Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

#BukaBuku Ngobrolin "Does My Head Look Big in This?"

Sudah lama pengen ngobrolin buku ini di blog, tapi ketunda terus karena godaan lain. Eeeeh, setelah nonton "Bulan Terbelah di Langit Amerika" jadi kepengen langsung posting. Itu pun tertunda oleh aktivitas ini itu.

So, here we go!



The story...


This is one of my all time favorite book titled Does My Head Look Big in This? atau dengan judul berbahasa Indonesia: Memangnya Kenapa Kalau Aku Pakai Jilbab? yang dialihbahasakan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Penulisnya, Randa Abdel-Fattah adalah seorang Australia berdarah Pakistan dan Mesir yang aktif menulis buku sejenis tentang cewek dan jilbab.

Buku ini dibeli tahun awal kuliah, waktu Gramedia mengadakan diskon besar-besaran di kampus. Alhasil, saya dapat buku ini pun dengan harga super miring. Entah feeling apa yang menguatkan saya untuk beli buku itu, karena dulu itu, saking bokeknya, nggak pernah beli buku kalau nggak hasil rekomendasi orang. Tapi, waktu baca isinya.... I know I'm doing it right, hahaha.

Dan saat aku berdiri di sana pagi inilah, dalam piamaku dan sebuah jilbab, di sebelah Mum dan Dad, berlutut di hadapan tuhan, aku merasakan perasaan tenang yang aneh. Aku merasa seakan tak ada yang bisa melukaiku, dan tak ada hal yang lebih penting. Saat itulah aku tahu aku siap. 

Cerita garis besarnya adalah tentang perjuangan dan lika-liku gadis SMA bernama Amal Mohamed Nasrullah Abdel-Hakim memakai jilbab secara full time. Eits, bukan perkara mudah lho karena Amal tinggal di negara bukan mayoritas muslim, bahkan saat itu sentimen terhadap Islam sudah muncul gara-gara tragedi 9/11. Jilbab dan Islam sudah masuk kotak emosi khusus bagi setiap orang yang melihatnya.

Apalagi, Amal bersekolah di sekolah bergengsi dengan budaya yang turun-temurun dijaga ketat. Belum pernah ada siswa muslim berjilbab di sana, sehingga apa yang Amal lakukan sungguh dobrakan besar.

Terlebih, selama sekian tahun tumbuh sebagai remaja, Amal melewatinya dengan rambut terhempas. Ia memang mengenyam SMP di sekolah Islam Hidaya, namun begitu masuk SMA ia melepas jilbabnya.

Sudah banyak momen ia lalui bersama "rambut"-nya itu, artinya membungkus rambut bakal membuat ia terlihat bagai alien di mata orang-orang yang biasa melihatnya tak berjilbab.

Tapi pertama, yang harus ia hadapi adalah kepala sekolahnya. Ini percakapan Amal dengan kepala sekolah tersebut.

"Jadi orangtuamu sudah menyuruhmu mengenakan jilbab itu secara permanen sekarang? Tidak bisakah menunggu sampai besok? Setelah mereka bicara denganku?"

"Orangtua saya? Siapa yang bilang soal orangtua saya?"

"Jilbab itu, Sayang. Jadi kau disuruh memakainya sejak hari ini?"

"Tak ada seorang pun yang menyuruh saya memakainya, Ms. Walsh. Itu keputusan saya."

"Kau seharusnya berkonsultasi denganku dulu."

"Er.. itu.. hal pribadi.."

"Yah, jelas tidak. Hal itu cukup umum. Pribadi adalah sesuatu yang disimpan di bawah kemejamu. Pribadi adalah kalung rosario di sakumu. Amal, kerudungmu itu tidak termasuk hal-hal pribadi."


Saat pertama kali Amal masuk ke kelas dengan kerudung, reaksi teman-temannya pun beraneka ragam.

"Apa orangtuamu memaksamu?"

"Nggak gerah, ya?"

"Bolehkah aku menyentuhnya?"

"Apa kau bisa berenang?"

"Apa kau memakainya saat mandi?"

"Apakah itu seperti biarawati? Apakah kau menikah dengan Yesus sekarang?"


Tak hanya lingkungan dan sekolah, keluarga pun jadi faktor yang tidak mendukung.
Kecuali tentu, ayah dan ibunya.

