Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Tentang "Bulan Terbelah di Langit Amerika"




Stefan menyandarkan diri ke pagar. Di sampingnya, kawan berdebat kesukaan Stefan, Rangga, ikut bersandar. “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?” ujar Stefan, mengulang pertanyaan Rangga.

“Ya. Dunia akan lebih baik tanpa Islam… Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha,” lanjutnya. “Kamu tahu, Rangga? Agama mengotak-kotakkan kita. Membuat kita berperang.”

Rangga tersenyum. “Kamu salah, Stefan. Kita berbeda keyakinan. Apakah kita pernah membenci?”

“Mana aku tahu?”

“Tentu tidak. Aku selalu mendoakanmu."

"Ah!" 

"Uang dan kekuasaan. Itulah yang menciptakan perang. Agama tidak.”

*

Phillipus Brown mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa saya harus menyumbang untuk anak-anak ini?”

Ibrahim tersenyum, sebagaimana dia selalu tersenyum. Sosok berkopiah putih dan berjas abu-abu itu menjawab, “Anak-anak ini membutuhkan bantuan, sementara Anda adalah pengusaha sukses. Sekiranya Anda dapat membantu hidup anak-anak ini. Ini akan baik juga untuk citra perusahaan Anda.”

“Saya tidak membutuhkannya. Saya tidak butuh menolong anak-anak ini. Anda lihat, perusahaan saya baik-baik saja.”

Ibrahim tersenyum lagi. “Menurut keyakinan yang saya anut, mereka yang mampu harus menolong mereka yang lemah. Sehingga saya meminta Anda untuk dapat membantu mereka agar hidup lebih layak.”

Rahang Phillip mengeras. Dia tersenyum meremehkan. “Tapi itu keyakinan kamu. Bukan keyakinan saya.”

Air muka Ibrahim berubah. Sedih.

*

Hanum memandang Julia Collins, atau perempuan bernama Islam; Azima Hussein. Perempuan mualaf ini menyembunyikan nama Islamnya setelah tragedi 9/11. Ia bahkan merahasiakan identitas dan tidak mau diwawancara karena media selalu “mengkhianati” ia dan keluarganya.

“Kapan terakhir kali Anda menggunakan hijab? Apa alasan Anda melepasnya?” tanya Hanum seraya mendekatkan perekam suara ke depan Julia.

Bibir Julia tersenyum, tapi matanya menangis. Perlahan, ia menarik rambutnya. Rambut wig. Hanum terbelalak. Julia kini terisak. Di balik wig itu, rambutnya masih tertutup selembar kain. Ia masih menjaga hijabnya.

“Aku tidak pernah benar-benar melepaskannya. Aku tidak bisa,” ia terbenam dalam air mata. “Aku cinta Islam, tapi… aku kehilangan kebanggaannya.”

*

Hanum berada di depan rumah Julia saat lelaki tua yang tinggal di sebelah rumah Julia itu keluar dari rumahnya dan menghampiri Julia. Dia membawa sepiring kue.

Julia tersenyum menyambut lelaki itu. “Bukankah itu kue pemberian dari kami? Kamu tidak menyukai kuenya?”

“Kue ini tidak akan mengembalikan keluargaku. Istriku, anakku, yang mati dibunuh oleh teroris. Aku tidak mau memakannya,” ujar lelaki tua seraya menyodorkan kue pada Julia.

Mendengar perkataan lelaki itu, Hanum tidak terima. Ia mengambil kue di tangan Julia dan memberikannya lagi kepada lelaki tua.

“Makanlah. Kue ini memang tidak bisa mengembalikan keluarga Anda. Tapi ini adalah niat baik Julia untuk Anda. Karena itulah yang diajarkan di Al Qur’an, bahwa kami harus baik kepada sesama, menebar kasih sayang. Julia ingin menjalin hubungan tetangga yang baik dengan Anda, supaya dia dan Anda dapat saling menjaga satu sama lain.”

Lelaki tua itu terdiam mendengar kata-kata Hanum.

*
udah bisa masuk kategori jomblo berkualitas, belum?

Setidaknya, itu scene-scene favorit saya. Tentu ada lagi lainnya, tapi itu yang cukup membekas di hati. Anyway dialog di atas nggak seratus persen sama persis, kurang lebih lah. Kalau mau tau jelasnya ya silakan nonton. Hehe.

"Bulan terbelah" bukan hanya mewakili "terbelahnya" umat Islam dan Kristiani, tapi juga sempat terbelahnya hubungan Hanum dan Rangga yang dikisahkan sebagai sepasang suami istri. Terbelahnya juga keberadaan Azima dan suaminya, Ibrahim. Terbelahnya juga status hubungan Stefan dan kekasihnya.

Tentang film ini, sepertinya saya terlalu berekspektasi. Apalagi membandingkannya dengan My Name is Khan yang juga mengangkat topik 9/11, Islam, dan terorisme. Itu tentu berlebihan. Tapi cukup menyenangkan bisa tahu gaya orang Indonesia saat membuat film tentang 9/11.

