaknya aku nggak bodoh-bodoh amat. beliau berhasil bikin aku percaya sama kebesaran Allah, meski khilafku juga masih banyak. Didikan beliau nggak main-main. Pernah nggak diancam golok karatan sama ayah kalian? Atau disabetin pake lidi gara-gara kalian nggak nurut? Uh, aku makan asam garamnya. Dikunciin di gudang lah, dan sebagainya. Itu semua memberi pelajaran luar biasa. Dengan itu, beliau berhasil bikin aku rela menukar nyawa demi keberlangsungan hidup dan panjang umurnya.

Aku bangga sama beliau.

Dulu, aku memang sering bersitegang sama Ayah. Ngambek, marah, kekasaran verbal semua keluar. Sampai kata "benci". Tapi semua itu berubah, seiring waktu, tumbuh besar, aku sadar bahwa semua itu benar-benar demi kita. Kata-kata marahnya, bentakannya, itu karena dia sayang sama kita dan dia kecewa kalo kita nggak nurut sama apa yang dia bilang. Percayalah, aku mengalami fase dimana "gue tahu apa yang gue mau dan gue tahu ini baik buat gue, lo diem aja simak gue baik-baik wahai bokap nyokap" dan percayalah juga, itu nggak bener, man. Orang tua lo mungkin nggak tahu apa yang lo mau, tapi mereka sudah menjalani hidup lebih lama sehingga mereka tahu langkah apa yang harus dilalui demi mendapat apa yang lo mau itu. Jangan lupakan itu.

Aku bangga sama ayahku.

Beliau bisa apa saja. Serius. Mengerjakan pekerjaan tukang, mengurus hewan peliharaan, mengurus rumah dan segala tetek-bengeknya, menuntun anak, memasak, bicara di depan umum, mengambil hati orang, melawak, menawar harga, mengutak-atik mesin, bahkan menjawab satu pertanyaan matematika yang tak bisa dijawab oleh guru lesku sekalipun. Kalo kita bahas lagi, kamu pasti naksir beliau. Jadi segitu aja, ya.

Semua itu berbekal dari tenang. Sikap tenangnya luar biasa. Tiap ada masalah, dia akan tersenyum, diam, lalu berkata, "Tenang, tenang," dengan senyum yang makin lebar. Lalu berpikir, lalu kelar urusan. Apa tadi kataku? Keajaiban hidup.

Aku bangga sama ayahku.

Orang suka bilang ayahku nyentrik. Pemikirannya kadang kala tak sejalan dengan orang banyak. Itu karena ia mengambil banyak pertimbangan sebelum memutuskan. Beda sama kebanyakan orang yang main judge tanpa pikir sisi lainnya. Serius. Satu dua tiga empat dan berpuluh kali aku melihat sendiri. Bagai cenayang. Dia tahu apa yang di depan. Duh, makin ajaib. Ayah tahu mana waktu bergurau, mana yang serius. Sehingga menghabiskan hidup bersama beliau sungguh menyenangkan, bagi orang sepertiku.

Suatu malam, aku pernah berdoa, aku mau diberi lelaki seperti Ayah. Versi seumuranku. Tapi, ada nggak, ya?

Rindu untukmu,

Inas.

Komentar

  1. Helo, Assalamualaikum saya inan,  postingan yg manis dan rasanya ingin sekali menjumpai ayah anda :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Inan, wah nama kita beda tipis, Inas dan Inan hehe :)
      Terima kasih sekali. Iya, manis karena dia emang super istimewa. Inan orang mana?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer