Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Mengenang Sang Romo di Kafe Buku John Dijkstra

Iya, surga. Tempat dimana ada buku bagus yang bisa dibaca gratis adalah surga, hehehe.

Baru tadi siang saya selesai membaca buku tipis dan kecil berisi enam esai karya penulis Semarang tentang kukut-nya toko buku Togamas, toko buku ramah kantong mahasiswa. Bagi saya yang enam tahun di Tangerang, toko buku ini sudah tidak terlalu karib dengan saya, meski juga turut sedih karena toko buku ini dulunya surga buat pemburu diskon, apalagi samak bukunya itu lho, gratis! 

((Duh, mental gratisan ckck Inas))

Belum sempat bersedih-sedih, kini saya menemukan surga baru, hehehe. Namanya Library Cafe John Dijkstra. Cuma sayang, lupa motoin depan kafenya, nanti nyusul, ya.

Kenapa surga, karena banyak buku di sini yang nggak pernah saya temukan di tempat lain, dan tersebut sebagai koleksi mendiang Romo John Dijkstra, yang dulunya berkantor dan tinggal di sini, dan namanya diabadikan pula jadi nama si kafe buku. Tulisan di bawah ini adalah, obrolan saya dengan kakak aktivis lingkungan yang kini mengelola kafe tersebut, namanya Mas Wawan.



Gedung ini terbagi jadi dua lantai. Lantai pertama menjadi kantor John Dijkstra Institute, lantai keduanya adalah kafe buku. Tahun 1950, tempat ini dijadikan Romo sebagai Rumah Pancasila, dan menjadi salah satu tempat awal pertama kali munculnya Keuskupan Semarang. Meski Romo telah tiada, gedung ini tetap jadi ruang bagi buah pikir dan gagasan milik John Dijkstra. Di sinilah lahir gerakan seperti Ikatan Petani Pancasila, gerakan yang peduli terhadap nasib buruh tani. Tapi di tahun 1960-an gerakan ini sempat dianggap berafiliasi dengan komunis (ya, isu PKI tak pernah basi, mylov~). "Kemudian membubarkan diri, dan dari situ muncullah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia," kata mas Wawan.

Kenapa Romo banyak berkaitan dengan tani? Ternyata, Romo Dijkstra bersama Rumah Pancasila dan segenap aktivitasnya memang hendak mewadahi masyarakat kalangan pinggiran. "Beliau seorang Romo sosialis yang punya konsentrasi di isu sosial, lingkungan, dan kemanusiaan. Beliau menggandeng Soegijapranoto membentuk yayasan yang sifatnya untuk menaungi pergerakan itu: buruh, tani, nelayan, dinamakan Yayasan Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan." Sehingga, pergerakan Romo Dijkstra memang lebih ke arah kemanusiaan dan aktivitas sosial, bukan keagamaan. 


Kemunculan kafe buku sendiri diniatkan menjadi ruang komunitas bagi kawan muda untuk ngumpul, diskusi, sharing. Dulunya, lantai dua ini hanya gudang untuk menyimpan barang-barang Romo, dan diaktifkan sebagai kafe buku sejak 2016 akhir. 

Lalu kenapa lantai dua gedung itu "diserahkan" ke kakak-kakak aktivis ini untuk dikelola? Karena mas Wawan tersebut telah kenal dengan Romo Dijkstra secara personal sebagai sama-sama aktivis yang peduli pada isu buruh, nelayan, tani, dan lingkungan. 

"Pernah kenal dan sharing bareng dengan Romo dan aktivis senior di LPUBTN, kita sendiri pernah kerja bareng misalnya, memberi pelatihan di desa-desa pendampingan yang jadi titik fokus LPUBTN."

Isu misionaris nggak bisa dibendung. Masih ada yang menganggap mereka melakukan misi keagamaan tertentu karena gerakan mereka berasal dari kalangan Katolik, padahal mayoritas aktivis di komunitas itu adalah Muslim. Niat mereka lurus untuk mengembalikan semangat dari ide gagasan John Dijkstra demi Rumah Pancasila, sebagai rumah yang penuh kemajemukan, dan itu ternyata nggak gampang. 
"Jadi terkadang, orang itu nggak melihat dari sisi apa yang kita lakukan, tapi lebih memberi labeling. Terkadang kalau Tuhan pun berkepentingan dengan manusianya itu atas dasar apa? Perbuatan? Atau Labeling itu? Kalau Tuhan berkepentingan hanya atas label itu, berarti kita telah menuduh Tuhan melakukan tipu daya pasar."
Jreeeeng.

"Tapi labeling itu bukan suatu kendala. Yang jadi kendala sesungguhnya memang persoalan minat atau sisi ketertarikan kawan-kawan muda sebagai generasi pembawa tongkat estafet untuk misi perubahan itu yang kian hari kian kurang. Jadi terkadang kegiatan pun stuck dan kurang bisa berjalan seoptimal mungkin."

