Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Satu Malam: Turn Left, Go Ahead, Never Look Back!

“Ibu dan Bapak hanya ingin kamu menikah, Nak!”

“Kalaupun kamu tidak mau dengan laki-laki pilihan Bapak, pilihlah sendiri. Ibu Bapak pasti setuju.”

“Apa kata orang kalau kamu tidak menikah secepatnya? Usiamu sudah kepala tiga. Pekerjaanmu pun menjanjikan. Laki-laki yang melamarmu sudah banyak, tapi kamu tolak semua.”

“Ibu malu, Nok. Dengan tetangga, terlebih dengan laki-laki yang kamu tolak semua itu. Malu, Nok!”

“Kurang apa Mas Rheza? Dia anak santri, alim ibadahnya. Ustad Ikrar sendiri teman ayah sejak di pondok dulu. Dia mapan, bahkan tampan. Kamu mau yang kayak apa lagi, Nduk?”

“Menikah itu melengkapi separuh agama kita, Nok. Setelah itu separuhnya bertawakal kepada Allah.”

“Menikahlah, itu yang Ibu dan Bapakmu inginkan sekarang.”

“Sebelum kami mati, Nduk …”

Aku terhuyung.

Suara-suara mereka menyesakkan otak dan dadaku. Perlahan, aku berjalan ke pinggir, melewati para pedansa resah ini. Mereka masih saja menggeliat, mengangkat tangan dan bergoyang mengikuti irama, lalu menggosokkkan bagian tubuh mereka ke pasangan dansanya.

Menjijikkan?

Iya.

Tapi yang menyenangkan dari tempat ini adalah, aku selalu merasa bebas di sini. Aku suka musik ini. 

“Aurora!”

Itu bukan namaku, hanya saja Bas menganggapku menawan bagai Putri Aurora itu. Oh, anoher shit. Tapi biar saja. Toh, itu bukan nama yang buruk. Bas berjalan tergesa ke arahku. Tubuhnya limbung. Ia membawa-bawa gelas berisi setengah minuman berwarna emas.

“Hai, Sebastian,” sapaku pelan, begitu ia tiba di depanku. “Ke meja bar,” perintahku pelan, seraya mendorong tubuhnya ke meja bar.

“Aurora!”

Another call. Aku menoleh dan tersenyum semanis mungkin. Ya, itu Stuart, si bartender.

“Hai, Stuart. Kali ini aku tidak minum…”

“O yeah? Oooouuuwww yeaaaah? Aahahahaaa ayolah Auroraku Sayang! Atau mau berbagi gelas denganku?”

“Bas, aku benci bau mulut pemabuk!”

“Ouuuwyeaaah? Coba cium aku dulu sayaaang… apa kau yakin bau mulut ku seburuk itu haaaah? Hahahaaaa!”

“Sebastian! Berhenti berakting!”

Yeah, aku tahu itu cuma aktingnya. Sebastian Sitopang, cowok Batak-Jawa, pewaris tunggal jaringan Marisma Hotel, Marisma Resort, dan beberapa Club, yang digilai para wanita ini, tak mungkin mabuk.

Ia hanya berlagak mabuk. Maklum, ia lah pemilik Blue Club ini. Ia hanya terlihat mabuk agar orang-orang juga tidak ragu untuk meminum minuman-minuman di club nya ini.

Ya, suatu pola pikir yang tolol dan kekanakan.

Bas sendiri adalah laki-laki gereja yang sangat taat. Kalung salib itu tak pernah lepas darinya. Di manapun, kapanpun, ia tak pernah lupa untuk berdoa. Aku mengenalnya saat ada dialog antarpemuka agama di Marisma Hotel, cabang Pemuda Semarang.

Blue Club ini adalah bagian dari keisengannya. Bas suka dengan musik, DJ, dance. Maka ia buat club ini. Yang terpenting, ia tetap menerapkan sistem kontrol ketat agar club ini tidak disalahgunakan dari fungsi aslinya: HIBURAN.

“Bisakah kau normal sekarang? Aku butuh teman...”

“Oke oke oke..” Bas merapikan tubuhnya dan kembali duduk dengan benar. “Jadi kali ini? Apa yang membuat anak Pak Haji Sulaeman, pemilik pondok terbesar di Jawa ini resah dan gelisah?”

Bas menarik sebatang rokok dari saku celana, dan hendak menyulutnya. Kutarik pelan rokok itu.

