Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

Pramuria dari Lucknow, Tercerabutnya Identitas Perempuan

Akhirnya, saya menyelesaikan buku ini. Novel terjemahan India pertama yang saya baca sampai habis.

Perkenalkan, ini dia, Pramuria dari Lucknow karya Mirza Muhammad Hadi Ruswa, atau Mirza Ruswa, seorang penulis asal India. Buku ini berjudul asli Umrao Jan Ada (1905) yang dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Grafiti Pers (terima kasih!) pada 1986 lalu. Bisa dibilang, ini karya Mirza yang paling ternama. 


Belum tahu apakah ini cerita nyata atau bukan, tapi dari pengantarnya, dituliskan bahwa Mirza tergerak mengabadikan kisah pramuria Lucknow ini ketika ia bertemu seorang di antaranya di kawasan Chowk, perkampungan pramuria.

Yang lebih penting dari itu adalah, tulisan ini memberi ruang bagi pembaca untuk melihat lebih dekat, seperti apa kehidupan pramuria, atau dalam konteks ini: pelacur. Apa yang membuatnya menjalani kehidupan di rumah bordil? Apa saja yang mereka alami dan bagaimana, perasaan mereka?

Hilangnya Kemujuran Amiran

Kisah dibuka dengan kehidupan Amiran , sang tokoh utama, yang dikelilingi kemujuran dan kecukupan. Ia tumbuh remaja di pinggiran Kota Faizabad, di lingkungan muslim yang normal. Ayahnya seorang perwira atau kepala satuan pegawai/polisi yang sangat menyayangi anak-anaknya. Kehidupan keluarga itu tergolong cukup, meski tak kaya raya. 

Sebagaimana anak-anak di kawasan India terlebih pada masa itu, Amiran ditunangkan pada usia 9 tahun dengan anak dari adik perempuan ayahnya. Persiapan pernikahan berlangsung membahagiakan. Calon mertua Amiran cukup berpunya, tunangannya pun memiliki rupa yang sedap dipandang. "Saya tidak dapat membayangkan ada orang lain yang lebih mujur daripada saya. Tampaknya semua impian saya akan terwujud."

Tapi, kehidupan Amiran berubah setelah dipukul-pukul oleh nasib jelek. Dan pembawa nasib itu adalah, Dilawar Khan dan Pir Bhaksy. Sebuah dendam lama membuat Dilawar menculik Amiran, dan menjualnya pada Nyonya Khanum Jan. Di rumah bordil Khanum, namanya berubah menjadi Umrao Jan Ada. 

Kehidupan Amiran di sana, sekilas terlihat... cukup. Ia memang diharuskan melayani, menyanyi, dan menari, sebagaimana gadis Khanum yang lain. Namun Amiran termasuk gadis yang menonjol. Ia dikenal pandai menyanyikan sajak. Ia pun berkenalan dengan pria-pria, muda dan tua, lalu mulai menyukai mereka. Tapi, adakah cinta sejati bagi pramuria?

Di rumah Khanum, ia cukup dimanusiakan, sekalipun tetap saja: Amiran di bawah kendali Khanum Jan. Namun, menjadi 'peliharaan' Khanum rupanya masih mending, daripada menjadi peliharaan Begam yang ketika marah bisa saja budaknya itu ia selar sampai mati. :(

Identitas Amiran seketika berubah. Ia bukan lagi seorang calon menantu tantenya, atau anak kesayangan ayahnya, melainkan seorang pelacur. Ia melayani tamu yang datang ke biliknya, juga mendatangi undangan-undangan untuk bernyanyi. Kecakapannya bersyair menjadikan ia favorit semua Begam dan Nawab terkenal. Sekalipun ia tenggelam dalam hina dina, Amiran dan pelacur Lucknow masih memegang 'integritasnya': mereka menolak menyanyikan lagu-lagu cabul rendahan, apalagi yang dilayaninya adalah sosok terhormat.

Terkadang, pria datang karena hanya membutuhkan kawan bercakap-cakap, seperti seorang pandai emas bernama Panna Mal. Tapi ada pula berandal macam Faiz Ali, seorang pria yang Amiran taksir. Ketika pria itu mengajaknya pergi sejenak dari rumah Khanum, tentu saja Amiran sangat ingin. Ia sangat ingin mencecap kebebasan di luar rumah Khanum, yang tak pernah ia nikmati. Mereka pun kabur dari sana. Namun yang tak disadari, kepergian itu membawa mereka dipontang-pantingkan oleh nasib baru: Faiz ditangkap dan nasib Amiran ikut terancam ketika mereka singgah di daerah Kanpur, India. 

