Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

[ULASAN BUKU Sihir Perempuan] Sihir Intan Paramaditha: Seram, Janggal, Berkesan

Aku enggak 100 persen suka ‘horor’, meski juga enggak akan langsung nolak kalau diajak nonton atau baca cerita horor. Bacaan hororku sangat terbatas sampai saat ini. Buku yang bagiku menyeramkan yang pernah kubaca adalah novel thriller berjudul Girls in the Dark (Penerbit Haru), kumpulan cerita horor dari Radio Ardan Bandung, Nightmare Side (Penerbit Bukune), juga beberapa teenlit karya Lexie Xu yang bikin penasaran sekaligus deg-degan.

But above all, kumpulan cerita pendek (cerpen) Sihir Perempuan ini gila, sih. Untuk pertama kalinya, aku takut baca buku di malam hari, hahaha. Serius, di beberapa cerita aku baru berani baca saat siang hari, saat matahari jadi teman yang menerangi. Makanya, perlu waktu yang enggak sebentar bagiku untuk menuntaskan buku ini, karena harus kubawa naik-turun kamar di pagi dan malam hari. Kadang kalau pas penasaran atau pengen lekas kelar, aku paksakan baca sebelum tidur. Tapi kalau merasa ceritanya seram, ya sudah, aku menyerah dan memutuskan untuk membawanya turun di pagi hari agar bisa kubaca saat matahari bersinar. Ini pertama kalinya, aku dibuat mbobat-mbabit oleh sebuah buku kumcer.

Sebelumnya, aku mau cerita sedikit soal penulis Sihir Perempuan, yakni Intan Paramaditha. Pembacaanku atas tulisan beliau masih sangat sedikit. Nama Intan baru kudengar saat awal kenalan dengan kekasihku, yang sekarang menjadi suamiku. Si Kangmas ini, berkali-kali menyebutkan nama Intan saat membahas tulisan berkaitan dengan perempuan, atau saat ngobrol soal feminisme. Sangat terlambat.

Pernah dengar Intan Paramaditha? Baca deh Intan Paramaditha. Dia blablabla…., begitu kata Kangmas. Jelas, Intan ini penulis perempuan favoritnya, yang kini aku tahu ia juga suka Chananya Rompas. 

Tapi aku tak bertemu Intan lewat tulisan. Pertemuan pertama kami adalah di forum Etalase Pemikiran Perempuan yang digelar di Jogja. Beliau menjadi salah satu fasilitator bersama kawan-kawan lainnya. Pertemuan kedua adalah lewat cerpennya yang dimuat di Kompas, berjudul Klub Solidaritas Suami Hilang. Cerita itu dibukukan bersama cerita lain dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013, and I am hooked. 

Beberapa bagian dari tulisan itu meninggalkan kesan, diantaranya:

“Hal besar seperti perang kerap meninggalkan serpihan kecil, tak berguna dan jorok, seperti sifilis dan bayi.”

*

Ingatan menjadi kuil yang mesti dilap hingga berkilat…

*

Di hari-hari tertentu rajutan dibongkar paksa dan cat kuku luber di kulit.

*

Dan tentu saja, bagian paling berkesan sekaligus menegangkan, sebagaimana banyak cerpen Intan lainnya dalam buku Sihir Perempuan, adalah bagian ending dari Klub Solidaritas Suami Hilang. 

Dua hari setelah pernikahan mereka, Soonyi memasukkan sebuah koper ke dalam bagasi mobilnya. Ia menyetir jauh sekali. ”Aku merindukannya. Kadang, setelah puluhan tahun, aku merasa ia masih berbaring di sampingku.”

Soonyi menyeka matanya yang basah. “Barangkali yang kusimpan di dalam koper itu,” ia berhenti sesaat. “Bukan dia.”

Setelah itu: sunyi.

Dona Manuela beranjak dan mengedarkan bibimbap.

*

Gila nggak, sih?

Kusimpulkan, Intan memang gothic luar dalam. Sebagaimana cerita pendek yang ia tulis untuk Sihir Perempuan; semuanya menyimpan kejanggalan, kengerian, dan kesan yang tidak akan terlupakan.




Saat membaca Sihir Perempuan, aku mengarungi kata demi kata, bab berpindah bab, tanpa ekspektasi dan bayangan apa pun. Mengalir begitu saja, mengikuti cerita babak ini dan babak itu. Hasilnya ya itu tadi, aku butuh ditemani matahari untuk bisa menyelesaikan cerpen yang menurutku seram dan enggak sanggup kuselesaikan malam itu. 