“Kamu sudah terlalu banyak merokok. Aku benci perokok,” ujarku pelan.

“Padahal kau pun perokok?” balas Bas.

“Itu dulu, Bas!”

“Bahkan kau pun dulu minum? Bukankah itu haram?”

“Biar jadi urusanku dengan Tuhan.”

“Tuhan? Hahaha! Masih mengakui Tuhan?”

Aku meliriknya tajam.

“Sudah lah, Aurora. Jangan dipaksakan kalau kau memang sudah tidak bisa mempercayai Tuhan.”

“Aku percaya Tuhan! Enak saja bicaramu! Aku hanya .. hanya…”

“Eng?”

“Hanya tidak suka dengan skenario yang Dia buat untukku!” gertakku kesal.

“Sudahlah! Itu masa lalu!” bentakku. Bas tersenyum nakal dan menaruh minumannya di meja bar. Kubuang putung rokok itu ke lantai.

“Aku lelah, Bas.”

“Dengan?”

“Hidupku.”

“Hahahaha! Bagian yang mana?”

“Bagian di script, yang Tuhan tulis di scene: Percintaan.”

“Wow. Kau benar-benar penulis skenario hebat di Indonesia, Aurora!”

“Serius lah, Bas!”

“Eng … aku bisa menebak jalan cerita ini. Ibu Bapakmu, ya?”

“Ya..”

Kami terdiam sesaat. Bas sudah mengerti tabiatku. Bapak dan Ibu adalah dua manusia yang mutlak ku hormati. Aku ingat Pak Lik dulu mengajarkanku di Pondok, bahwa ridho Allah adalah ridho orang tua. Itulah mengapa mereka sangat keramat. Dan tidak kenal tolerir.

“Menikah?”

“Iya..”

Bas mendesah pelan. “Kalau kau belum yakin, lebih baik pending dulu. Cari laki-laki yang kamu mau, Aurora…”

Aku terdiam sejenak. “Aku maunya dia, Bas… aku maunya dia..”

“Siapa? Dia? Kenapa sih kamu nggak bisa ngelepas dia? Ha?” suara Bas naik satu oktaf lebih tinggi.

“Kalem, Bas.. kalem..”

“Kamu nya yang nggak kalem!” ujar Bas sewot. “Kamu pikir aku suka liat kamu kayak gini? Enggak! Kalau kamu nggak lepas dari masa lalu itu, kamu akan sedih terus. Dan kalau kamu sedih terus, kasihan kami, kan? Kasihani orang yang sayang sama kamu, Rora! Kasihani Bapak Ibu, kasihani aku!”

Aku tediam. Aku sangat suka saat Bas marah-marah, jadi kubiarkan saja dia bicara.

“Buka mata kamu, Rora! Apa iya, seorang perempuan sukses macam kamu mempertaruhkan masa depan pernikahan pada seorang laki-laki yang jelas tidak mencintai kamu, laki-laki yang udah buang kamu, udah nyakitin kamu? Ha? Pikir itu!”

“Buka mata! Banyak laki-laki yang bisa jadi pendampingmu! Buka mata!”

“Atau .. kamu aja yang nikah sama aku?”

Bas diam. Dia menatapku tajam. Mulutnya yang daritadi menceracau kini terbuka setengah, dan tak mampu mengeluarkan kata apa pun. Lampu-lampu pesta menerpa waja kami berulang kali, dan ia tetap menatapku.

Bas mendengus. Ia langsung menunduk dan membuang muka.

“Kenapa? Katamu, banyak laki-laki yang bisa jadi pendampingku? Kalau kamu?”

Bas masih diam sejenak, kali ini ia memainkan pinggir gelasnya sambil tersenyum.

“Kamu pikir, aku terlihat seperti laki-laki yang bisa mengkhianati Tuhan?”

Aku menatapnya.

“Bagiku, pernikahan itu sakral. Hidup sekali, menikah sekali, jatuh cinta sekali, mati sekali…”

“Oh Myyyyy! It sounds like Shahrukh Khan!”

“Favoritmu, kan?”

“Sejak kapan jadi favoritmu juga?”

“Sejak kita berteman.”

Aku terdiam, melipat kedua tangan di atas meja bar dan masih terdiam.

“Aku menyayangimu sebagai temanku, adikku, orang yang aku sayang. Itu saja. Tidak boleh lebih..”

“Iyaaaa, aku ngerti kok, anak gereja,” balasku.

Bas menyeringai. “Come on! Masih resah?”