Kasih sayang Tuhan masih berpihak padanya. Dengan ditangkapnya Faiz, Amiran mulai membangun hidup dan identitas baru di Kanpur, tak hanya sebagai seorang pelacur, namun juga penyanyi yang unggul. Ia langsung saja terkenal. Diundang ke mana-mana, bernyanyi dan berpuisi. Ia juga mencintai buku. Mulai dari buku cerita khayalan, hingga buku macam Akhlaq-i-Nasiri. 

Seandainya saya tak memperoleh kecintaan kepada buku, saya takkan dapat hidup lama. 
-Amiran  

Takdir kembali menghanyutkan hidup Amiran. Sebuah takdir membawanya kembali ke Faizabad; kampung halamannya. Dan bertemu yang ia rindukan: keluarganya. Apakah ia diterima?

Cinta bagi Pramuria

Bukan maksud membandingkan, namun karena kebetulan saya menonton Gangubai Kathiawadi lebih dulu sebelum membaca novel ini, akhirnya mau tak mau saya bercermin (meski tak seutuhnya) ke film tersebut. Kisah awal mula kehidupan Amiran dan Ganga sama: mereka dijual oleh pria mulut manis berhati iblis. Amiran bahkan nyaris dibunuh demi tuntasnya dendam Dilawar Khan kepada ayah Amiran.

Ketika menjadi pramuria, keduanya sama-sama belajar menumbuhkan prinsip dalam ketegaran yang awalnya samar, dan sama-sama menghadapi kekerasan. Secara garis besar, kehidupan Amiran di rumah Khanum baik-baik saja. Ia melayani dan bertemu para pria, mendapatkan hadiah-hadiah istimewa yang disimpannya sendiri, juga jatuh cinta pada pria yang, tak mungkin, hingga kapan pun, dimilikinya. Walau begitu, ia pernah berhadapan dengan tamu yang beringas, Nawab yang menakutkan, dan kelompok bersenjata.

Bahkan suatu ketika saat sudah lepas dari kontrol Khanum, seorang Nawab Mahmud Ali Khan pernah hendak mengikat Amiran sebagai gundik miliknya sendiri. Ia memberikan uang, dan berniat memiliki Amiran untuk dirinya seorang. Amiran tentu tak mau, apalagi diputuskan hanya sepihak oleh Nawab. Namun ketika Amiran berupaya membebaskan diri, Nawab justru membawa Amiran ke pengadilan karena merasa tak mendapatkan hak-hak sebagai suami.

Lah? Siapa yang nikah sama doi? Amiran kaget, tapi ia tak bisa tinggal diam. Ia mengumpulkan saksi untuk membuktikan bahwa mereka tidak menikah dan Nawab mencoba melakukan kekerasan padanya (dan memang iya, Nawab sampai mengancam akan membunuh Amiran. Gila! Demi dilayani!). Nawab juga tak habis akal, ia menghadirkan saksi untuk membuktikan dirinya dan Amiran telah menikah. Dua saksi itu seorang maulwi, orang yang terlihat amat saleh terutama dengan kening berbarut-barut tanda sering bersujud menghadap Mekkah. LOL. 

Bagaimana akhir kasusnya? Sila baca bukunya. Heheh.  

"Di dunia kacau kaum pramuria itu tak ada apa yang dinamakan cinta. Tak ada pria yang mencintai seorang pramuria dalam artian ini karena ia tahu bahwa pramuria tak dapat menjadi milik siapa pun."

Satu waktu, Amiran menulis, "Yang pantas dihadiah cinta sejati adalah wanita-wanita yang hanya melihat wajah seorang laki-laki saja. Tuhan takkan menghadiahkan cinta sejati kepada seorang pelacur."

Ganga menghadapi pergolakan sosial politik di lingkungannya yang beririsan dengan kehidupan rumah bordil. Berbeda dengan Amiran dalam tulisan Mirza Ruswa, yang ceritanya cenderung bepusat pada liku kehidupan Amiran dalam kendali orang-orang di atasnya, baik Khanum maupun para pria seperti Faiz Ali, hingga akhirnya Amiran (dan Ganga) berhasil membebaskan diri dari kuasa orang lain. 

