Jadi, kata Tita tadi pagi, "Lu gapapa Nas gak
suka feminisme, tapi ada kok bagian dari Muhammadiyah yg concern terhadap
Perempuan yaitu Aisiyiyah hahahaha."
Tentu saya tak akan komentari soal 'Aisyiyah-nya,
karena saya pun masih anak bawang di 'Aisyiyah, cuma diminta bantuin ngajar
ngaji ibu-ibu tiap malam, jadi saya beneran masih anak kemaren sore (<--
sebuah klarifikasi, hahaha). Yang beneran aktif di sana malah Ayah. Saya jadi
asisten saja.
Soal saya tidak suka dengan feminisme? Mungkin bukan
tidak suka, tapi bahkan tidak kenal. Jadi bagaimana mau bilang suka dan tidak
suka kalau tidak kenal? Ibarat aku sama kamu, Mas. Kalau kamu nggak ngajak
kenalan, gimana aku mau suka? #SELALUGAGALFOKUS
Suatu malam, Tita menelepon saya. Di tengah obrolan,
Tita membagi pendapat dan keresahannya mengenai feminisme, yang saya hanya
angguk-anggukkan, juga saya catat untuk dipelajari nanti.
Belum lama ini, saya membaca beberapa kitab khusus
mengenai perempuan. Ini kiranya bahasan-bahasan yang ingin saya share di sini.
Mungkin kurang lengkap, dan ke depannya saya ingin berbagi lebih banyak lagi
mengenal Islam dan perempuan.
Yap, saya akan ambil framing agama untuk memandang perkara keperempuanan, sehingga
barangkali akan ada hal-hal yang tidak cocok dengan Anda, mohon maaf.
Berdasarkan pergulatan saya sebagai perempuan dan
muslimah, selama ini, saya tidak merasa Islam membatasi saya.
Soal jilbab, misalnya. Jilbab ini, bisa dibilang
pembatasan pada perempuan, lho. Karena; dalam berpakaian saja kami diatur.
Saat beranjak SMP, saya pernah memutuskan lepas
jilbab. Punya rambut buat apa? Jilbab itu sumpek, pikir saya dulu. Ayah saya,
seorang demokratis sejati, tidak melarang dan menyuruh. Dia hanya menyodorkan
kepada saya, walau ya, dengan wajah penuh harap, hahaha, sebuah kertas berisi
ayat Al-Qur'an yang memerintahkan perempuan menurunkan jilbab ke dadanya.
Menundukkan pandangannya. Menjaga fitrah, dan semua itu demi kebaikan dirinya
sendiri. Ayat ini diserta kisah saat perintah berjilbab turun pertama kali
kepada kaum Nabi Muhammad saw. Kala itu, perempuan serentak memakai kain di
kepalanya, menyabet apa pun, entah telapak meja atau gorden. Demi menutupi
aurat.
Kisah itulah, kala dulu, menggetarkan hati saya. Saya mau masuk ke golongan
perempuan yang selamat, golongan
perempuan zaman Nabi yang taat, itu
saja yang saya pikirkan. Maka saya pakai jilbab.
Tanpa saya sadari, seiring berjalannya waktu, justru jilbab adalah pintu saya
mengenal keajaiban-keajaiban Allah yang mutlak dan hakiki. Saya nggak berhenti
bersyukur bahwa Allah beri saya ide untuk pakai jilbab. Itu nikmat tiada dua.
Sungguh Allah sayang kepada perempuan, makhluk-Nya, sehingga disuruhnya
perempuan untuk begini begitu, supaya dia terjaga. Allahuakbar!
Izinkan saya kali ini mengutip bahasan Prof. Quraish
Shihab megenai lelaki dan perempuan, yang saya kutip dari buku beliau berjudul
"Perempuan".
Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia dewasa ini
adalah dirinya sendiri. Manusia dapat membahayakan, bahkan memusnahkan
kemanusiaan karena ulahnya terhadap dirinya.
Sekali lagi, manusia perlu mengenal dirinya, jasmani
dan rohani, serta meningkatkan kualitasnya guna meraih kebahagiaan hidup masa
kini dan masa depan yang dekat serta yang jauh. "Siapa yang mengenal
dirinya, dia akan mengenal Tuhannya." Sebaliknya, siapa yang tidak
mengenal dirinya, dia akan binasa.
