Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

PELAJARAN TOLERANSI PERTAMA SAYA

Ada beberapa suara yang saya sukai; suara bapak-bapak mengaji di mushala kampung tiap Jum'at malam, atau suara cici dan koko asli Semarang saat bicara pakai bahasa Jawa; soalnya mereka bicara bahasa Jawa kadang jauh lebih medok, bahkan menggunakan pilihan kata yang lebih njawani dibandingkan saya misalnya? Coba dengerin, deh. Saya pertama kali mendengar itu saat berkunjung ke SMA Kolose Loyola, Semarang, zaman masih SMP. 

And it’s beautiful. 

*

Demi menghayati momen Hari Toleransi Internasional yang belum lama ini kita peringati, saya ingin mengenang pengalaman toleransi pertama saya. 

Sebenarnya, saya tak pernah punya masalah dengan keberagaman. Selama hidup di Semarang hingga usia 18 tahun, mudah saja bagi saya bergaul dengan semua teman, apapun latar belakang agama, ras, atau budayanya. Itu bukan masalah. Hidup saya nyaman. Ini lingkaran comfort zone saya, tinggal sebagai mayoritas di tengah-tengah orang Jawa dan Arab.

Lalu, hidup saya bagai diputar 180 derajat setelah disekolahkan di sebuah universitas swasta di Tangerang. A whole new world. 

Kenapa demikian? Karena, saya yang awalnya 'mayoritas', jadi 'minoritas', katakanlah begitu. Lebih banyak kamu temui wajah-wajah berparas Tionghoa. Lebih banyak beredar laki dan perempuan berkalung tanda salib. Percaya nggak, saya sempat shock culture? Kaget. Saya tak pernah merasa sesendirian ini. Dari seluruh mahasiswa di satu angkatan, yang pakai jilbab itu bisa dihitung pakai jari. Saya bahkan sempat takut bakal dipaksa jadi macam-macam, entah apa. 

Yang paling berkesan adalah, bahwa masa ospek mahasiswa saya berlangsung saat bulan Ramadhan. Sudah bangun untuk sahur pukul 3 pagi, lalu merem-melek sampai Subuh, shalat, dan bergegas jalan kaki ke kampus demi memenuhi tugas ospek, saat langit masih serupa semburat merah malu-malu. Begitu matahari mulai nampak, kami berbaris, lanjut berkumpul sesuai regu untuk mengerjakan tugas dan pulang sore hari. 

Berat, kah? Tidak juga. Tapi unik. Ini pengalaman baru di lingkungan baru, lingkungan yang (awalnya) saya curigai. Begitu jam istirahat tiba, mahasiswa lain duduk sambil menyelonjorkan kaki di lobi kampus nan luas, lalu membuka bekal makan siang. Saya dan teman yang muslim pamit pada senior untuk shalat di mushala.


Ini Bedanya...

Hidup saya mendadak beda. 

Dulu, di kampung halaman, setiap gang punya mushola, bahkan suara zikir dan ngaji malam bisa terdengar sampai kamar. Di sini, suara azan nyaris hanya bisa didengar dari televisi. Begitu Minggu pagi tiba, sebagian tetangga kami berdandan rapi untuk berangkat ke gereja, sehingga kompleks terasa sepi. Yang terdengar kemudian adalah suara nyanyian tetangga kami yang menjalankan ibadah di rumah.

Di kampung halaman, kami selalu keluar bebarengan untuk shalat di Hari Lebaran. Tapi di kota itu, momen berbagi kebahagiaan terjadi dua kali: saat Lebaran dan Imlek. Lebaran adalah momennya para tetangga yang Kristen, Katolik, atau Buddha mendatangi kami, berbagi hadiah, dan cicip-cicip kue. Giliran Imlek, kami saling berbagi angpao. Dompet kertas kecil khas Imlek jadi menumpuk di rumah. 

Nggak ada masalah meski kami beda. Seorang Oma di kompleks sering membuat makanan dan mengirimnya ke rumah kami. Katanya, "Ini buat Umi. Bilang ya, dari Oma." Begitu juga saat kami punya jajanan. 

Harus saya akui, lingkaran pertemanan saya di kampung halaman ya itu-itu saja. Ya begitu-begitu saja. Tapi di sini, beda. Awalnya memang saya menarik diri, mau menjulurkan tangan untuk kenalan duluan pun malu. 

Tanpa saya sadari, lingkaran pertemanan itu meluas tatkala saya memutuskan pindah tempat duduk di baris depan dengan alasan: supaya bisa lebih mudah menyerap materi kuliah. Di situlah saya kenal Elvinta, Citra, Nerissa, Suvi, Cindy, Tasya. Meluas lagi jadi berteman dengan Edwin, Ryan, Cynthia, Evelyn, Mey Diana, Venty, Jerry, Peter, Jessica, Windy, Olivia, Sheila, Rika, Rea, dan banyak lagi. 

Satu momen yang nggak terlupakan adalah saat gereja di dekat kampus kami diancam bom pipa. Hari itu, saya ingat, banyak mahasiswa pulang lebih awal, lobi kampus berdengung, orang-orang membicarakan ancaman bom itu. Beberapa senior jurnalistik juga ke lapangan untuk melihat langsung. 