Sampai kini pun, mereka berusaha menelisik dinamika komunitas di Semarang, yang mana di era kini, mendorong dan mengajak kawan-kawan muda untuk aktif dan punya respon yang bagus terhadap ruang lingkupnya itu memang sulit.

"Ini pun akhirnya konsentrasi untuk jejaring networking-nya lebih ke kawan-kawan di gerakan Berline (Bersama Lindungi Ekosistem), untuk memulai mengajak kawan-kawan muda menggunakan ruang ini sebagai ruang diskusi, sharing, pameran, performance art, dan sebagainya."


Gegara "dihuni" aktivis lingkungan, event-event kafe pun lebih ke ranah lingkungan bersama gerakan Berline tadi. Mas Wawan dengan kawan-kawannya menggelar festival seni di hutan bernama Forest Art Camp, yang tentunya jadi wadah untuk ngobrolin isu lingkungan. Sebelum festival itu digelar, biasanya dimulai dulu dengan event Little Step to the Hill. Mau kepo-kepo? Ke instagramnya aja, ya: @dijkstra.cafe/ 

Perlu digarisbawahi, yang dilakukan kakak-kakak aktivis lingkungan di Berline ini sederhana sekali, tapi mereka coba melakukannya dengan penuh komitmen dan konsisten. "Misalnya kita mencoba membangun konsep local wisdom yang ada, tentang guyub rukun, gotong royong, yang mungkin saat ini sudah cukup hilang ruh dan semangat itu. Diharapkan semua terlibat karena persoalan lingkungan itu bukan masalah satu dua orang doang. Makanya kita bikin agenda tahunan sebelum Forest art Camp itu, kita namai Little Step to The Hill, kita berharap melakukan sesuatu yang kecil dan sederhana, membangun gerakan ini bersama, yang akhirnya menjadi kekuatan besar. Karena kalau kita ngomongin isu lingkungan tapi kita cuma ngomong tok, sementara nggak bisa ngasih contoh nyata ya percuma." 

Dari hasil ngobrol dengan doi, bisa disimpulkan, berbagai masalah mengenai lingkungan itu sebenernya kembali ke persoalan manusianya itu sendiri. Karena pergeseran nilai dan gaya hiduplah yang mendorong isu-isu itu mengemuka. Soal ini bakal tetap serius dibicarakan jika orang-orang tidak pernah melakukan refleksi atau evaluasi terhadap gaya hidupnya. 
"Ketika orang kaya tidak berhenti menumpuk harta, dan orang miskin tidak berhenti berkhayal punya harta yang banyak, persoalan itu akan terus muncul." 
Nah, kalau kamu keliling kafe ini, lihat deh, ada satu sudut berisi hasil olahan recycle menjadi buku notes, salah satunya. Hasil recycle ini dijual, lho. Murah pol. Dengan kualitas yang nggak kalah keren dari bikinan pabrik. Uwuwu~ Nah, hasil penjualan inilah yang menjadi pendanaan independen bagi komunitas.


Yap. Mereka tidak mau terlibat dengan pihak ketiga seperti sponsor atau foundation, melainkan mendapat dana dari karya-karya sendiri. Ini dilakukan juga demi menjaga konsistensi mereka terhadap lingkungan dengan terjun langsung ke "akar rumput", sehingga mereka mendaur ulang bahan tak terpakai dan menjadikannya aksesoris, ada juga kaos, dan sebagainya, lalu menjual dan mendapatkan dana lewat situ. "Awalnya waktu pertama kali menggagas itu... apa iya? Kegiatan yang mungkin besar tapi kita mendanai dengan cara yang recehan, mungkin. Tapi faktanya ini sudah berjalan di tahun ketiga, alhamdulillahnya bisa, gitu. Kita yakin aja." 

Kegiatan workshop dan diskusi yang digelar komunitas ini pun meraih antusias anak muda, hingga di luar Semarang. Mas Wawan dan kawan-kawan juga keliling kota untuk membicarakan isu lingkungan, dan menemukan fakta menarik di sana: "Kita bisa melihat bahwa di sekolah-sekolah pun selama ini mereka sama sekali belum pernah mendapat informasi cukup soal isu-isu tersebut, belum ada kegiatan sharing bersama, workshop, ternyata belum sama sekali."

Lalu di mana posisi Berline, juga mas Wawan menanggapi isu lingkungan yang belakangan makin banyak, dan "panas"? "Berline sendiri kurang antusias untuk bisa masuk ke isu itu (isu-isu lingkungan yang sedang panas dibicarakan), misalnya isu pabrik semen. Berline belum bisa masuk secara aktif karena persoalan itu sangat kental dengan aroma politik, dan kita cukup hati-hati. Karena kita cukup menjaga semangat kawan-kawan dalam konteks movement ini. Kita cukup berhati-hati atas intervensi dengan banyak pihak untuk menempatkan posisi."