Namun kurang lebih, 11 cerpen itu memiliki napas serupa: Intan menceritakan pengalaman perempuan dengan gaya yang jauh dari biasa. Cerita-cerita yang menghantui, apapun latar belakang mereka. Ia bisa jadi dokter, karyawati, atau seorang putri yang merawat bapaknya. Entah seorang ibu, anak, bahkan boneka porselen. Namun mereka, perempuan-perempuan itu, terseret dalam kegelapan; stigma, trauma, ketidakberdayaan, paksaan, tuntutan, nafsu, imajinasi, kesepian, dan lalu menjelma jadi hantu-hantu gentayangan.




Dan aku masih mampu menemukan bagian favorit dari kisah-kisah janggal ini. Pertama, cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari yang memukauku sejak pertama kali membacanya –ya, aku butuh mengulang karena rasa tak percaya bahwa aku terpapar cerita macam ini. Aku bahkan menuliskan catatan, “Cinderella extreme version!” di bagian cerpen tersebut, bagian yang membuatku menggumam, “Wah, imajinasi memang dahsyat. Bisa begitu, ya.” Selain itu, posisi tokoh utama cerpen ini juga berhasil mengundang simpati, namun di saat yang sama rasanya pun gemas melihat bagaimana tuntutan dan ambisi melingkari hidupnya. Tapi ia ada benarnya; di dunia ini, para ayah punya kekuasaan di atas segala-galanya.


Kedua, yang paling membekas bagiku adalah Mak Ipah dan Bunga-Bunga. Aku membacanya dalam sekali duduk, siang-siang (tentu saja) di sebuah kafe yang baru pertama kali kusambangi bareng Kangmas. Tak ada hantu, setan. Tak ada kilatan gaib. Tak ada debur Pantai Selatan atau darah vampir. Hanya seorang perempuan tua bernama Mak Ipah yang dianggap tak waras, dan bunga-bunga yang ia rawat sebegitunya. Tapi kemudian di akhir cerita kita tahu, Mak Ipah sangat waras. Apa yang dialaminya, dan apa yang dilakukannya, adalah bukti bahwa ia waras, sekalipun pengakuannya adalah angin dingin yang memorakporandakan tulang-tulangku. 

Ketiga, cerita yang paling relevan secara personal bagiku, adalah Darah. Pengalaman menghadapi menstruasi pertama kali di kelas L-I-M-A, dan terus-menerus menjalani masa-masa berdarah setiap bulan hingga umur setua ini. 

Menstruasi tidak pernah datang sendiri, ia datang bersama kaidah atau patokan baru; bahwa perempuan harus begini; bahwa perempuan tidak boleh begitu, karena kini kamu sudah akil balig. Kamu sudah dewasa. Ia datang bersama rasa perih pedih, tubuh yang seketika tak berfungsi normal, atau bergantung pada obat-obatan pereda nyeri. Laki-laki tidak akan pernah mengerti. 

Menstruasi datang bersama tafsir tokoh agama bahwa diri ini kotor, hina, tak pantas berdekatan dengan yang suci. Bahkan perempuan menstruasi dilarang masuk ke kuil. Dan, menstruasi juga datang bersama dengan hantu-hantu penjilat pembalut. Ew. Rasa frustrasi si tokoh utama atas darah, atas menstruasi, atas objektifikasi tubuh perempuan; semua terasa relevan. Tubuhku cucian yang diperas hingga kering, dan yang tersisa tinggal perut berongga, seperti spons, tertusuk jarum.

Kisah-kisah lain yang Intan tulis tak kalah mengesankan, juga diwarnai kelokan-kelokan mengejutkan. Lewat kumpulan cerpen ini, Intan menyihirku dengan kekelaman yang ganjil tapi juga familiar. Kelindan mitos, horor, dan kisah pengalaman perempuan yang ia tulis ada kalanya terasa janggal sekaligus masuk akal. Membius. Mengundang simpati. Aneh. Pengalaman perempuan yang beberapa terasa dekat. Cara Intan meramu ceritanya juga khas, mengundang penasaran, siap menyihirmu sejak kalimat pertama. 

Dan setelah ini, saya merelakan diri ‘disihir’ lagi olehnya.

Komentar

Postingan Populer