Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

Mbak, dendangan Sore-mu mengubah setengah dari segalanya.

We truly can’t judge the book by it’s cover.
No, it isn’t only the cover, but also the kata pengantar or pendahuluan.
And... hey, you also can’t judge it by reading them only page to page.
You can’t even judge it though you finish the book, because you can be so subjective.
Perspective does exist, right.

Seperti halnya kamu mengira tulisan ini bakal keren, bakal membawamu menembus garis batas cakrawala terluar dari alam khayalmu. Begitu?

Ha ha ha.

*

Yang jelas, intinya, gue abis kena tampar. Ditampar oleh kenyataan bahwa mbak-mbak kemayu itu ternyata sesuatu.
*

Aku pikir dia mbak-mbak kekinian yang "kosong". Meja kamar kosnya dipenuhi alat rias. Aneka rupa cream tanpa label. Tau kan, khas cream wajah ala dokter-dokter gitu. Then,  di rak sepatunya penuh heels-heels. Kutebak, harganya tak semahal bentuknya. Mungkin beli di Ramayana, bagus rupa, bagus harga. Kualitas? Entah. Hampir dua bulan kos di sini, aku tak melihatnya memakai satu pun heels itu. Ya ke kantor pakai sepatu itu saja. Di kos pakai sandal. Gitu terus. Njur dipakainya kapan? Halah. Bukan urusanku.

Bukan urusanku juga dia perempun baik-baik atau bukan. Yang jelas, dia merokok.

Itu juga yang disampaikan Mbak Umi, istri Mas Catur, penjaga kosku. “Ya di sini memang ada sekian orang merokok. Kebetulan Mbak diapit sama mereka...”

“Siapa aja yang ngerokok, Mbak?”

“Hmm, di samping kanan kamar Mbak, samping kiri, depan, sama samping kanan depan kamar Mbak. Dua diantaranya pakai jilbab, Mbak.”

“..... wow.”

Lengkap. Asap rokok itu bakal mengepul jadi satu di depan kamarku. Jadi ingat, kalau aku meninggal mendadak di kosan, tolong paru-paruku diperiksa. Siapa tahu aku korban perokok pasif?

Awalnya kupikir mereka perempuan-perempuan mengesalkan. Tapi rupanya cukup santun juga. Waktu mereka ingin merokok di depan-kamar-Mbak-Mbak-kemayu, yang adalah persissssss di depan kamarku, mereka mengetuk pintu kamarku. Minta izin. Tapi waktu itu aku sudah pulas, dan lupa mematikan lampu kamar. Jadi mereka merokok saja gitu. Dengan tanpa sadar, aku menghirup asap demi asap rokoknya.
Syahdu.

Saya bukan benci perokok. Yah elah, saya dikelilingi mereka. Yang sampai nyimeng juga ada. Cuma, ternyata, nggak enak lho ngisap asap rokok itu.
*

Mbak kemayu ini rupanya sudah dianggap “hitam” oleh penjaga kos. Dia pernah menghasut teman-teman kos untuk demo, meminta agar diperbolehkan merokok di lorong kos. Tidak hanya di balkon. Bahkan mereka memfitnah penjaga kos, sampai di empunya kos marah dan menganggap penjaga kos nggak bisa sabar mengurus anak-anak kos.
*

Mbak kemayu ini juga kelewatan. Wajahnya.. oke. Jujur. Suaranya... bagus, jujur. Tapi aku paling tidak bisa melihatnya bersuara super-sok-imut. Melengking manja. Geli dengarnya.

Pernah, suatu ketika, Nadia cerita kalau Mbak kemayu ini mengaku “lagi pemotretan” saat bicara ditelepon. Kebetulan dia telepon di balkon, Nadia juga sedang di situ. Mau tidak mau dia dengar. Dan, lha si Mbak kan lagi dudukan di balkon? Kok bisa lagi pemotretan?

Begitulah.

Pokoknya buat saya, Mbak kemayu ini nol besar. Kosong. Ditambah gaya bicaranya yang genit, jelas sudah. Dia bukan apa-apa. Cuma perempuan yang pingin dianggap oke saja.
*

Sampai, suatu ketika, saya mendengarnya menyanyi, di kamar mandi.

Sebuah lagu. Lalu, sebuah lagu lagi. Lalu, sebuah lagu lagi. Lalu dia ulangi lagi.

Suara indahnya, menghantam telingaku. Aku kaget.

Dan kuuu harap, menjadi bagianmu
Kubisa gila tak berharap
Dan kuuu harap, menjadi harapanmu
Kuuu bisaa gilaaa.

Sesimpel itu. Si Mbak kemayu, Mbak kosong itu, mendadak mengajariku sesuatu. Mendadak berubah. Dia bukan perempuan kosong.

Karena, perempuan kosong tak akan menikmati lagu-lagu Sore. Hingga hapal. Hingga menyanyikannya terus-menerus. Hanya mereka yang kuat iman yang bakal melakukannya. Bagiku, menggemari Raisa itu super biasa saja. Menggemari Tulus, oke lah. Efek Rumah Kaca? Wow. Payung Teduh? Wah, boljug.

Sore?

Bagiku, orang bisa dinilai lewat musik yang dia dengarkan, sukai, jiwai, maknai. Menggemari Sore adalah sefantastis menggemari Frau. Float. White Shoes. Menurutku, mereka keren. Jadi, pendengarnya adalah juga orang-orang “keren”. Karena Mbak kemayu itu fasih menyanyikan Sore, maka, dia bukan perempuan kosong. Setidaknya sudah terisi setengah.

Maka dengan begini, aku sudah dua kali menilai buku dari bungkusnya saja. Seenak rasa.

Maka, pahamilah, ini sesusah tidak mencontek saat ujian, sementara mencontek saat ujian itu bukan sesuatu yang disarankan. Ini sesusah tidak memakan mentah-mentah headline-headline media online, sementara kita berwatak mudah tersulut begitu baca headline tertentu. Ini sesusah menahan godaan untuk scroll timeline Facebook, ber-mention ria dengan gebetan, atau kepo Instagram mantan, sementara Bos menunggu laporan terkini dari kerjaanmu.

Padahal, aku pun sudah melewati lembar pendahuluan dan bab 1. Tapi, “buku” berjudul “Mbak Kemayu” ini rupanya menyimpan kejutan lain. Saya bersumpah, akan belajar memaklumi dirinya, juga memaklumi saya, yang belum kunjung bisa menahan diri untuk tidak menilai dari lapis-lapis luar.
*

We truly can’t judge the book by it’s cover.
No, it isn’t only the cover, but also the kata pengantar or pendahuluan.
And... hey, you also can’t judge it by reading them only page to page.
You can’t even judge it though you finish the book, because you can be so subjective.
Perspective does exist.

Seperti halnya kamu mengira tulisan ini bakal keren, bakal membawamu menembus garis batas cakrawala terluar dari alam khayalmu. Begitu?


Ha ha ha.

Komentar

Postingan Populer