Dalam Gangubai Kathiawadi, Ganga dikisahkan tak pernah kembali ke kampung halamannya. Berbeda dengan Amiran, yang ditarik kembali oleh nasib untuk menengok tempatnya tumbuh dan bermain bersama saudara-saudaranya. Dan, itu adalah bagian yang menguras emosi. Ini nggak akan saya spill supaya kalian penasaran :p 

Akhir hidup Amiran, sederhana. Ia mulai kembali pada sahabat-sahabat sejatinya, mereka yang tak meminta dan menuntut apa-apa, tulus saling menghargai, dan hanya bercakap dengan mereka pun adalah hiburan bagi Amiran.

Dunia yang Mengerikan Bagi Perempuan

Tak pelak saya teringat novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Kedua karakter utama dalam kedua cerita itu, adalah perempuan yang dibanting-banting oleh patriaki, dipandang sebagai makhluk kelas dua, tanpa martabat dan harga diri, dilihat bukan sebagai manusia melainkan pelampiasan, komoditi. 

Betapa merananya hidup Amiran? Diculik oleh seseorang yang dendam pada ayahnya. Jika ia laki-laki, akankah ia juga jadi target penculikan, pembunuhan, hingga dijual ke seorang gigolo? Hidup Amiran setelah itu sepenuhnya ada di tangan sosok yang lebih berkuasa: Dilawar Khan, Khanum, Nawab Mahmud, atau Faiz Ali. Tak ada kebebasan untuknya bahkan ketika ia menghirup udara di luar bilik, di luar kerangkeng Khanum. Ia hidup dalam kendali Khanum, sekalipun tetap dibiarkan hidup namun ia diharuskan bekerja, melakukan hal-hal yang bukan consent; tubuhnya, yang merupakan miliknya, di masa muda belia, tiba-tiba dijajah; tanpa persetujuannya. Terkadang bisa terasa manis, tapi juga pahit dan menyakitkan.

Bahkan, bahkan ketika ia berhasil meninggalkan rumah Khanum.. ia tetap seorang pelacur. Ia menyanyi dan melayani untuk hidup, pada akhirnya. Identitas baru, dirinya yang baru, diri yang tak ia harapkan namun harus ia terima. Ia telah dipaksa menelan takdir yang dipilihkan pria pecundang. 

Masih untung, dia tidak jadi gila.

Amiran bukan hanya tempelan karakter atau nama. Ia mewakili bagaimana perempuan mungkin dilindas-lindas oleh keputusan yang bukan miliknya. Mereka memang bisa bangkit, beragensi untuk dirinya sendiri, kembali mengelola masa seperti yang Amiran lakukan. Namun itu tidak perlu terjadi. Amiran dan semua perempuan harusnya tak mengalami ketertindasan dan keterpaksaan seperti itu, dalam bentuk apapun jua. Mereka bukan pelampiasan ego manusia pecundang seperti Dilawar dan lainnya.

Syair-syair Puitis 

Yang bikin betah menyimak cerita Amiran adalah, syair-syair puitis dan baris-baris berkesan di dalamnya. Syair bahkan menjadi sarana komunikasi bagi Amiran dan pria yang ia sukai, atau seorang Nawab yang ia puji, ini menarik dan memanjakan pembaca. 

Amiran menyukai syair, dan ahli menggubahnya. Itu yang membuat ia berbeda. Dalam suatu bagian ia berkata, "Puisi membebaskan segala kungkungan rohaniah." Wow.

Apalagi, penggunaan bahasa Urdu oleh Mirza Ruswa menjadikan novel ini lebih khas, dengan istilah-istilah khusus. Tapi tenang, di bagian akhir buku disertakan makna dari kata-kata berbahasa Urdu yang termaktub dalam buku ini. 


Bagian-bagian Berkesan 

"Saya melihat dan mendengar bagaimana istri atau anak perempuan yang mengalami sesat, dan saya tahu keadaannya yang membuat mereka jatuh. Yang pertama adalah keterlambatan orangtua mengawinkan anak (catatan dari Inas: ini dalam kultur daerah tersebut). Yang kedua adalah dikawinkannya gadis-gadis itu dengan orang tanpa persetujuan mereka; orangtua tak ambil pusing tentang soal-soal perbedaan umur, roman muka, atau perangai, dan memberikan anak perempuan mereka kepada sembarang lelaki yang dapat mereka temukan."
-Amiran

Ini menarik, sih. Sekalipun Amiran dalam hal ini sepakat bahwa pernikahan memiliki batas waktu, dan jika terlambat maka perempuan bisa 'mengalami sesat', namun di poin kedua ia menambahkan, jikapun perempuan menikah, itu harus dengan persetujuannya dan bukan asal-asalan.

