Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

#BukaBuku Kutipan dari Buku "Agama Punya Seribu Nyawa" karya Komaruddin Hidayat

Di depan kamarku di dershane (asrama Turki), aku menulis nama Komaruddin Hidayat sebagai sosok yang menginspirasi dan jadi idolaku, selain Siti Khadijah, Shahrukh Khan, Barry Likumahuwa, dan Gamaliel Tapiheru. 

Anak-anak dershane, yang sebagian besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, tempat Pak Komar pernah menjabat sebagai Rektor, mendelik. "Komaruddin Hidayat?" seru mereka, antara bingung atau tak terima. "Kenapa kamu tulis nama dia?", "Kenapa Komaruddin Hidayat?", "Emang dia kenapa?", dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku tersenyum. 

"Aku suka aja," jawabku pendek. Meski dalam hati, ekspresi mereka membuatku merenda banyak hal. Jangan-jangan mereka belum membaca tulisan-tulisan Pak Komar. Tahukah mereka kalau rektor mereka itu seorang cendekiawan muslim dan penulis dengan pemikiran super moderat? Tahukah mereka bahwa Pak Komar berhasil menjadi Wahib keduaku, yang menyuarakan apa yang tak bisa kubahasakan?

Atau jangan-jangan, aku yang belum mengenal Pak Komar, dan hanya terbuai oleh tulisannya, seperti aku terbuai pada Wahib?

Terserah, lah. 

Simak ini saja, daripada memikirkan nasibku. Hehehe.

Kutipan-kutipan di bawah ini aku ambil dari buku Pak Komar berjudul "Agama Punya Seribu Nyawa". Cus.

"… terkadang banyak dari kita yang menjalani kehidupan beragama berdasarkan rasa (dzauq), ketimbang pertimbangan rasional." (3)

"Tanpa disadari, saking semangatnya meminta, kita terkesan mengajari atau mendikte Tuhan. Menurut sebuah hadis, Tuhan akan marah pada hamba-Nya yang sombong, tidak pernah berdoa. Namun, Tuhan juga marah jika melihat hamba-Nya banyak berdoa, tanpa bekerja. Ora et labora. (10)"


"Manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung. Namun, karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu, manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagai burung. Jadi, untuk melaksanakan mandate sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia diberi kemampuan sebagai manajer guna mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaan-Nya.  
Begitu halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan takdir yang serba pasti di atas papan sementara ini, namun manusia dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan dalam bentuk pilihan perbuatan dan karya. Kalau seseorang memilih loncat dari bangunan tinggi, maka tubuhnya akan hancur, kepalanya akan pecah. Itulah hukum alam, takdir yang ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa seseorang musti loncat bunuh diri? Di situlah terletak ruang kebebasan yang dimiliki manusia untuk membuat pilihan. 
Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas di dunia hanya akan dijumpai di akhirat nanti. Karena jaraknya yang demikian jauh dan belum dialami, maka manusia mudah meragukan dan meremehkannya. Padahal yang demikian termasuk takdir, hukum sebba-akibat yang pasti. Di situlah manusia memiliki kebebasan, apakah akan beriman atau mengingkari. Di sini, Tuhan memberi ruang kebebasan, namun seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya sendiri." (16-20)

“Kita memasuki abad ideologi yang berakar pada keimanan, yang berseberangan dengan kebudayaan ilmiah yang dialogis dan rasional,” kata Kauffmann. Di tengah dua arus yang menguat ini, mereka yang berpaham moderat didorong untuk berpihak ke salah satu kubu. “Moderate faith is being squeezed by both secularism and fundamentalism,” tulisnya. (194)

"Agama tidak bisa berkembang tanpa wadah budaya, dan budaya akan kehilangan arah dan ruh tanpa bimbingan agama. Inklusivitas peradaban Islam secara simbolik ditampilkan oleh bangunan masjid. Inti dari masjid adalah aktivitas shalatnya, sedangkan arsitektur dan berbagai peralatan lain yang mendukungnya sangat terbuka untuk inovasi dan menampung beragam unsur budaya dari luar." (41)

"Pertanyaannya, mestikah beragama disertai sikap cemburu dan benci terhadap mereka yang berbeda keyakinan? Kalau seseorang telah yakin dan merasa benar serta nyaman dengan ajaran dan praktik keberagamannya, bukankah kenyamanan itu yang mestinya disebarluaskan? Bukannya malah menyebar kecemburuan dan kebencian, yang tidak akan membuat agama dan sikap keberagamaan benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam." (50)

"Pernyataan bahwa semua agama sama adalah menyesatkan. Setiap agama pasti memiliki doktrin, cara dan komitmen emosional dengan Tuhan yang dia yakini. Perbedaan keyakinan itu mestinya membuat seseorang lebih mendalami agamanya dan menunjukkan hidupnya menjadi baik dan lebih baik dari yang lain. Jadikan perbedaan sebagai dorongan untuk menunjukkan yang terbaik dari agamanya dalam kehidupan sehari-hari. 
Lantas apa yang mempertemukan beragam agama dengan sekian perbedaannya itu? Tak lain ialah komitmennya untuk menegakkan kebaikan, kejujuran, keindahan, kedamaian, kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih dari itu, apa pun agama dan identitas etnisnya, kita adalah sama-sama warga negara Indonesia. Mari kita jadikan asset moral dan tradisi agama untuk menjaga keutuhan bangsa dan memakmurkannya. Janganlah tradisi dan semangat beragama malah merusak keutuhan dan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara." (53)


"Sikap kritis dalam belajar agama itu sangat diperlukan untuk memperkokoh iman dan memperluas pengetahuan, namun sebaiknya tidak untuk bahan perdebatan mencari menang-kalah. Setiap agama memiliki doktrin yang tak akan sanggup dijangkau nalar, tetapi cukup disikap dengan iman. Nalar membangun argumen, namun akhirnya yang menentukan adalah pilihan dan respons iman. Wilayah agama akhirnya bersifat sangat pribadi, yang kemudian meluas ke wilayah komunal, sementara itu ranah birokrasi dan ruang publik merupakan tugas dan kewenangan negara, bukan institusi agama." (54)

"Pengalaman bergaul lintas iman dan agama justru mendorong saya untuk lebih memahami agama saya dan sedikit banyak mengetahui tradisi agama yang berbeda. Perbedaan ternyata tidak menghalangi untuk menjalin persahabatan." (54)


"Maka, sangat dianjurkan ketika ibu tengah menyusui anaknya atau meninabobokannya, momen itu sangat bagus untuk membisikkan doa dan cerita-cerita sehingga anak-anak memiliki rekaman kuat di bawah sadar tentang nilai-nilai luhur dan memiliki mimpi besar." (62)

"Perhatikanlah matahari dan bulan, malam dan siang, kaya dan miskin, senyap dan riuh. Masing-masing seakan tak berhubungan dan berbeda, bahkan seakan-akan yang satu lebih tinggi dari yang lain. Tetapi, apakah ada siang tanpa malam? Apakah ada kaya tanpa miskin? Apakah ada riuh tanpa senyap? Apakah ada garis lurus tanpa lengkung? Tidak. Masing-masing berutang pada yang lain dan harus berterima kasih untuk itu." (104)

Komentar

Postingan Populer