Keesokannya, berita teror bom itu dibahas di kelas Pengantar Jurnalistik asuhan Bapak Ignatius Haryanto. Seingat saya, itulah momen dimana kelas hening betul. Hening yang sempurna. Tak ada yang berbisik sekalipun, semua memandang ke arah papan tulis. Dan saat itu, Elvinta berbisik pelan, “Lo jangan kayak gitu, ya.”

Mungkin maksudnya, saya jangan jadi teroris. 

*    

Semakin dekat dengan waktu ujian, kami semakin sering berkumpul untuk belajar bareng. Kadang di kelas, kadang di ruangan perpustakaan. Makan siang pun bareng. Pernah, saat makan bersama, Tata mencolek saya. "Lo nggak shalat?" Acit juga tanya, "Lo nggak shalat, cuy?" Saya tentu ingat harus shalat, tapi diingatkan oleh mereka juga berkah buat saya. Nyeeesss di hati. 

Ternyata, semua ini tak semenakutkan awalnya. Tak semenakutkan broadcast message di Whatsapp. Saya malah bebas jadi diri saya sendiri saat bersama mereka: menari dan menyanyi India saat stres mengerjakan tugas, beraksi gila saat jalan di mall bersama, mengisi kelas kosong dengan bermain drama-drama konyol. Beda itu biasa.

Saat kami menginap di rumah Tasya, semua melonjak girang karena bakal sarapan nasi goreng babi. Saya sibuk memandang wajan sambil berpikir apa yang bisa saya makan, dan rupanya mereka sudah menyiapkan nasi goreng ayam untuk saya karena tahu saya tak makan babi. Beberapa sahabat saya ini gemar makan babi. Elvinta misalnya, sering membawa babi dalam bekalnya. Kadang saya penasaran dan mengamati, seperti apa daging babi itu. Tapi mereka nggak pernah menggoda saya. Kalau itu babi, ya mereka akan bilang itu babi. Sehingga, saya nggak boleh makan. 


Dipaksa Belajar Lagi! 

Tak pernah ada masalah serius yang terjadi gara-gara kami berbeda. Saya nggak menghina mereka, mereka nggak menghina saya. Saat saya berulang tahun, Citra memberi kado berupa kerudung. Elvinta memberi saya sajadah berbusa. Cindy memberi saya buku berisi kisah muslimah.

Uniknya, mereka sering melempar pertanyaan soal agama saya. Masalahnya, pertanyaan mereka juga kadang cukup serius; kenapa bisa ada Muslim jadi teroris? Menurut Islam, Yesus itu gimana? Kenapa haji harus ke Mekkah? Kenapa babi haram? Pembantu gue Muslim kok makan babi? Kenapa shalat gerakannya seperti itu? Emang muslim harus pakai jilbab? Konsep surga dan neraka di Islam kayak gimana, sih? Beberapa bisa saya langsung jawab, beberapa tidak, karena saya sadar untuk menjawabnya harus belajar lebih dulu. 

Nah, ini dia: belajar. Di zona nyaman saya dulu, tak ada yang pernah menanyakan hal ini. Tidak ada yang menanyai, atau katakanlah mengkritisi apa yang dilakukan sebagai Muslim. Berkat pindah ke sini lah, saya justru “dipaksa” belajar tentang agama saya sendiri, benar-benar belajar dari kitab atau tanya ke Ayah yang kebetulan gemar membaca buku, bukan sekadar Googling. Kalau dipikir lagi, barangkali itu hikmahnya saya “diceburkan” di tengah perbedaan. Saya belajar bertoleransi dengan hal-hal baru, sekaligus mengenal lika-liku agama Islam yang sejauh ini belum pernah saya telusuri. 

Jadi, bagaimana saya menyimpulkan kisah ini? Saya di-islamisasi oleh kawan-kawan berbeda agama? Di-islamisasi orang Katolik dan Kristen? Hehehe. Barangkali begitu. Karena, sebelum ini saya malas sekali buka buku agama. Tapi sekarang…. membaca buku-buku itu sungguh samudera ilmu! Luas betul, dan mengasyikkan!

Sejak itu, sejak mengecap berkahnya hidup keberagaman dari situ, tanpa perlu merasa takut dan berprasangka, saya jadi berpikir: orang jadi rasis mungkin karena mereka tidak mengalami apa yang saya alami. Mereka tidak berkenalan dan bergaul dengan yang berbeda.

Rasanya syukur sekali saya dilahirkan di tanah Indonesia. Keberagaman ini mengajarkan banyak hal pada saya. Dipertemukan orang-orang baru dalam bingkai keberagaman adalah takdir favorit saya. 

Ingat: membenci itu mudah. Tapi butuh kekuatan batin untuk menjadi baik dan adil. Latih dirimu, tantang dirimu untuk itu. Untuk sesuatu yang lebih membawa manfaat bagi sekitar.

Pada akhirnya, semakin seseorang berbeda identitas dengan saya, saya akan semakin tertarik mengenalnya. Menurut saya, ini salah satu survival kit untuk hidup dalam keberagaman. 

Saya mencintai beragamnya Indonesia. Buat saya, ini anugerah. Secara personal, keberagaman Indonesia adalah pintu saya untuk mengenal agama saya sendiri, diri saya, bahkan Tuhan. Saya mencintainya. Justru, di titik itu, saya makin sayang dengan Islam, makin bangga, makin cinta. Makin ingin merefleksikan Allah dalam hidup. Makin ingin belajar, sebenarnya apa yang kita cari dengan hidup sebagai Muslim?


Komentar

Postingan Populer