Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Feminisme, dan Islam


Jadi, kata Tita tadi pagi, "Lu gapapa Nas gak suka feminisme, tapi ada kok bagian dari Muhammadiyah yg concern terhadap Perempuan yaitu Aisiyiyah hahahaha."

Tentu saya tak akan komentari soal 'Aisyiyah-nya, karena saya pun masih anak bawang di 'Aisyiyah, cuma diminta bantuin ngajar ngaji ibu-ibu tiap malam, jadi saya beneran masih anak kemaren sore (<-- sebuah klarifikasi, hahaha). Yang beneran aktif di sana malah Ayah. Saya jadi asisten saja.

Soal saya tidak suka dengan feminisme? Mungkin bukan tidak suka, tapi bahkan tidak kenal. Jadi bagaimana mau bilang suka dan tidak suka kalau tidak kenal? Ibarat aku sama kamu, Mas. Kalau kamu nggak ngajak kenalan, gimana aku mau suka? #SELALUGAGALFOKUS

Suatu malam, Tita menelepon saya. Di tengah obrolan, Tita membagi pendapat dan keresahannya mengenai feminisme, yang saya hanya angguk-anggukkan, juga saya catat untuk dipelajari nanti.

Belum lama ini, saya membaca beberapa kitab khusus mengenai perempuan. Ini kiranya bahasan-bahasan yang ingin saya share di sini. Mungkin kurang lengkap, dan ke depannya saya ingin berbagi lebih banyak lagi mengenal Islam dan perempuan.

Yap, saya akan ambil framing agama untuk memandang perkara keperempuanan, sehingga barangkali akan ada hal-hal yang tidak cocok dengan Anda, mohon maaf. 

Berdasarkan pergulatan saya sebagai perempuan dan muslimah, selama ini, saya tidak merasa Islam membatasi saya. 

Soal jilbab, misalnya. Jilbab ini, bisa dibilang pembatasan pada perempuan, lho. Karena; dalam berpakaian saja kami diatur. 

Saat beranjak SMP, saya pernah memutuskan lepas jilbab. Punya rambut buat apa? Jilbab itu sumpek, pikir saya dulu. Ayah saya, seorang demokratis sejati, tidak melarang dan menyuruh. Dia hanya menyodorkan kepada saya, walau ya, dengan wajah penuh harap, hahaha, sebuah kertas berisi ayat Al-Qur'an yang memerintahkan perempuan menurunkan jilbab ke dadanya. Menundukkan pandangannya. Menjaga fitrah, dan semua itu demi kebaikan dirinya sendiri. Ayat ini diserta kisah saat perintah berjilbab turun pertama kali kepada kaum Nabi Muhammad saw. Kala itu, perempuan serentak memakai kain di kepalanya, menyabet apa pun, entah telapak meja atau gorden. Demi menutupi aurat.

Kisah itulah, kala dulu, menggetarkan hati saya. Saya mau masuk ke golongan perempuan yang selamat, golongan perempuan zaman Nabi yang taat, itu saja yang saya pikirkan. Maka saya pakai jilbab.

Tanpa saya sadari, seiring berjalannya waktu, justru jilbab adalah pintu saya mengenal keajaiban-keajaiban Allah yang mutlak dan hakiki. Saya nggak berhenti bersyukur bahwa Allah beri saya ide untuk pakai jilbab. Itu nikmat tiada dua. Sungguh Allah sayang kepada perempuan, makhluk-Nya, sehingga disuruhnya perempuan untuk begini begitu, supaya dia terjaga. Allahuakbar!

Izinkan saya kali ini mengutip bahasan Prof. Quraish Shihab megenai lelaki dan perempuan, yang saya kutip dari buku beliau berjudul "Perempuan".

Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia dewasa ini adalah dirinya sendiri. Manusia dapat membahayakan, bahkan memusnahkan kemanusiaan karena ulahnya terhadap dirinya.

Sekali lagi, manusia perlu mengenal dirinya, jasmani dan rohani, serta meningkatkan kualitasnya guna meraih kebahagiaan hidup masa kini dan masa depan yang dekat serta yang jauh. "Siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya." Sebaliknya, siapa yang tidak mengenal dirinya, dia akan binasa.

