Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear Rawi (2)

Hai, sayang. This is me again.  Raw, hidup melelahkan, ya? Entah melelahkan karena menjenuhkan dengan rutinitas yang terus berulang, atau melelahkan karena memang, ya lelah, secara fisik dan mental? Huahaha.  Uma berharap, kamu tidak mengalami kelelahan, kamu tidak mengalami ketidakenakan. Raw, doa Uma hari-hari ini sepertinya hanya satu, agar Uma (dan Baba) bisa dipercaya Allah untuk terus merawat Rawi, sampai nanti Rawi siap hidup di atas kaki sendiri.  Hidup nggak mudah, Raw. Dan level ketidakmudahan itu terus berubah. Semisal, saat mulai sekolah nanti, kamu akan menemukan ketidakmudahan hidup seperti: susah bangun pagi, susah memahami pelajaran, mungkin susah mengerjakan PR, susah harus bertanggung jawab dengan aktivitas harian, susah menghafal surat Al-Quran, susah membereskan kamar yang berantakan, dan sebagainya.  Tapi, Raw, jalani saja. Lakukan saja. Bangunlah, pahamilah, belajarlah, kerjakanlah, hafalkanlah. Dengan begitu, ketidakmudahan akan terlewati....

Ancer-ancer Jurnalisme Damai

Prinsip-prinsip jurnalisme damai dari Annabel McGoldrick dan Jake Lynch. Nih.
Hindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselisihan. Lebih baik menunjukkan bagaimana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.

Hindari penggunaan kata-kata yang emosional yang tidak tepat menggambarkan apa yang telah terjadi kepada sekelompok orang. Misalnya kata; ‘genocide/genosida’, ‘tragedi’, ‘pembantaian’. Lebih baik kita selalu mengetahui secara persis situasi yang kita hadapi. Jangan mengecilkan arti penderitaan tapi gunakan bahasa yang kuat untuk situasi serius itu. Pilih diksi kata lain: insiden, peristiwa penyerangan.

Hindari pula penggunaan label seperti ‘teroris’, ‘fanatik’, ‘ekstrimis’, ‘fundamentalis’. Tak pernah ada orang yang menggunakan kata-kata tersebut untuk mendeskripsikan diri mereka, maka jika jurnalis menggunakannya berarti jurnalis sudah berpihak dan tidak lagi diposisi seharusnya. Lebih baik menyebut kelompok yang bertikai dengan nama yang mereka pakai sendiri.

Hindari memperlakukan konflik seolah dia hanya terjadi pada saat dan tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba untuk menelusuri hubungan dan akibat-akibat yang terjadi bagi masyarakat di tempat lain pada saat ini dan saat mendatang. Tanyakanlah, pelajaran apa yang dapat diambil oleh masyarakat?

Hindari pemusatan perhatian hanya pada pelanggaran hak asasi manusia. Lebih baik menyebutkan semua pelaku kesalahan dan memperlakukan pihak-pihak yang bertikai secara setara karena telah melakukan kekerasan. Dengan ini, jurnalis tidak akan memihak dan membantu mengumpulkan berbagai bukti yang ada guna menuju perdamaian.

Hindari penyebutan opini atau klaim yang seolah sudah pasti, misalnya “SBY satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab atas diskriminasi Syiah di Sampang”.

Hindari penantian akan pemimpin ‘kita’ mengusulkan jalan keluar. Lebih baik, ambil dan gali usulan perdamaian dari manapun asalnya.

Hindari pelaporan yang hanya menonjolkan unsur kekerasan dan mendeskripsikan tentang ‘horor’. Bila Anda mengeluarkan segala hal yang ingin Anda usulkan dan hanya menyebutkan bahwa penjelasan satu-satunya bagi kekerasan adalah kekeraan yang lain (pembalasan); hasilnya adalah kekerasan makin meningkat (pemaksaan dan penghukuman). Lebih baik tunjukkan bagaimana orang menjadi buntu dan frustasi atau mengalami kerugian dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari konflik.

**

Tambahan dari Endy M. Bayuni, eks Editor Senior The Jakarta Post yang juga aktivis SEJUK (Serikat Jurnalis Keberagaman); penggunaan pilihan kata seperti “aliran sesat” dan “bertaubat” yang digunakan oleh media masuk kategori pelanggaran kecil, karena menghakimi satu ajaran agama/aliran dan membenarkan ajaran agama yang lain. Sebagai media umum, tidak tepat media menentukan mana ajaran yang benar dan mana yang sesat.

Komentar

Postingan Populer