Orangtua Amal sangat bangga dengan tanah kelahiran mereka: Palestina. Namun, saat Amal bilang mau berjilbab, mereka juga jadi kepikiran. Bukan karena berniat melarang, tapi takut Amal nggak siap menghadapi macam-macam hal di depan sana. Mereka hanya nggak ingin Amal tersakiti karena memakai jilbab. Tapi karena paham bahwa niat Amal adalah demi perintah agama, maka mereka mendukungnya.

Beda dengan paman Amal, Joe misalnya, yang bahkan tidak menyukai budaya Islam. Paman Joe selalu ingin terlihat kebarat-baratan, moderen, dan bukan seorang "Arab" di depan kolega dan tetangganya. Itu membuat Amal muak, dan istri Paman Joe, Bibi Mandy pun, menyayangkan Amal menutupi rambutnya yang indah dengan sehelai jilbab.

Semua belum apa-apanya dibanding.. ADAM! Cowok gebetan Amal itu cukup kaget saat melihat Amal berjilbab, tapi Amal bahagia karena tak ada yang berubah dari "hubungan"-nya dengan Adam, bahkan makin... lengket! Adam malah jadi makin sering berada di dekat Amal. Walau kadang Adam memberinya waktu yang sulit, apalagi mengingat Amal nggak bakal pacaran.

"Jangan salah sangka, bukannya aku dingin atau apa! Kadang aku benar-benar berharap Adam jadi pacarku. Tapi jauh dalam hati aku tahu aku nggak bakal melewati batas dengannya, nggak peduli betapa menggodanya. Oke, oke, kalian pikir aku masuk kualifikasi orang culun aneh, ya?"

"Banget."

"Tapi kau tahu itu dilarang di Islam. Kau tahu semua peraturan tentang tidak ada seks dan keintiman fisik sebelum pernikahan."

Apapun yang terjadi, Amal punya sahabat-sahabat yang setia menemaninya, Eileen dan Simone. Jilbab Amal tidak membuat hubungan pertemanan mereka "berbeda". Mereka tetaplah anak-anak muda yang gemar nongkrong, ngobrol ngalor-ngidul soal apa pun, juga termasuk perkara agama dan budaya mereka.

Bahkan Eileen dan Simone, yang mana berbeda keyakinan dengan Amal, juga bisa berteman baik dengan Leila, teman Amal dari SMA Hidayah, si pintar yang sangat alim dan cerdas. Juga ada Yasmin, teman Amal yang super suka dandan.

Amal mencoba terus memasang "muka tebal" atas judgement negatif terhadap jilbabnya. Ia tak peduli, karena ia yakin berjilbab bukan karena perintah orangtua, melainkan karena ia yakin itulah yang Allah suruh dalam Qur'an.

Aku percaya pada Allah/perintah Tuhan yang tertulis dalam al-Qur'an. Tuhan berfirman, laki-laki dan perempuan harus berperilaku dan berpakaian sederhana. Menurutku, aku lebih suka mengikuti dikte mode Tuhan daripada dari orang tua jelek di Milan yang kulitnya kecokelatan hasil berjemur di ruang matahari, yang punya teori cukup mementingkan diri sendiri: "kurang berarti lebih" kalau menyangkut pakaian wanita.

Amal menghadapi segalanya. Opini orang-orang mencuat berantakan, bukan cuma soal jilbab Amal, tapi juga soal kekolotan, terorisme, ibadah, keterbatasan, dan semuanya, membuat ibu Amal lalu merasa anaknya terlalu dini menampung rasa kesal dan sedih terhadap judgement itu. Sampai-sampai, Dad dan Mum bertengkar.

"Mungkin ini salah. Jilbab ini."
"Jangan bodoh! Dengan atau tanpa itu dia tetap orang luar bagi mereka. Aku muak! Aku muak dengan semua masalah ini! Dia baru enam belas tahun dan dia harus mengalami ini. Apa yang mereka inginkan dari kita?"
"Jangan berteriak. Dia bisa mendengarmu."
"Mendengarku? Dia tidak memerlukan aku untuk memberitahunya. Dia mengalaminya setiap hari!

Tapi Amal tak akan melepas jilbabnya. Ia terus tergerak untuk bertahan. Sehingga, Amal menolak saat diajak bermesraan dengan Adam di perayaan ulang tahunnya.