Lelaki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam masyarakat. Tentu saja, situasi ini harus sesuai dengan kodrat dan kemampuan masing-masing. Ini berarti bahwa kita dituntut untuk mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan-perbedaan antar keduanya.

Dalam suasana maraknya tuntutan hak asasi manusia serta seruan keadilan dan persamaan, sering kali, tanpa disadari, hilang hak asasi dan sirna keadilan lagi kabur makna persamaan yang dituntut itu. Apakah persamaan yang dimaksud harus menghilangkan perbedaan yang memang kodrati bagi masing-masing jenis?

Filosof dan sastrawan Mesir kenamaan, Anis Manshur, menguraikan dalam bukunya Min Awwal Nazhrah fi al-Jins wa al-Hubb wa az-Zawaj, bahwa pada tahun 1965 di Amerika, diadakan konverensi internasional yang membahas tentang keluarga. Salah satu yang disepakati adalah bahwa sungguh lebih baik bagi masyarakat untuk menjadikan lelaki tetap lelaki dan perempuan tetap perempuan, dan dalam saat yang sama keduanya itu diberi kesempatan yang sama.

Bisa saja diupayakan mencairkan perbedaan antara keduanya, misalnya dengan mendidik anak lelaki agar memiliki kelemahlembutan, serta mendidik anak perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menggunakan tangan serta alat.

Akan tetapi, betapa pun kita berusaha mendekatkan, perbedaan akan menonjol jelas. Perempuan, misalnya, senang diatur lelaki, tapi juga senang mengatur. Lelaki senang diperlakukan sebagai anak oleh perempuan, lelaki juga senang diperlakukan sebagai bapak.

Sedangkan Alexis Carrel, pakar Perancis, peraih Nobel bidang kedokteran dan sains, menulis dalam bukunya, Man The Unknown, bahwa orang-orang yang menyerukan persamaan antara lelaki dan perempuan serta mengajak untuk menyatukan pendidikan dan pengajaran serta pekerjaan sama sekali tidak mengetahui perbedaan yang tanpa diragukan, sangat esensial dan mendasar. Perempuan sesungguhnya sangat berbeda dengan lelaki.

“Problema terbesar yang dialami oleh peradaban Barat, menurut Carrel adalah mereka menetapkan hukum serta melakukan perencanaan bagi makhluk (manusia), yang mereka tidak kenal sifat dan ciri-cirinya, apalagi rahasia dan tujuan hidupnya dan karena mereka tidak mengetahuinya sebagaimana apa adanya, sehingga kelirulah mereka dalam segala hal.”

Sungguh bukan berarti saya abai pada keperempuanan saya dan teman-teman.

Sebagaimana ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dalam buku yang sama, “Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun –kecuali Adam dan Hawa- yang tidak lahir melalui seorang perempuan.”

Maka sungguh, betapa tercelanya lelaki yang melecehkan dan abai terhadap hak-hak perempuan. Mereka tidak lebih dari binatang, onggokan daging yang berjalan ke sana ke mari. Akalnya mati. Jiwanya kosong.

Sayangnya, dia hidup. Dan ada.

Yang tidak memberi perempuan hak-haknya sebagai mitra yang sejajar dengan lelaki dan meremehkannya tidak jarang menggunakan dalil keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks –interpretasi yang lahir dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan.

Sebaliknya, yang memberi hak-hak melebihi kodrat mereka, tak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan, dengan menggunakan logika baru yang keliru lagi tidak sejalan dengan teks, jiwa, dan tuntunan agama. Karena menggebu-gebunya mereka untuk menampik bias atau meluruskan kekeliruan, seringkali mereka malah melampaui batas sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran agama. Mereka beralih dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. (ß kok jadi inget JIL? #ea)

Islam sejak awal menekankan bahwa perempuan tidak sama dengan lelaki (Surat Ali ‘Imran: 36). Namun keduanya diciptakan berpasangan, yakni berpasangan dalam arti “kesamaan dengan perbedaan”. Perbedaan ini melahirkan perbedaan tuntunan dan ketetapan hukum bagi masing-masing mereka di mata agama, disesuaikan dengan jati diri, fungsi serta peranan yang diharapkan darinya, baik lelaki maupun perempuan, dan itu demi mencapai kemaslahatan bersama di dunia dan akhirat.

