Stefan menyandarkan diri ke pagar. Di sampingnya, kawan berdebat kesukaan Stefan, Rangga, ikut
bersandar. “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?” ujar Stefan, mengulang
pertanyaan Rangga.
“Ya. Dunia akan
lebih baik tanpa Islam… Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha,” lanjutnya. “Kamu
tahu, Rangga? Agama mengotak-kotakkan kita. Membuat kita berperang.”
Rangga tersenyum. “Kamu salah,
Stefan. Kita berbeda keyakinan. Apakah kita pernah membenci?”
“Mana aku
tahu?”
“Tentu
tidak. Aku selalu mendoakanmu."
"Ah!"
"Uang dan kekuasaan. Itulah yang menciptakan
perang. Agama tidak.”
*
Phillipus
Brown mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa saya harus menyumbang untuk anak-anak
ini?”
Ibrahim tersenyum,
sebagaimana dia selalu tersenyum. Sosok berkopiah putih dan berjas abu-abu itu
menjawab, “Anak-anak ini membutuhkan bantuan, sementara Anda adalah pengusaha
sukses. Sekiranya Anda dapat membantu hidup anak-anak ini. Ini akan baik juga untuk
citra perusahaan Anda.”
“Saya tidak
membutuhkannya. Saya tidak butuh menolong anak-anak ini. Anda lihat, perusahaan
saya baik-baik saja.”
Ibrahim tersenyum
lagi. “Menurut keyakinan yang saya anut, mereka yang mampu harus menolong
mereka yang lemah. Sehingga saya meminta Anda untuk dapat membantu mereka agar
hidup lebih layak.”
Rahang Phillip
mengeras. Dia tersenyum meremehkan. “Tapi itu keyakinan kamu. Bukan keyakinan
saya.”
Air muka
Ibrahim berubah. Sedih.
*
Hanum memandang
Julia Collins, atau perempuan bernama Islam; Azima Hussein. Perempuan mualaf
ini menyembunyikan nama Islamnya setelah tragedi 9/11. Ia bahkan merahasiakan
identitas dan tidak mau diwawancara karena media selalu “mengkhianati” ia dan
keluarganya.
“Kapan
terakhir kali Anda menggunakan hijab? Apa alasan Anda melepasnya?” tanya
Hanum seraya mendekatkan perekam suara ke depan Julia.
Bibir Julia
tersenyum, tapi matanya menangis. Perlahan, ia menarik rambutnya. Rambut wig. Hanum terbelalak.
Julia kini terisak. Di balik wig itu, rambutnya masih tertutup selembar kain. Ia masih menjaga hijabnya.
“Aku tidak
pernah benar-benar melepaskannya. Aku tidak bisa,” ia terbenam dalam air mata. “Aku
cinta Islam, tapi… aku kehilangan kebanggaannya.”
*
Hanum berada
di depan rumah Julia saat lelaki tua yang tinggal di sebelah rumah Julia itu keluar dari
rumahnya dan menghampiri Julia. Dia membawa sepiring kue.
Julia tersenyum
menyambut lelaki itu. “Bukankah itu kue pemberian dari kami? Kamu tidak
menyukai kuenya?”
“Kue ini
tidak akan mengembalikan keluargaku. Istriku, anakku, yang mati dibunuh oleh
teroris. Aku tidak mau memakannya,” ujar lelaki tua seraya menyodorkan kue pada
Julia.
Mendengar
perkataan lelaki itu, Hanum tidak terima. Ia mengambil kue di tangan Julia dan
memberikannya lagi kepada lelaki tua.
“Makanlah. Kue
ini memang tidak bisa mengembalikan keluarga Anda. Tapi ini adalah niat baik
Julia untuk Anda. Karena itulah yang diajarkan di Al Qur’an, bahwa kami harus baik
kepada sesama, menebar kasih sayang. Julia ingin menjalin hubungan tetangga
yang baik dengan Anda, supaya dia dan Anda dapat saling menjaga satu sama lain.”
Lelaki tua
itu terdiam mendengar kata-kata Hanum.
*
|
udah bisa masuk kategori jomblo berkualitas, belum? |
Setidaknya, itu
scene-scene favorit saya. Tentu ada
lagi lainnya, tapi itu yang cukup membekas di hati. Anyway dialog di atas nggak seratus persen sama persis, kurang
lebih lah. Kalau mau tau jelasnya ya silakan nonton. Hehe.
"Bulan terbelah" bukan hanya mewakili "terbelahnya" umat Islam dan Kristiani, tapi juga sempat terbelahnya hubungan Hanum dan Rangga yang dikisahkan sebagai sepasang suami istri. Terbelahnya juga keberadaan Azima dan suaminya, Ibrahim. Terbelahnya juga status hubungan Stefan dan kekasihnya.
Tentang film ini, sepertinya saya terlalu berekspektasi. Apalagi
membandingkannya dengan My Name is Khan yang juga mengangkat topik 9/11, Islam, dan terorisme. Itu tentu berlebihan. Tapi cukup menyenangkan bisa tahu gaya orang Indonesia saat
membuat film tentang 9/11.
Penokohan
karakter Rangga, Hanum, dan Stefan masih sekuat karakter mereka dalam film 99 Cahaya di Langit
Eropa. Masih suka sama dialog dan ceritanya. Setipe sama karya Hanum
sebelumnya; berusaha menampilkan dialog antara Islam dan Kristen dalam layar
lebar. Ingin menyampaikan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, dan kami tidak diajarkan untuk membunuh yang berbeda paham.