JENG! Sejak itulah ada jurang besar dalam hubungannya dengan Adam. Tidak ada lagi telepon-telepon atau chatting berisi obrolan panjang sambil mengomentari tayangan televisi, atau godaan-godaan Adam terhadapnya. Adam juga tidak lagi menceritakan tentang ibunya, atau masalah personal lain. Amal berhasil melewati masa tidak enak itu dan mengalihkan energi untuk fokus pada masa depannya.

Novel ini merangkum masalah-masalah perempuan muslim maupun muslim secara umum dalam menghadapi isu-isu ke-muslim-an. Dan, semua isu itu menyatu dengan alur dan konflik cerita.


The review

SERU!

Tipe buku yang dibaca berulang kali juga nggak bakal bosen. Mungkin juga karena ceritanya related dengan apa yang aku rasakan sebagai hijaber. Saat mau pacar-pacaran, jadi inget jilbab. Saat mau maen-maen yang aneh-aneh, jadi inget jilbab.

Back to the book, penuturan Randa dalam novel ini enak dibaca. Jiwa remaja-nya terasa banget, dan super natural! Ada banyak bagian yang gue ngerasa kayak, Ah iya ya, bener, itu yang bakal dilakuin kalau seorang perempuan berhijab merasakan hal itu.

Jiwa remaja di novel ini, misalnya, bakal kamu saksikan saat melihat Amal mendapatkan "hidayah" untuk berjilbab bukan dari ceramah ustad atau khotbah orangtua.. melainkan.. saat menonton serial Friends di televisi! Saat itu, Amal sedang menyaksikan adegan Jennifer Aniston memakai gaun pengiring pengantin yang mengerikan di pernikahan mantan pacarnya. Semua orang mengejeknya, namun alih-alih sembunyi, ia malah melompat ke panggung dan menyanyikan Copacabana.

Kuberitahu, gelombang kekuatan dan keyakinan absolut ini mengalir memenuhiku. Saat berikutnya, keberanian mengalir dalam diriku, dan itu benar-benar terasa luar biasa tepat.

Aku siap memakai jilbab.

Rachel dari Friends menginspirasiku. Itu bakalan membuat para syeikh mengadakan konferensi darurat.


Lalu, saat Amal memutuskan berjilbab, dia membikin daftar berjudul "Daftar Memakai dan Tidak Memakai", seolah ingin memperjelas apakah keputusannya berjilbab akan disetujui banyak orang. It's sick! Hahaha. Dia bahkan juga menulis apa saja ketakutan utamanya saat berjilbab. Amal jelas perempuan bergolongan darah A, super teliti, cermat, dan selalu menulis dengan jelas poin-poin alasan atas suatu hal.

Selain penuturan cerita yang natural, Randa juga menampilkan konflik-konflik tokoh pendukung yang sangat epik dan menyatu dengan pesan utama di buku ini. Di antaranya adalah konflik Leila dengan ibunya, serta kisah Amal mengenal lebih dekat Mrs. Vaselli, tetangganya yang super pemarah itu.

Randa juga tak lupa menyelipkan bumbu romantis di tengah "perjuangan" Amal. Dia menghadirkan sosok Adam, si cowok ganteng dan pintar dan tentu Amal naksir mati-matian padanya. Tentu, jilbab Amal nggak lepas dari pengamatan Adam. Termasuk juga ibadah sholat Amal, dan Amal beautifully answer it:

"Kau mau ke mana?"
"Berdoa."
"Sulit, nggak? Untuk terus melakukannya, maksudku."
"Kadang-kadang iya. Aku juga suka malas. Tapi itu agak.. seperti waktu istirahat bagiku. Coba bayangkan kau sedang bermain dalam salah satu pertandingan basketmu."
"Sudah."
"Kau berlari bolak-balik di lapangan, melakukan lay up, membuatmu kelelahan. Di pikiranmu nggak ada apa pun kecuali permainan itu. Tapi waktu istirahat, kau mendapat tiga empat menit ketenangan ini. Kau bisa minum minumanmu, memikirkan lagi strategimu, siapa yang menghalangi jalanmu, siapa yang bekerja sama denganmu. Seberapa banyak kau berutang pada pelatihmu. Tips apa yang diberikannya padamu? Betul?"
"Yap."
"Seperti itulah berdoa bagiku."

Tak hanya itu, Adam dan Amal pun saling melabuhkan cerita tentang aktivitas sehari-hari, kesukaan, masalah-masalah, juga hal-hal personal seperti agama. Termasuk saat Bom Bali meledak.