Penokohan karakter Rangga, Hanum, dan Stefan masih sekuat karakter mereka dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa. Masih suka sama dialog dan ceritanya. Setipe sama karya Hanum sebelumnya; berusaha menampilkan dialog antara Islam dan Kristen dalam layar lebar. Ingin menyampaikan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, dan kami tidak diajarkan untuk membunuh yang berbeda paham.

Tiap nonton film bertema ini, kadang terpikir juga benar nggak sih di Amerika sana kebodohan macam Islamophobia ini masih ada? Apalagi karena ada adegan Hanum datang ke Ground Zero dan berdoa di sana. Dia malah ditunjuk-tunjuk sama orang bule, disuruh pergi. Padahal kan saya juga pengen mendoakan para korban di Ground Zero suatu hari nanti *aamiin*

Sudah berasa sih saya bakal nangis kalau nonton film macam ini, dan iya. Maklum saya orangnya relijius *lha apa hubungannya* Terutama sih nangis waktu lihat Julia melepas wignya. Itu adegan luar biasa keren. Mungkin juga ada faktor proximity atau kesamaan. Saya dan Julia sama-sama berhijab. Meski situasi kami berbeda, tapi saya bisa membayangkan bagaimana rasanya harus menutupi keislaman demi bisa hidup selamat, walau tidak tenang.

Sama seperti My Name is Khan, film ini juga dikemas dengan melibatkan cerita atau konflik yang menarik dan relevan dengan inti pesannya. Tapi, ada yang mengganjal di hati. Lebih ke teknisnya, sih.

Salah satunya, cut to cut adegan terasa aneh. Nggak bisa dinikmati. Ada satu adegan saat Hanum berencana pergi ke Ground Zero, tempat diadakannya demo oleh Michael Jones untuk menentang pembangunan masjid di Ground Zero.

“Tiba-tiba” aja Hanum sudah ada di Ground Zero. Tiba-tiba aja dia juga langsung bertemu Michael Jones. Tapi, Michael Jones kan tokoh utama di demonstrasi ini, kenapa dia malah ada di baris belakang pendemo dan begitu mudah ditemui? Karena saya membayangkan adegan saat Hanum harus mencari-cari dulu di mana si Michael. Demonya juga saya bayangkan sebagai sebuah demo besar. Tapi kecil, massa-nya sedikit. Pengambilan gambarnya tidak memberi kesan atas demo itu. Agak disayangkan, sih.

Apalagi, setelah itu, cut to adegan Hanum. “TIBA-TIBA” dia ada di lorong jalan.

Oh, rupanya ada polisi yang membubarkan demo. 

Lalu tiba-tiba Michael sebagai penggagas demo terdorong ke tembok lorong. Dan Hanum jatuh terdorong demonstran.

Tiba-tiba juga setelah itu, mengalun soundtrack romantis. Berikutnya, adegan Rangga mencari Hanum ditampilkan.

Nggak tau kalau kalian, tapi kalau saya sih.. agak aneh melihatnya. Akting pemeran Ibrahim Hussein-nya juga kurang greget, gitu. Padahal dia cukup penting di sini, karena dialah suami Julia Collins alias Azima. Dialah misteri dalam cerita ini. Agak disayangkan, sih. Jadi kurang greget.

Tapi kejutannya oke. Ternyata, paket yang diterima Ibrahim dari Timur Tengah bukanlah paket bom, melainkan paket berisi foto-foto anak-anak di daerah Timur Tengah yang serba kekurangan.

Ternyata “agenda Tuhan” yang dimaksud Ibrahim bukanlah agenda Islam menyerang WTC, melainkan agendanya untuk memberi bantuan kepada anak-anak Timur Tengah tersebut.

Ternyata Ibrahim pergi ke WTC pada 9/11 bukan untuk meledakkan gedung itu, melainkan menemui Philip untuk meminta sumbangan dari perusahaannya bagi anak-anak di Timur Tengah.

Ternyata, seorang milyader seperti Philippus Brown punya sejarah yang mengubah hidupnya menjadi sosok dermawan seperti sekarang. Sejarah itu bertitik mula di 9/11, saat dia yang awalnya menanggap remeh keyakinan Islam, justru diselamatkan dari tragedi WTC oleh seorang Ibrahim Hussein.

Boleh, lah. Kejutannya.

Eh... ternyata ada nama seorang muslim terukir di tugu peringatan 9/11 di Ground Zero; Mohammed. 

By the way, pertanyaan artikel Hanum, yaitu “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?” mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam: Sebuah Narasi Sejarah Alternatif

Jadilah saya hari ini sampai kantor langsung pesan buku ini sama Mas Heru. Dua buah. Untuk saya, dan untuk seorang dosen favorit. Berharap buku ini dibedah di kampus. Hahaha. Ya, saya adalah agen muslim pemegang agenda Tuhan. Tenang, bukan agenda Islamisasi. Ya kalau bisa nggak papa juga, HA HA HA. Enak kan, masuk surga kita :p

Ini link buat yang pengen beli bukunya:



Overall, film ini bisa dibilang sebuah drama yang menarik untuk ditonton sebagai hiburan, dan sedikit gambaran tentang 9/11. Bintangnya... dua dari lima. 

Oh iya. Terima kasih sudah menulis ini, Hanum.

Komentar

Postingan Populer