Lelaki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam
masyarakat. Tentu saja, situasi ini harus sesuai dengan kodrat dan kemampuan
masing-masing. Ini berarti bahwa kita dituntut untuk mengetahui keistimewaan
dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan-perbedaan antar keduanya.
Dalam suasana maraknya tuntutan hak asasi manusia
serta seruan keadilan dan persamaan, sering kali, tanpa disadari, hilang hak
asasi dan sirna keadilan lagi kabur makna persamaan yang dituntut itu. Apakah
persamaan yang dimaksud harus menghilangkan perbedaan yang memang kodrati bagi
masing-masing jenis?
Filosof dan sastrawan Mesir kenamaan, Anis Manshur,
menguraikan dalam bukunya Min Awwal Nazhrah fi al-Jins wa al-Hubb wa az-Zawaj,
bahwa pada tahun 1965 di Amerika, diadakan konverensi internasional yang
membahas tentang keluarga. Salah satu yang disepakati adalah bahwa sungguh
lebih baik bagi masyarakat untuk menjadikan lelaki tetap lelaki dan perempuan
tetap perempuan, dan dalam saat yang sama keduanya itu diberi kesempatan yang
sama.
Bisa saja diupayakan mencairkan perbedaan antara
keduanya, misalnya dengan mendidik anak lelaki agar memiliki kelemahlembutan,
serta mendidik anak perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
menggunakan tangan serta alat.
Akan tetapi, betapa pun kita berusaha mendekatkan,
perbedaan akan menonjol jelas. Perempuan, misalnya, senang diatur lelaki, tapi
juga senang mengatur. Lelaki senang diperlakukan sebagai anak oleh perempuan,
lelaki juga senang diperlakukan sebagai bapak.
Sedangkan Alexis Carrel, pakar Perancis, peraih Nobel
bidang kedokteran dan sains, menulis dalam bukunya, Man The Unknown, bahwa
orang-orang yang menyerukan persamaan antara lelaki dan perempuan serta
mengajak untuk menyatukan pendidikan dan pengajaran serta pekerjaan sama sekali
tidak mengetahui perbedaan yang tanpa diragukan, sangat esensial dan mendasar.
Perempuan sesungguhnya sangat berbeda dengan lelaki.
“Problema terbesar yang dialami oleh peradaban Barat,
menurut Carrel adalah mereka menetapkan hukum serta melakukan perencanaan bagi
makhluk (manusia), yang mereka tidak kenal sifat dan ciri-cirinya, apalagi
rahasia dan tujuan hidupnya dan karena mereka tidak mengetahuinya sebagaimana
apa adanya, sehingga kelirulah mereka dalam segala hal.”
Sungguh bukan berarti saya abai pada keperempuanan
saya dan teman-teman.
Sebagaimana ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dalam
buku yang sama, “Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti
mengabaikan setengah dari potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti
melecehkan seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun –kecuali Adam dan
Hawa- yang tidak lahir melalui seorang perempuan.”
Maka sungguh, betapa tercelanya lelaki yang melecehkan
dan abai terhadap hak-hak perempuan. Mereka tidak lebih dari binatang, onggokan
daging yang berjalan ke sana ke mari. Akalnya mati. Jiwanya kosong.
Sayangnya, dia hidup. Dan ada.
Yang tidak memberi perempuan hak-haknya sebagai mitra
yang sejajar dengan lelaki dan meremehkannya tidak jarang menggunakan dalil
keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks –interpretasi yang lahir
dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan.
Sebaliknya, yang memberi hak-hak melebihi kodrat
mereka, tak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks
keagamaan, dengan menggunakan logika baru yang keliru lagi tidak sejalan dengan
teks, jiwa, dan tuntunan agama. Karena menggebu-gebunya mereka untuk menampik
bias atau meluruskan kekeliruan, seringkali mereka malah melampaui batas
sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran agama. Mereka beralih
dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan berpindah dari satu ekstrem ke
ekstrem yang lain. (ß kok jadi
inget JIL? #ea)
Islam sejak awal menekankan bahwa perempuan tidak sama
dengan lelaki (Surat Ali ‘Imran: 36). Namun keduanya diciptakan berpasangan,
yakni berpasangan dalam arti “kesamaan dengan perbedaan”. Perbedaan ini
melahirkan perbedaan tuntunan dan ketetapan hukum bagi masing-masing mereka di
mata agama, disesuaikan dengan jati diri, fungsi serta peranan yang diharapkan
darinya, baik lelaki maupun perempuan, dan itu demi mencapai kemaslahatan
bersama di dunia dan akhirat.
