Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

tentang belio yang kupanggil Mama


Perempuan yang melahirkan saya ini tidak lembut, jujur saja. Padahal, namanya diambil dari nama Allah; Yang Mahalembut, hahaha.

Beliau pekerja keras. Galak, pula. Tidak kalem sama sekali, selalu heboh. Galak dan hebohnya itu mungkin yang nurun ke saya.

Mama, begitu sama memanggilnya. Kadang Uma, Umi, Mom, sesuai mood, lah. Belio perempuan terunik sejagad raya. Kadang terheran-heran kalau melihat Mama, yang masih tuma'ninah menjadi diri sendiri di zaman semaju ini.

Mama tidak bekerja di kantor dan menenteng tas tangan. Ia bekerja di rumah, memakai baju pantas, dan menenteng catatan hutang, pulpen, kalkulator


Mama tidak terlalu suka menyemprotkan parfum (itulah kenapa sering saya ejek "kecut", apalagi kalau habis seharian di toko, hahaha), memoles bibir, melukis alis, merapikan bedak. Ia hanya berdandan saat kondangan. Hanya. Itupun cuma pakai lipstik dan bedak seadanya. Sedikit parfum.

Mama tidak bisa mengikuti trend fashion terkini. Kalaupun punya sepatu heels, kerudung hits belang-belang hingga blink-blink, baju atau gaun "mewah", itu pemberian adik-adiknya. Ya sesekali beli atau menjahitkan baju, tapi juaaaarang. 

Mama lebih akrab memakai daster lawas, pergi kondangan pun memakai gamis sederhana dengan kerudung sederhana pula. Baju mewah itu jarang tersentuh. Gemes.

Mama nggak bisa menggunakan ponsel. Mama saya... belajar mengirim SMS pun gagal terus. Sampai heran. Menjelang pergi haji, saya mengajari Mama cara menelepon lewat ponsel Nokia simpel jaman dulu, tetep aja geleng-geleng sambil senyum.

Mama tidak kuliah, SD saja susah lulusnya. Itu karena masalah klise: ekonomi. Mirip Ayah, yang berhenti setelah mondok di Pabelan dan ambil sekolah jurusan Mesin.

Saat itu, Mama memilih jualan makanan bersama nenek di depan sekolahan. Ia membawa bahan jualan dari rumah ke tempat jualan, dan tidak jarang mengarungi jalanan yang digenangi air atau jatuh saat berjalan dan makanan pun tercecer, tidak bisa dijual. 

Itu demi adik-adiknya. Dan, pillihan itu berbuah. Adik-adik Mama berpendidikan, setidaknya mengampu pendidikan kejuruan.

Yang lebih mudah diingat dari Mama adalah kerasnya. Tegasnya. Bawelnya. Sehingga saya pernah mikir, Mama ini beneran sayang saya nggak, sih? Karena sejak dulu Ayah lah yang lebih sering di sisi saya.

Lalu.. saat direnungkan lagi, Mama memang bukan tipe yang mudah diajak baper. Barangkali karena sejak dulu hidupnya keras, tak bisa berlemah-lemah.

Meski nampak begitu tegas, tapi Mamaada saat saya menangis karena handphone rusak, saat saya gagal masuk universitas negeri, saat saya kesal dengan Ayah, saat saya putus dari pacar, dan saat-saat saya tak mendapatkan apa yang saya mau. Mama tidak pernah pergi sebeum saya selesai menangis.

Kalau curhat sama Mama, siap-siap deh denger closing statement ini, "Kak, kamu deketin Allah. Biar nanti Allah deketin ke kamu apa yang kamu mau. Termasuk kalau kamu mau dia."

Kini, saya hampir 24 jam bersama Mama. Ada kalanya ingin curhat soal cowok, soal perasaan, pernikahan. Dan suatu kali, saya sampaikan curahan hati itu. Mama mengeluarkan respon yang barangkali sudah sering saya dengar, tapi entah kenapa karena Mama yang bicara jadi lebih meyakinkan.

"Kamu itu cuma cinta sama laki-laki yang menikahi kamu. Bukan yang chat-chat. Bukti cinta itu, saat dia datang ke Mama dan Ayah. Kalau ndak gitu ya jangan cinta, dan jangan kamu pikirin."

Kelar deh urusan.

Kalau curhat sama Mama, jadinya "mikir", bukan "baper"

Semoga Mama senantiasa sehat dan bahagia. <3


Komentar

Postingan Populer