"Betapapun cantiknya wajah dan betapapun bagusnya watak seorang istri, serta betapapun baiknya ia sebagai ibu rumah tangga, si suami masih juga dapat tergila-gila kepada seorang perempuan jalanan yang mungkin roman mukanya buruk, dan mungkin juga serba kurang dalam semua sifat lainnya. Ini membuat para istri yang berwatak suci mencurigai perempuan-perempuan itu menggunakan mantra atau pekasih yang membalik pikiran suami mereka. Patut diperhatikan bahwa bahkan di dalam keadaan semacam itu mereka tak pernah mempersalahkan suami mereka sendiri, melainkan hanya mencela pengaruh perempuan-perempuan jahat terhadap mereka."
- Mirza Ruswa 

Relate enough, kalau melihat penggerebekan para peselingkuh? Hehehe. 

"Mirza Ruswa, uang adalah seperti debu di tapak yang mudah hilang kalau kena air; hanya perbuatanlah yang penting."
-Amiran

Huhu kalau diancam resesi ya tetep deg-degan Mba Amiran, butuh duittttt. 

"Akan tetapi, wajahnya adalah wajah anak-anak yang belum kenal dosa. Saya bertanya-tanya anak siapa kiranya ini. Dan betapa sedih kiranya orangtuanya! Apakah bangsat-bangsat itu tidak takut pada Tuhan dengan menculik gadis-gadis semacam ini? Merekalah yang harus bertanggung jawab kepada Tuhan atas perbuatan semacam ini. Seandainya bukan saya yang membelinya, ia pasti dibeli oleh orang lain."
-Khanum Jan

Ini juga menarik. Khanum Jan sekalipun menjalankan 'bisnis' rumah bordil, tetap kepikiran nasib anak-anak yang bermuara pada rumahnya. Yang menarik juga, kalau dalam review film Darlings sebelumnya saya mempertanyakan urgensi identitas muslim di dalamnya yang nyaris hanya tempelan, kali ini saya merasa ditampar oleh Pramuria dari Lucknow yang diambil dari latar muslim! Tak hanya itu, 'tuhan' bahkan disebut-sebut di rumah bordil, sebagaimana Khanum menyebutnya di atas. Sementara aktivitas mereka cenderung, seperti kata Amiran, durjana.

"Orang Hindu enggan memakan apa-apa yang telah dijamah oleh orang Muslim."
-Amiran

Amiran mengalami cinta. Namun cinta yang berbeda, karena pramuria tak dapat menjadi milik siapa pun. Dalam refleksinya perihal pria dan wanita, ia menulis diantaranya:

"Pria tergesa-gesa dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan menjadi sangat terlibat dalam soal ini dalam waktu singkat. Wanita tenang-tenang saja dan lebih berhati-hati. Oleh karenanya, cinta pria surut dengan cepat, sedangkan cinta wanita lebih mantap. Jika kedua-keduanya, atau sekurang-kurangnya salah seorang di antaranya, bijaksana, mereka dapat mencapai kata sepakat yang memuaskan dan dapat menempuh hidup yang menyenangkan." 

"Bagi pria mengejar cinta adalah mencari kesenangan. Bagi wanita, mengejar cinta adalah mencari kesenangan dan sekaligus keamanan."

*

"Jika pria dan wanita mengetahui tempat mereka yang tepat dan apakah sebenarnya yang mereka inginkan, mereka akan dapat menghindarkan diri dari banyak hal yang tidak menyenangkan." 

Selanjutnya, karena berlatarkan lingkungan masyarakat yang mencintai puisi, dan menjadikannya bagian dari seni dan ruh sehari-hari, maka novel ini juga diramaikan dengan sahut-menyahut sajak yang menggelitik dan menyentuh, dilantunkan oleh Amiran maupun tokoh lain dalam buku ini, menjadikannya semakin istimewa. Misalnya:

Khatib, hari ini patut Tuan menggugat
anggur yang kau benci kembali kujadikan sobat.

 *

Aku naik haji ke Kabah di Mekkah
namun ternyata sia-sia belaka
kakiku berdosa kembali merambah
cinta berahi manusia yang membawa duka.

*

Aku berpaling dari Kabah
dengan penuh perasaan menampik
kukorbankan iman, kembali damba
kepada cinta insani yang lebih menarik.

*

Akhir kata, terima kasih pada Cak Mahfud yang merekomendasikan buku ini untuk saya beli. Sungguh pengalaman berkesan dapat berkenalan dengan Mirza Ruswa, seorang pengarang prosa Urdu terbaik sepanjang masa, yang kini cucu-cucunya hidup di jalanan Lucknow dan Pakistan.

Komentar

Postingan Populer