Tapi, perempuan , bukan berarti kamu melempem dan jadi
anak rumahan. Dalam kitab Silsilatul Mas’ah Ash-Shaalihaah, Isham bin Muhmmad
Asy-Syarif menjabarkan betapa perempuan seyogyanya bercita-cita tinggi,
melepaskan diri dari kemalasan dan meneladani perempuan terdahulu.
Siapa itu “perempuan terdahulu”?
Perempuan yang berjihad memerangi kebodohan dengan
menuntut ilmu.
Hafshah binti Sirin, Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad
bin Zurarah, Muadzah binti Abdillah, Ummu Darda’ Ash-Shughra, dan banyak lagi.
Atau, kamu mau berjjihad betulan? Jihadmu bukan dengan
turun ke jalan. Jihadmu adalah dengan haji dan umrah. Tanpa peperangan.
Lakukanlah haji dan umrah. Kata Nabi, itulah jihad yang paling afdhal bagi
perempuan.
Lalu, cara termudah menghadapi bias ini adalah dengan
mencontoh bagaimana Nabi terdahulu memperlakukan perempuan. Nabi Muhammad saw.,
misalnya. Beliau sering kali berdiskusi dan menerima saran dar istrinya. Saat
bimbang, beliau bertanya ke istrinya, Khadijah ra. Saat gundah melihat tingkah
umat, beliau menerima saran istrinya, Ummu Salamah ra.
Bahkan Nabi Muhammad bersabda, “Kehidupan dunia
keseluruhannya adalah keikmatan yang menyenangkan, dan yang paling menyenangkan
adalah perempuan/istri yang shalihah.” (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibnu Majah,
melalui Ibnu Umar ra.).
Jadi kamu, perempuan, adalah kenikmatan dunia yang
menyenangkan, jika kamu tergolong salihah, aamiin.
Prof. Quraish melanjutkan, betapa pun, kita harus
berkata dengan yakin bahwa lelaki dan perempuan adalah sepasang makhluk Tuhan
yang memiliki martabat dan kadar yang sama, tetapi harus diakui pula bahwa
terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka; PERBEDAAN YANG TIDAK
MENGAKIBATKAN SUPREMASI LELAKI. Melalui perbedaan itu, masing-masing memiliki
kemandirian yang pada akhirnya bertujuan mengantar kepada terciptanya hubungan
harmonis.
Kemandirian perempuan mengharuskannya tampil sebagai
perempuan dan bangga dengan identitasnya. Kemandiriannya tidak boleh lebur
sehingga menjadikannya sebagai lelaki, dan tidak juga menjadikan mereka harus
mengalah dengan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak
dan kewajiban yang setara dengan lelaki.
Kemandirian menjadikannya berkewajiban menolak setiap
upaya yang bermaksud mengeksploitasi keunggulannya sebagai perempuan (jasad dan
kecantikannya) untuk tujuan yang bertentangan dengan kehormatannya sebagai
manusia dan sebagai perempuan.
Kemandiriannya menuntut untuk tidak terpaksa harus
menerima begitu saja apa yang diperintahkan kepadanya –walau oleh ayah atau
suaminya. Ingatkah kamu, Nabi Muhammad saw. pernah membenarkan penolakan
seorang gadis yang dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak berkenan di
hatinya? (HR. an-Nasa’i)
Dear muslimah,
Allah sudah menyayangimu segitu besar dengan
melarangmu ini itu, menyuruh begini begitu.
Nabi dan para ‘alim sudah beri contoh, bagaimana
menjadi perempuan yang sukses di dunia dan akhirat.
Maka dari situlah kamu belajar, dear.
Maka jangan malah kamu lemparkan tubuhmu dan hatimu ke
sana ke mari, dear.
Belum terlambat untuk menyelamatkan kehormatan kita.
Karena, lewat ketentuan yang kadang disebut “batasan”
inilah, Allah mengasihi kita.
Komentar
Posting Komentar