Di depan kamarku di dershane (asrama Turki), aku menulis nama Komaruddin Hidayat sebagai sosok yang menginspirasi dan jadi idolaku, selain Siti Khadijah, Shahrukh Khan, Barry Likumahuwa, dan Gamaliel Tapiheru.
Anak-anak dershane, yang sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, tempat Pak Komar pernah menjabat sebagai Rektor, mendelik. "Komaruddin Hidayat?" seru mereka, antara bingung atau tak terima. "Kenapa kamu tulis nama dia?", "Kenapa Komaruddin Hidayat?", "Emang dia kenapa?", dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku tersenyum.
"Aku suka aja," jawabku pendek. Meski dalam hati, ekspresi mereka membuatku merenda banyak hal. Jangan-jangan mereka belum membaca tulisan-tulisan Pak Komar. Tahukah mereka kalau rektor mereka itu seorang cendekiawan muslim dan penulis dengan pemikiran super moderat? Tahukah mereka bahwa Pak Komar berhasil menjadi Wahib keduaku, yang menyuarakan apa yang tak bisa kubahasakan?
Atau jangan-jangan, aku yang belum mengenal Pak Komar, dan hanya terbuai oleh tulisannya, seperti aku terbuai pada Wahib?
Terserah, lah.
Simak ini saja, daripada memikirkan nasibku. Hehehe.
Kutipan-kutipan di bawah ini aku ambil dari buku Pak Komar berjudul "Agama Punya Seribu Nyawa". Cus.
"… terkadang banyak dari kita yang menjalani kehidupan
beragama berdasarkan rasa (dzauq),
ketimbang pertimbangan rasional." (3)
"Tanpa disadari, saking semangatnya meminta, kita terkesan
mengajari atau mendikte Tuhan. Menurut sebuah hadis, Tuhan akan marah pada
hamba-Nya yang sombong, tidak pernah berdoa. Namun, Tuhan juga marah jika
melihat hamba-Nya banyak berdoa, tanpa bekerja. Ora et labora. (10)"
"Manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung. Namun,
karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu, manusia bisa
menciptakan pesawat yang terbang bagai burung. Jadi, untuk melaksanakan mandate
sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia diberi kemampuan sebagai manajer
guna mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami
hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaan-Nya.
Begitu halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan
takdir yang serba pasti di atas papan sementara ini, namun manusia dianugerahi
nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan dalam bentuk pilihan
perbuatan dan karya. Kalau seseorang memilih loncat dari bangunan tinggi, maka
tubuhnya akan hancur, kepalanya akan pecah. Itulah hukum alam, takdir yang
ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa seseorang musti loncat bunuh
diri? Di situlah terletak ruang kebebasan yang dimiliki manusia untuk membuat
pilihan.
Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat
yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas di dunia hanya akan
dijumpai di akhirat nanti. Karena jaraknya yang demikian jauh dan belum
dialami, maka manusia mudah meragukan dan meremehkannya. Padahal yang demikian
termasuk takdir, hukum sebba-akibat yang pasti. Di situlah manusia memiliki
kebebasan, apakah akan beriman atau mengingkari. Di sini, Tuhan memberi ruang
kebebasan, namun seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya sendiri." (16-20)
“Kita memasuki abad ideologi yang berakar pada keimanan,
yang berseberangan dengan kebudayaan ilmiah yang dialogis dan rasional,” kata
Kauffmann. Di tengah dua arus yang menguat ini, mereka yang berpaham moderat
didorong untuk berpihak ke salah satu kubu. “Moderate
faith is being squeezed by both secularism and fundamentalism,” tulisnya. (194)
"Agama tidak bisa berkembang tanpa wadah budaya, dan budaya
akan kehilangan arah dan ruh tanpa bimbingan agama. Inklusivitas peradaban
Islam secara simbolik ditampilkan oleh bangunan masjid. Inti dari masjid adalah
aktivitas shalatnya, sedangkan arsitektur dan berbagai peralatan lain yang
mendukungnya sangat terbuka untuk inovasi dan menampung beragam unsur budaya
dari luar." (41)
"Pertanyaannya, mestikah beragama disertai sikap cemburu
dan benci terhadap mereka yang berbeda keyakinan? Kalau seseorang telah yakin
dan merasa benar serta nyaman dengan ajaran dan praktik keberagamannya,
bukankah kenyamanan itu yang mestinya disebarluaskan? Bukannya malah menyebar
kecemburuan dan kebencian, yang tidak akan membuat agama dan sikap keberagamaan
benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam." (50)
"Pernyataan bahwa semua agama sama adalah menyesatkan. Setiap
agama pasti memiliki doktrin, cara dan komitmen emosional dengan Tuhan yang dia
yakini. Perbedaan keyakinan itu mestinya membuat seseorang lebih mendalami
agamanya dan menunjukkan hidupnya menjadi baik dan lebih baik dari yang lain. Jadikan
perbedaan sebagai dorongan untuk menunjukkan yang terbaik dari agamanya dalam
kehidupan sehari-hari.
Lantas apa yang mempertemukan beragam agama dengan sekian
perbedaannya itu? Tak lain ialah komitmennya untuk menegakkan kebaikan,
kejujuran, keindahan, kedamaian, kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih dari itu,
apa pun agama dan identitas etnisnya, kita adalah sama-sama warga negara
Indonesia. Mari kita jadikan asset moral dan tradisi agama untuk menjaga
keutuhan bangsa dan memakmurkannya. Janganlah tradisi dan semangat beragama
malah merusak keutuhan dan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara." (53)
"Sikap kritis dalam belajar agama itu sangat diperlukan untuk
memperkokoh iman dan memperluas pengetahuan, namun sebaiknya tidak untuk bahan
perdebatan mencari menang-kalah. Setiap agama memiliki doktrin yang tak akan
sanggup dijangkau nalar, tetapi cukup disikap dengan iman. Nalar membangun argumen,
namun akhirnya yang menentukan adalah pilihan dan respons iman. Wilayah agama
akhirnya bersifat sangat pribadi, yang kemudian meluas ke wilayah komunal, sementara
itu ranah birokrasi dan ruang publik merupakan tugas dan kewenangan negara,
bukan institusi agama." (54)
"Pengalaman bergaul lintas iman dan agama justru mendorong
saya untuk lebih memahami agama saya dan sedikit banyak mengetahui tradisi
agama yang berbeda. Perbedaan ternyata tidak menghalangi untuk menjalin
persahabatan." (54)
"Maka, sangat dianjurkan ketika ibu tengah menyusui anaknya
atau meninabobokannya, momen itu sangat bagus untuk membisikkan doa dan
cerita-cerita sehingga anak-anak memiliki rekaman kuat di bawah sadar tentang
nilai-nilai luhur dan memiliki mimpi besar." (62)
"Perhatikanlah matahari dan bulan, malam dan siang, kaya dan
miskin, senyap dan riuh. Masing-masing seakan tak berhubungan dan berbeda,
bahkan seakan-akan yang satu lebih tinggi dari yang lain. Tetapi, apakah ada
siang tanpa malam? Apakah ada kaya tanpa miskin? Apakah ada riuh tanpa senyap? Apakah
ada garis lurus tanpa lengkung? Tidak. Masing-masing berutang pada yang lain
dan harus berterima kasih untuk itu." (104)
Komentar
Posting Komentar