Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear Rawi (2)

Hai, sayang. This is me again.  Raw, hidup melelahkan, ya? Entah melelahkan karena menjenuhkan dengan rutinitas yang terus berulang, atau melelahkan karena memang, ya lelah, secara fisik dan mental? Huahaha.  Uma berharap, kamu tidak mengalami kelelahan, kamu tidak mengalami ketidakenakan. Raw, doa Uma hari-hari ini sepertinya hanya satu, agar Uma (dan Baba) bisa dipercaya Allah untuk terus merawat Rawi, sampai nanti Rawi siap hidup di atas kaki sendiri.  Hidup nggak mudah, Raw. Dan level ketidakmudahan itu terus berubah. Semisal, saat mulai sekolah nanti, kamu akan menemukan ketidakmudahan hidup seperti: susah bangun pagi, susah memahami pelajaran, mungkin susah mengerjakan PR, susah harus bertanggung jawab dengan aktivitas harian, susah menghafal surat Al-Quran, susah membereskan kamar yang berantakan, dan sebagainya.  Tapi, Raw, jalani saja. Lakukan saja. Bangunlah, pahamilah, belajarlah, kerjakanlah, hafalkanlah. Dengan begitu, ketidakmudahan akan terlewati....

Buku-buku di Persimpangan







Bagaimana saya harus menerjemahkan ini?

Saat diingatkan bahwa ada pameran buku di Gedung Wanita, sejujurnya saya tak berharap banyak. Paling melipir ke penerbit Obor dan Pocer. Ah, dan Narasi.

Hari ini, tahun ini, berbeda.

Saya masuk hampir tanpa tujuan, kecuali satu, dan mungkin terdengar konyol: jika Allah bolehkan, saya mau bertemu buku-buku tentang Islam, perdamaian, interfaith, ya seputar itu. Sedang sastra, saya ingin Anak Semua Bangsa milik Pram. Khusus buku terakhir ini, saya hanya akan beli jika diskonnya lumayan. Sudah, kalimat-kalimat itu sudah saya setel di benak.

Sampailah di lokasi. Saya bilang, “Yuk, mulai dari depan.” Tapi sanggah seorang teman, “Mulai dari yang belakang dulu.”

Baiklah.

Dan tiba-tiba saya sudah mendarat di sana. Sederet buku bekas ditata dengan memperlihatkan judul pada punggung buku, berbaris panjang. Begitu melihat judul … di antara mereka, maka saya putuskan jongkok, rela pelan-pelan menekuri judul per judul buku. Dan tiba-tiba, saya merasa Allah sedang bersama saya, saat buku-buku yang saya inginkan mudah sekali ditemukan. Hampir semua lawas, tapi kualitas!

Ah, nama surga baru itu: toko LAWASAN. Kamu bisa menemuinya di pojok, benar-benar di ujung gedung. Bukunya memang bekas, beberapa sudah terstabilo. Tapi tak masalah.

Hari ini justru Obor dan Pocer jadi bilik terakhir yang saya datangi. Sebelum keluar, saya minta ditemani ke Narasi, lalu langsung main ambil begitu melihat buku Agama Manusia Agustinnus Tidore yang sudah saya timang-timang sejak melihatnya di Toko Buku Gramedia dulu itu. Harga yang tak sampai angka 50 ribu rupiah, saya artikan sudah murah, untuk sebuah buku idaman. Bersama sisa-sisa antusiasme, saya bawa buku itu ke kasir, membayar, lalu pergi.

Awalnya saya pikir, Allah memang sedang berpihak pada saya. Allah sedang menuntun saya pada sebuah takdir yang memang saya harapkan. Tapi…. Saat berdiri di depan buku Analisis Wacana Eriyanto yang kondang membahana itu, saya pikir, tidak juga.

Allah menyajikan pilihan-pilihan yang sesuai dengan mau saya, tapi keputusan untuk memilih yang mana, bukankah itu tetap dibuat oleh saya?

Bisa jadi buku-buku ini memang ditaruh di sana, memang harus ada di sana, memang takdirnya di sana, memang jatahnya di sana. Tapi saya datang, dengan persepsi, asumsi, niat, harapan, dan katakanlah taruhan, lalu kebetulan bertemu buku-buku yang telah saya camkan di benak.

Apakah itu berarti Allah memang menakdirkan saya beli buku itu?

Tidak juga.

Saya yang memaknainya bahwa Allah menakdirkan saya memilih buku-buku itu.

Sayalah sebagai individu, yang memutuskan untuk mengartikan peristiwa itu sebagai bentuk restu Allah.

Padahal, bisa jadi tidak.

Bisa jadi saya memutuskan tidak membeli buku-buku itu, meski saya sudah memikirkannya sejak sebelum masuk gedung.

Bisa jadi saya jadi tergoda ketika melihat buku-buku yang telah saya tandai sejak pameran sebelumnya dan saya masukkan ke daftar “next to buy”, lalu memilih membeli mereka sebagai pembalasan dendam.

Tapi tidak juga. Malah saat melihat tiga buku yang terakhir saya sebut, saya merasa tidak butuh lagi, saya merasa sudah terpenuhi dengan buku-buku dari LAWASAN. Tapi, apakah maknanya demikian?

Jangan-jangan bukan takdir, tapi memang saya yang secara sadar dan sengaja mengartikan bahwa ini takdir, padahal ini lebih dari takdir: ini piihan saya.

Alah, ngomongke buku wae koyok yok-yok-o.

Tapi tak ada perasaan yang lebih menyenangkan ketika kita bertemu sesuatu yang kita doakan sebagai “jodoh”. Bukan, jodoh itu bukan Cuma manusia, tapi juga bisa dalam bentuk buku, makanan, bahkan penerbit yang menerima naskah kita –mereka juga adalah jodoh. Intinya, idaman yang jadi kenyataan. Dan kali ini saya menemuinya dalam bentuk buku Growing Up Osama bin Laden. Ingat nggak sih saya baru kemarin membagikan postingan lama tentang buku itu? Hari ini saya menemukannya di sebuah stand buku, dan tanpa ragu langsung membeli. lima puluh ribu rupiah. gila.

((orang yang paham pasti tahu bahwa Inas bodoh karena baru beli buku Osama sekarang, bukannya memanfaatkan diskon karyawan zaman di penerbit dulu :p ))

Dan dengan resmi saat ini kunyatakan, Inas sudah fakir. Fakir yang bahagia. Hehehe.

Komentar

Postingan Populer