Tiap nonton
film bertema ini, kadang terpikir juga benar nggak sih di Amerika sana
kebodohan macam Islamophobia ini masih ada? Apalagi karena ada adegan Hanum datang ke
Ground Zero dan berdoa di sana. Dia malah ditunjuk-tunjuk sama orang bule, disuruh pergi. Padahal kan saya juga pengen mendoakan para korban di Ground Zero suatu hari nanti
*aamiin*
Sudah berasa
sih saya bakal nangis kalau nonton film macam ini, dan iya. Maklum saya
orangnya relijius *lha apa hubungannya* Terutama sih nangis waktu lihat Julia
melepas wignya. Itu adegan luar biasa keren. Mungkin juga ada faktor proximity atau kesamaan. Saya dan Julia sama-sama berhijab. Meski situasi kami berbeda, tapi saya bisa membayangkan bagaimana rasanya harus menutupi keislaman demi bisa hidup selamat, walau tidak tenang.
Sama seperti
My Name is Khan, film ini juga
dikemas dengan melibatkan cerita atau konflik yang menarik dan relevan dengan inti pesannya. Tapi, ada yang mengganjal di hati. Lebih ke teknisnya,
sih.
Salah satunya, cut to cut adegan terasa aneh. Nggak bisa
dinikmati. Ada satu adegan saat Hanum berencana pergi ke Ground Zero, tempat
diadakannya demo oleh Michael Jones untuk menentang pembangunan masjid di
Ground Zero.
“Tiba-tiba”
aja Hanum sudah ada di Ground Zero. Tiba-tiba aja dia juga langsung bertemu
Michael Jones. Tapi, Michael Jones kan tokoh utama di demonstrasi ini, kenapa
dia malah ada di baris belakang pendemo dan begitu mudah ditemui? Karena saya
membayangkan adegan saat Hanum harus mencari-cari dulu di mana si Michael. Demonya juga
saya bayangkan sebagai sebuah demo besar. Tapi kecil, massa-nya sedikit. Pengambilan
gambarnya tidak memberi kesan atas demo itu. Agak disayangkan, sih.
Apalagi,
setelah itu, cut to adegan Hanum. “TIBA-TIBA”
dia ada di lorong jalan.
Oh, rupanya
ada polisi yang membubarkan demo.
Lalu tiba-tiba Michael sebagai penggagas demo
terdorong ke tembok lorong. Dan Hanum jatuh terdorong demonstran.
Tiba-tiba
juga setelah itu, mengalun soundtrack romantis.
Berikutnya, adegan Rangga mencari Hanum ditampilkan.
Nggak tau
kalau kalian, tapi kalau saya sih.. agak aneh melihatnya. Akting pemeran
Ibrahim Hussein-nya juga kurang greget, gitu. Padahal dia cukup penting di
sini, karena dialah suami Julia Collins alias Azima. Dialah misteri dalam
cerita ini. Agak disayangkan, sih. Jadi kurang greget.
Tapi kejutannya
oke. Ternyata, paket yang diterima Ibrahim dari Timur Tengah bukanlah paket
bom, melainkan paket berisi foto-foto anak-anak di daerah Timur Tengah yang
serba kekurangan.
Ternyata “agenda
Tuhan” yang dimaksud Ibrahim bukanlah agenda Islam menyerang WTC, melainkan
agendanya untuk memberi bantuan kepada anak-anak Timur Tengah tersebut.
Ternyata Ibrahim
pergi ke WTC pada 9/11 bukan untuk meledakkan gedung itu, melainkan menemui
Philip untuk meminta sumbangan dari perusahaannya bagi anak-anak di Timur
Tengah.
Ternyata,
seorang milyader seperti Philippus Brown punya sejarah yang mengubah hidupnya
menjadi sosok dermawan seperti sekarang. Sejarah itu bertitik mula di 9/11,
saat dia yang awalnya menanggap remeh keyakinan Islam, justru diselamatkan dari
tragedi WTC oleh seorang Ibrahim Hussein.
Boleh, lah. Kejutannya.
Eh... ternyata
ada nama seorang muslim terukir di tugu peringatan 9/11 di Ground Zero;
Mohammed.
By the way, pertanyaan artikel Hanum, yaitu “Akankah dunia lebih baik tanpa
Islam?” mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam: Sebuah Narasi Sejarah Alternatif.
Jadilah
saya hari ini sampai kantor langsung pesan buku ini sama Mas Heru. Dua buah. Untuk saya,
dan untuk seorang dosen favorit. Berharap buku ini dibedah di kampus. Hahaha. Ya,
saya adalah agen muslim pemegang agenda Tuhan. Tenang, bukan agenda Islamisasi. Ya kalau
bisa nggak papa juga, HA HA HA. Enak kan, masuk surga kita :p
Ini link
buat yang pengen beli bukunya:
Overall, film ini bisa dibilang sebuah drama yang menarik untuk ditonton sebagai hiburan, dan sedikit gambaran tentang 9/11. Bintangnya... dua dari lima.
Oh iya. Terima kasih sudah menulis ini, Hanum.
Komentar
Posting Komentar