Tapi, perempuan , bukan berarti kamu melempem dan jadi anak rumahan. Dalam kitab Silsilatul Mas’ah Ash-Shaalihaah, Isham bin Muhmmad Asy-Syarif menjabarkan betapa perempuan seyogyanya bercita-cita tinggi, melepaskan diri dari kemalasan dan meneladani perempuan terdahulu.

Siapa itu “perempuan terdahulu”?

Perempuan yang berjihad memerangi kebodohan dengan menuntut ilmu.

Hafshah binti Sirin, Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah, Muadzah binti Abdillah, Ummu Darda’ Ash-Shughra, dan banyak lagi.
  
Atau, kamu mau berjjihad betulan? Jihadmu bukan dengan turun ke jalan. Jihadmu adalah dengan haji dan umrah. Tanpa peperangan. Lakukanlah haji dan umrah. Kata Nabi, itulah jihad yang paling afdhal bagi perempuan.

Lalu, cara termudah menghadapi bias ini adalah dengan mencontoh bagaimana Nabi terdahulu memperlakukan perempuan. Nabi Muhammad saw., misalnya. Beliau sering kali berdiskusi dan menerima saran dar istrinya. Saat bimbang, beliau bertanya ke istrinya, Khadijah ra. Saat gundah melihat tingkah umat, beliau menerima saran istrinya, Ummu Salamah ra.

Bahkan Nabi Muhammad bersabda, “Kehidupan dunia keseluruhannya adalah keikmatan yang menyenangkan, dan yang paling menyenangkan adalah perempuan/istri yang shalihah.” (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibnu Majah, melalui Ibnu Umar ra.).

Jadi kamu, perempuan, adalah kenikmatan dunia yang menyenangkan, jika kamu tergolong salihah, aamiin.

Prof. Quraish melanjutkan, betapa pun, kita harus berkata dengan yakin bahwa lelaki dan perempuan adalah sepasang makhluk Tuhan yang memiliki martabat dan kadar yang sama, tetapi harus diakui pula bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka; PERBEDAAN YANG TIDAK MENGAKIBATKAN SUPREMASI LELAKI. Melalui perbedaan itu, masing-masing memiliki kemandirian yang pada akhirnya bertujuan mengantar kepada terciptanya hubungan harmonis.

Kemandirian perempuan mengharuskannya tampil sebagai perempuan dan bangga dengan identitasnya. Kemandiriannya tidak boleh lebur sehingga menjadikannya sebagai lelaki, dan tidak juga menjadikan mereka harus mengalah dengan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan lelaki.

Kemandirian menjadikannya berkewajiban menolak setiap upaya yang bermaksud mengeksploitasi keunggulannya sebagai perempuan (jasad dan kecantikannya) untuk tujuan yang bertentangan dengan kehormatannya sebagai manusia dan sebagai perempuan.

Kemandiriannya menuntut untuk tidak terpaksa harus menerima begitu saja apa yang diperintahkan kepadanya –walau oleh ayah atau suaminya. Ingatkah kamu, Nabi Muhammad saw. pernah membenarkan penolakan seorang gadis yang dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak berkenan di hatinya? (HR. an-Nasa’i)

Dear muslimah, 

Allah sudah menyayangimu segitu besar dengan melarangmu ini itu, menyuruh begini begitu. 

Nabi dan para ‘alim sudah beri contoh, bagaimana menjadi perempuan yang sukses di dunia dan akhirat.

Maka dari situlah kamu belajar, dear.
Maka jangan malah kamu lemparkan tubuhmu dan hatimu ke sana ke mari, dear.

Belum terlambat untuk menyelamatkan kehormatan kita.  

Karena, lewat ketentuan yang kadang disebut “batasan” inilah, Allah mengasihi kita.

Komentar

Postingan Populer