Menurut doi, kalau kita mau bener-bener punya komitmen sebagai aktivis, kalau mau serius menyeselesaikan masalah, ya kita harus turun ke akar rumput dan mengorganisir masyarakat, kita kasih solusi apa. Mas memberikan perumpamaan ini.
"Ketika ada anak kecil yang menangis karena dipukul oleh bapaknya yang pemabuk, PR ibunya tidak selesai hanya dengan menenangkan si anak dari tangisannya, tapi sang Ibu punya PR juga untuk menghentikan mabuknya si bapak. Kalau nggak ya bakal terus digebukin itu anak. Tidak bakal selesai." 
Faktanya, di satu kondisi perkampungan yang pernah disambangi Mas Wawan, rentenir itu seperti hero, sinterklas itu malah seperti pembunuh. Validitas yang aneh, tapi itu fakta. Karena, sinterklas hanya menjadikan masyarakat malas, ketergantungan, sementara rentenir membuat masyraakat bangkit, melawan penindasan, punya gairah hidup untuk berubah, dan hal-hal itu  adalah kondisi sosial yang sudah terjadi di lingkungan kita.

Kembali ke kafe buku.

Koleksi buku di kafe ini sekitar 20 persennya donasi, sisanya peninggalan punya Romo. Masih banyak koleksi disimpan di dalam gedung, terutama yang masih susah dimengerti orang awam karena bukunya berbahasa Belanda, Jerman, Perancis. "Meski bukunya keren, tapi kalau kita pajang belum tentu seorang kutu buku pun mau menyentuh karena bahasanya sulit. Bukunya kuno sekali. Makanya kita simpan." 

Romo Dijkstra tergolong dekat dengan Romo Soegija. Saat dulu Romo Soegija aktif di masa perang, apakah Romo Dijkstra juga? Romo John Dijkstra memang tidak santer dikenal. Ini karena beliau benar-benar turun ke akar rumput, dan basis isunya juga bukan isu-isu fenomenal seperti perang --zaman dulu. Tapi, gagasan dan ide John Dijkstra keren sekali, dan menurut saya sungguh relevan bahkan urgen buat diterapkan dan dimaknai. Misalnya yang sampai sekarang mungkin masih dilakukan oleh kalangan Katolik, bahkan jadi program, namanya APP, Aksi Puasa Pembangunan. 

Romo tidak punya umat, aktivitasnya lebih terkonsetrasi ke ranah sosial. Beliau memang mencoba menjauhi kepentingan-kepentingan duniawi, dan hanya ada untuk kepentingan kemanusiaan. Mas Wawan sendiri sering ngobrol dengan Romo, dan.. tahu nggak wasiat Romo Dijkstra? Beliau pesan, saat nanti beliau meninggal, maka tempat beliau bersantai dan ngopi bareng kawan-kawan Muslim itu dijadikan tempat ibadah alias mushola. Dan itu sudah terwujud, saya pun kemarin shalat di sana, hehehe. Terima kasih, Romo. Telah menginspirasi kami dengan kesederhanaan perjuanganmu.



Sebelum pulang karena gelap mulai turun, saya dan Mas Wawan terlibat obrolan soal fenomena pembaca buku. Doi cerita, dulu pernah menggelar gerobak buku di Salatiga, menyediakan kitab-kitab seperti Riyadhush Shalihiin, 
buku sumbangan dari percetakan seperti Aneka Ilmu, juga buku-buku yang tak ada di tempat lain. 

Lucunya, "Ide tentang buka buku itu seolah keren, pengennya jadi jalan pendidikan nonformal utk kalangan anak-anak yg putus sekolah, tapi faktanya membuka kebiasaan orang membaca itu nggak gampang. Dan ternyata lagi, para pengguna buku adalah menengah ke atas, 90 persen. Itu artinya sasaran kita nggak terjangkau." Sasarannya pun nggak kena. Pelanggannya malah bos-bos semua, hehehe. Yang penting kepedulian untuk menularkan kebaikan ya, geng. 

Seruuuu sekali obrolan kami. Btw, nongkrong di sini dijamin mampu mengatasi rasa sepi karena kualitas bukunya yang tiada dua. Ada karya sastra juga, tapi didominasi buku Romo, yang hampir saya yakini sudah susah ditemui di pasaran. 


suka banget-nya sama ini!
Nggak bakal bosen karena ada UNO!! <3

Fix. Bakal balik ke sana lagi. Sama kamu ya, Mas? #eh #tetepUsaha

Komentar

Postingan Populer