"Itu hanya... terlalu berat. Tahukah kau bagaimana rasanya menjadi aku, seorang muslim, hari-hari ini? Maksudku, nyalakan saja televisi, dan bacalah koran. Pasti ada artikel feature yang menganalisis, menjabarkan, dan menciptakan teori tentang Islam dan orang-orang muslim. Kesempatan lain untuk mengerti fenomena yang disebut 'Muslim' ini. Rasanya seakan kau tenggelam dalam semua itu."

I kinda love all the things about Amal, dan Amal itu gue banget. Here's why:

1. Amal bersekolah di SD Katolik. Ia pernah ikut melakukan pengakuan dosa.

Aku tidak seharusnya berada dalam antrean, tapi aku nggak kepingin duduk kayak anak penyendiri di bangku belakang gereja sampai akhir misa. Aku kepingin mencoba makan roti suci. Mrs. Piogarni sedang sibuk memarahi Chris Barkley... jadi ia tidak menyadari ada anak muslim mengantre untuk mengaku dosa.

Pembatasnya membuka dan aku mendengar suara lembut dan baik hati. "Apa pengakuanmu, anakku?"

Pikiranku berkecamuk. Pastor itu akan mengatakan aku brengsek, orangtuaku akan menyebutku pengkhianat, dan Mrs. Piogarni akan memberiku detensi, Aku tidak tahu harus bilang apa. Maksudku, apa yang diakui seorang muslim kepada pastor? Aku hanya bisa memikirkan satu hal. Bahwa setiap kali Chris Barkley menyebutku orang Timur Tengah, atau mengejekku tentang kepala berjilbab Mum, aku berdoa dalam hati meminta Tuhan menjatuhkan pohon ke atas kepala bodohnya.


"Apa pengakuanmu, anakku?"

"Saya muslim."

"Lima kali Doa Salam Maria dan lima Doa Bapak Kami."

Itu adalah partisipasi pertama dan terakhirku dalam misa gereja.


Saya nggak pernah bersekolah di sekolah Katolik, sih. Tapi sudah bolak-balik "main" ke gereja dan tiga sahabat baik saya adalah Katolik semua, dan mereka super menyenangkan. Somehow I feel connected. I am sorry :p


2. Meski sudah punya keyakinan, nggak semuanya bakal seratus persen berjalan lancar juga. Beberapa kali keyakinan Amal goyah. Termasuk waktu awal berjilbab, ia bahkan ragu mau menerima ajakan Eileen dan Simone untuk nongkrong di kafe atau nggak.

Ada apa sih denganku? Bukankah aku memutuskan untuk memakai jilbab karena aku bangga dengan siapa aku? Tapi tiba-tiba aku terlalu penakut untuk pergi ke kafe? Akulah yang menjulurkan kepala dari jendela bus sekolah dan berteriak pada sekelompok cowok yang melemparkan kaleng Coke pada bus sekolah "Timur Tengah" kami. 

Jadi kalau itu semua memang aku, maka siapa cewek yang mengarang-ngarang alasan mengindari pergi ke kafe ini?


3. Dia super supel! Bahkan berhasil membuat si tempramen Mrs. Vaselli mau membuka cerita masa lalunya yang sangat menyakitkan, yakni saat dia berpisah dengan anaknya karena sang anak memilih pindah agama, mengikuti agama istrinya. Kala itu, Amal mengusulkan agar Mrs. Vaselli berbaikan dengan anaknya, supaya ada yang menemani perempuan tua itu di rumah. Kata Mrs. Vaselli,

"Lihat abu ini, Amal? Rokok itu terbakar, abunya jatuh, awalnya mereka satu bagian solid, kemudian mereka hancur, berubah menjadi bagian-bagian kecil dan menghilang. Untuk membuatnya utuh lagi kau perlu pergi dan menemukan setiap bagian dan menyatukannya lagi, betul?" 

"Terlalu banyak bagian kecil, Amal. Mereka sudah pergi, mereka menghilang, mereka pudar. Begitulah, Amal. Aku tidak tahu bagaimana menyatukan semua itu lagi."



4. Amal benar-benar menjaga batasan walau Adam begitu menggoda untuk didekati. Sayangnya, Adam nggak melakukan itu. Makanya.... saat akan dicium... ini dialog yang terjadi, kurang lebih:

"Aku.. aku..."

"Ada apa?"

"Aku benar-benar minta maaf, Adam.."

"Ada apa? Kukira kau menyukaiku -kukira.."

"Adam, aku.. aku nggak melakukan hal seperti itu..."