“Masih, sampai aku menemukan laki-laki untuk menikah.”

“Kamu nggak mungkin maksa dia untuk menikah dengan kamu, Mala,” akhirnya, keluar juga namaku di mulut Bas. Kupikir dia sudah lupa saking seringnya memujaku sebagai Aurora.

“Cinta dalam pernikahan itu, melibatkan dua orang. Kalau tubuhmu dan hatimu mencintai laki-laki itu, tapi dia tidak mencintaimu, maka tidak bisa ada pernikahan. Akan sia-sia.”

“Aku tahu…” erangku.

“Apa kau juga sudah tahu bahwa kau harus lepas dari masa lalu? Ingat kata-kata profesor muslim yang kau sebut-sebut itu?”

“Aidh Al Qarni?”

“Iya! Mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad dan mengubur masa depan yang belum terjadi!”

Aku terdiam. Otakku rasanya sudah mati. Tubuhku lemas. Aku ingin lepas dari semua ini…

“Kau boleh benci skenario percintaan yang Tuhan bikin. Tapi kau tidak bisa mengelak bahwa Dia yang menggenggammu, Dia yang memilikimu, dan kepada-Nya kau akan kembali.”

Kalimat terakhir itu, terus mengiang di telingaku. Aku menatap Bas lagi. Kini makin dalam. Lalu aku melengos.

“Tapi aku mencintainya, Bas. Hatiku bilang aku mencintainya…”

“Dia masa lalu, Mala! Dia sudah bahagia, dan tanpa kamu di dalamnya. Apa yang kau risaukan?”

Aku masih menggeleng pelan, dan memejamkan mata saat Bas berteriak, “Oh Come on! Aku benci suasana seperti ini!”

Aku mengangkat tubuhku, berdiri, dan menatap Bas.

“Oke, apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Bas tersenyum. “Pulang lah, mandi, dan solat. Lalu, pikirkan lagi, siapa tahu ada laki-laki pondok pesantren yang kau lewatkan. Aku yakin, mencintai yang baik adalah mencintai karena Allah. Maka, cintai laki-laki karena agamanya, agar kau bahagia. Kalau kau tidak mau, sekali lagi buka matamu! Aku yakin ada laki-laki yang mendekatimu, agamanya baik, mapan, hanya saja kau menutup mata darinya.”

Aku mendengus dan tertawa keras. Sampai-sampai mataku berair.

“Hahahah! Oh, Bas… mengapa persahabatan kita sangat lucu?”

“Maksudmu?”

“Lihatlah dirimu! Kau bicara tentang agama, saat kau ada di tengah pesta! Hahaha! Itu funny, Bas!”

“Kau tidak percaya?”

“Oh no no no, aku percaya. Aku suka itu. Ya, aku akan pulang.”

“Aku minta satu hal lagi.”

“Apa?”

“Jangan lagi ke sini. Jangan pergi ke club ini jika hanya untuk menyenangkanku.”

Aku menyeringai. “Jadi kau tahu selama ini tujuanku ke sini?”

“Tentu saja! Kau sudah tidak minum, tidak lagi merokok, tidak dansa! Kau hanya bilang kau suka musik dan kebebasan. Dua hal itu ada di mana saja, bukan hanya di sini. Jadi berhenti ke sini kalau hanya untuk membuatku senang, baby…”

“Oke,” aku memandang sekitar. “Aku akan pergi. Aku diusir, kalau begitu?”

“Hahaha, baiklah. Lebih baik kita keluar bersama.”

“Ke mana?”

“Pulang! Aku akan mengawasi mobilmu sampai rumah!”

“Oh myyy… hahaha! Terima kasih, Bas!”

“Sama-sama, Nirmala Ayodya…”

Aku dan Bas berjalan pelan melewati pedansa-pedansa itu. Kami tidak bersentuhan, ia tak pernah menggandeng atau menyentuhku. Ia tahu hukumnya, bahwa dia bukan mahramku dan itu dosa.

Bas adalah satu cerita unik di hidupku. Sejak duduk bersebelahan dan banyak berdiskusi di acara dialog dua tahun lalu, kami sering ketemuan dan bertukar cerita. Dia tahu semua bagian hidupku. Dia tahu masa laluku, dan akan menjadi temanku hingga masa depan.

Kali ini,
Aku yakin aku harus memilih.
Masa laluku telah memilih jalannya, jadi biarkan aku memilih jalanku. Ini giliranku!

Komentar

Postingan Populer