Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear Rawi (1)

Halo, Nak.  Ini tulisan pertama Uma untukmu. Awalnya Uma berpikir menulis diary yang bisa kamu baca. Bukunya masih ada, di lemari buku di rumah Akung. Tapi waktu membuatnya tak lagi terisi. Waktu Uma habis untuk membersamaimu, bekerja, lalu mengurus rumah, dan sisa sedikit untuk tidur atau memuaskan hasrat Uma sendiri, seperti membaca buku atau menulis. Maka Uma memilih menulisnya di sini, di blog Uma, ruang yang mungkin bisa diakses oleh banyak orang, tapi tulisan-tulisan ini khusus buatmu. Uma pikir, menyimpannya di ruang digital macam ini akan lebih membuatnya abadi . Tidak akan rusak terkena air, rayap, atau tersobek dan sulit dibaca.  Rawi, umurmu sudah dua tahun, tapi Uma masih penuh kekurangan dalam merawatmu. Hari ini saja, kita baru pulang dari dokter. Kabarnya, tinggi badanmu kurang. Padahal sudah begitu limpah-ruah Uma memberikan makanan sehat untukmu, semuanya berprotein, kecuali beberapa kali kau makan biskuit dan cracker.  Rupanya, justru, menurut dr. Fanny,...

Buku-buku di Persimpangan







Bagaimana saya harus menerjemahkan ini?

Saat diingatkan bahwa ada pameran buku di Gedung Wanita, sejujurnya saya tak berharap banyak. Paling melipir ke penerbit Obor dan Pocer. Ah, dan Narasi.

Hari ini, tahun ini, berbeda.

Saya masuk hampir tanpa tujuan, kecuali satu, dan mungkin terdengar konyol: jika Allah bolehkan, saya mau bertemu buku-buku tentang Islam, perdamaian, interfaith, ya seputar itu. Sedang sastra, saya ingin Anak Semua Bangsa milik Pram. Khusus buku terakhir ini, saya hanya akan beli jika diskonnya lumayan. Sudah, kalimat-kalimat itu sudah saya setel di benak.

Sampailah di lokasi. Saya bilang, “Yuk, mulai dari depan.” Tapi sanggah seorang teman, “Mulai dari yang belakang dulu.”

Baiklah.

Dan tiba-tiba saya sudah mendarat di sana. Sederet buku bekas ditata dengan memperlihatkan judul pada punggung buku, berbaris panjang. Begitu melihat judul … di antara mereka, maka saya putuskan jongkok, rela pelan-pelan menekuri judul per judul buku. Dan tiba-tiba, saya merasa Allah sedang bersama saya, saat buku-buku yang saya inginkan mudah sekali ditemukan. Hampir semua lawas, tapi kualitas!

Ah, nama surga baru itu: toko LAWASAN. Kamu bisa menemuinya di pojok, benar-benar di ujung gedung. Bukunya memang bekas, beberapa sudah terstabilo. Tapi tak masalah.

Hari ini justru Obor dan Pocer jadi bilik terakhir yang saya datangi. Sebelum keluar, saya minta ditemani ke Narasi, lalu langsung main ambil begitu melihat buku Agama Manusia Agustinnus Tidore yang sudah saya timang-timang sejak melihatnya di Toko Buku Gramedia dulu itu. Harga yang tak sampai angka 50 ribu rupiah, saya artikan sudah murah, untuk sebuah buku idaman. Bersama sisa-sisa antusiasme, saya bawa buku itu ke kasir, membayar, lalu pergi.

Awalnya saya pikir, Allah memang sedang berpihak pada saya. Allah sedang menuntun saya pada sebuah takdir yang memang saya harapkan. Tapi…. Saat berdiri di depan buku Analisis Wacana Eriyanto yang kondang membahana itu, saya pikir, tidak juga.

Allah menyajikan pilihan-pilihan yang sesuai dengan mau saya, tapi keputusan untuk memilih yang mana, bukankah itu tetap dibuat oleh saya?

Bisa jadi buku-buku ini memang ditaruh di sana, memang harus ada di sana, memang takdirnya di sana, memang jatahnya di sana. Tapi saya datang, dengan persepsi, asumsi, niat, harapan, dan katakanlah taruhan, lalu kebetulan bertemu buku-buku yang telah saya camkan di benak.

Apakah itu berarti Allah memang menakdirkan saya beli buku itu?

Tidak juga.

Saya yang memaknainya bahwa Allah menakdirkan saya memilih buku-buku itu.

Sayalah sebagai individu, yang memutuskan untuk mengartikan peristiwa itu sebagai bentuk restu Allah.

Padahal, bisa jadi tidak.

Bisa jadi saya memutuskan tidak membeli buku-buku itu, meski saya sudah memikirkannya sejak sebelum masuk gedung.

Bisa jadi saya jadi tergoda ketika melihat buku-buku yang telah saya tandai sejak pameran sebelumnya dan saya masukkan ke daftar “next to buy”, lalu memilih membeli mereka sebagai pembalasan dendam.

Tapi tidak juga. Malah saat melihat tiga buku yang terakhir saya sebut, saya merasa tidak butuh lagi, saya merasa sudah terpenuhi dengan buku-buku dari LAWASAN. Tapi, apakah maknanya demikian?

Jangan-jangan bukan takdir, tapi memang saya yang secara sadar dan sengaja mengartikan bahwa ini takdir, padahal ini lebih dari takdir: ini piihan saya.

Alah, ngomongke buku wae koyok yok-yok-o.

Tapi tak ada perasaan yang lebih menyenangkan ketika kita bertemu sesuatu yang kita doakan sebagai “jodoh”. Bukan, jodoh itu bukan Cuma manusia, tapi juga bisa dalam bentuk buku, makanan, bahkan penerbit yang menerima naskah kita –mereka juga adalah jodoh. Intinya, idaman yang jadi kenyataan. Dan kali ini saya menemuinya dalam bentuk buku Growing Up Osama bin Laden. Ingat nggak sih saya baru kemarin membagikan postingan lama tentang buku itu? Hari ini saya menemukannya di sebuah stand buku, dan tanpa ragu langsung membeli. lima puluh ribu rupiah. gila.

((orang yang paham pasti tahu bahwa Inas bodoh karena baru beli buku Osama sekarang, bukannya memanfaatkan diskon karyawan zaman di penerbit dulu :p ))

Dan dengan resmi saat ini kunyatakan, Inas sudah fakir. Fakir yang bahagia. Hehehe.

Komentar

Postingan Populer