"Hal apa?"

"Berciuman -maksudku berkencan- maksudku, tahu kan, hubungan fisik-"

"Kenapa nggak?"
"Karena... ya, seks sebelum pernikahan itu nggak boleh."

"Jadi, kalau kau ketemu cowok dan kau menyukainya dan dia menyukaimu... apa yang terjadi? Kau hanya mengabaikan perasaanmu?"

"Nggak. Tapi aku nggak.. dengar, aku nggak percaya filosofi 'mengetes arenanya' dan 'mencoba sebelum kau membeli', oke? Aku nggak menginginkan keintiman fisik dengan beberapa orang dalam hidupku. Aku menginginkannya dengan satu orang."

"Yah, kau memang menekan dirimu sendiri."

"Aku nggak tertekan. Aku nggak merasa tertinggal. Aku masih bisa peduli dan berbagi dengan seorang cowok tanpa harus berhubungan fisik dengannya."

"Bagaimana kau tahu cara menemukan obsesi cewek dengan 'cowok yang tepat' kalau kau nggak pernah bersama seorang cowok? Bahkan nggak pernah mencium cowok?"

"Nggak ada formula untuk cinta! Dan ketika akhirnya bertemu seseorang, aku memang masih akan menghadapi risiko terbesar dalam hidupku, tapi sepuluh pengalaman lain nggak akan memberitahuku apakah ini cowok yang tepat."

"Jadi yang ingin kaukatakan adalah, kami semua pelacur dan murahan, dan kau lebih tinggi dari itu?"

"Nggak! Aku nggak bilang gitu! Sepupuku sendiri sudah bersama cowoknya selama dua tahun dan aku menyayangi mereka. Menurutmu aku ini apa? Cewek brengsek yang berkeliling menganggap semua orang rendah hanya karena aku percaya sesuatu yang berbeda?"

"Kukira kita punya sesuatu yang lebih dari pertemanan. Tapi kurasa kita berbeda. Terlalu berbeda."

"Kau ternyata memang tak mengerti aku."

"Kau nggak mengerti aku dan aku nggak mengerti kau. Kita impas."
Uwow.


5. Amal paham, jilbab itu bukan akhir perjalanan. Justru itulah awal mula roller-coaster hidupnya dinyalakan. Jilbab bukan hanya sepotong kain menutupi rambut, tapi juga sebuah keyakinan, keberanian, ketaatan, dan hidupmu selalu terkait padanya. Ini sangat bisa kupahami dan kurasakan!!

Sepanjang waktu itu aku sudah berpikir bahwa aku sudah menjadi religius karena telah membuat keputusan sulit untuk memakai jilbab. Aku berasumsi setelah aku memakainya purna-waktu, aku sudah mendapatkan semua poin tambahanku. 

Tapi apa gunanya mematuhi agama di luar, kalau kau tidak mengubah apa yang ada di dalam, yaitu hal yang sesungguhnya benar-benar berarti?


Aku sudah menipu diriku sendiri. Memakai jilbab bukanlah akhir perjalanan. Itu hanya awalnya.


6. Walau "masih" remaja, Amal sudah menganggap Allah Maha Luar Biasa.

Salah satu ayat favoritku sepanjang masa adalah saat Tuhan berfirman, "Kita sudah menciptakan manusia dan tahu apa yang jiwanya bisikkan dalam dirinya. Kita lebih dekat padanya daripada urat lehernya."

Wah, ayat itu benar-benar bikin aku merinding. Aku memikirkan tentang urat leherku, bagaimana urat itu mengambil darah dari kepalaku, mengalirkannya ke leherku, untuk bergabung dengan nadiku yang lain, dan aku tiba-tiba mengerti seberapa yakinnya aku bahwa Tuhan sedang mengamatiku. 


I totally love this book! Ya tokoh-tokohnya, ya jalan ceritanya, moral value-nya, isu-isunya, semuanya! Related dengan Islam dan dunia remaja. Mungkin inilah kenapa susah bagi saya untuk menyampaikan sisi buruk novel ini. Randa sudah melakukan eksekusi-eksekusi terbaiknya.

Gih, baca. Super recommended! Sebagai penutup, ini salah satu quotes favorit saya di novel tersebut:

"Tak ada seorang pun yang bisa berani sepanjang waktu. Bayangkan betapa menyebalkan dan sombongnya sikap mereka nantinya."

Komentar

Postingan Populer