Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

“… Dan laki-laki tidak sama dengan perempuan…” (QS. Ali ‘Imran:36)

Hidup itu harusnya bisa memadupadankan urusan akhirat dan duniawi. Urusan agama dan hal-hal kehidupan yang umum dan dapat ditoleransi.

Misalnya, soal kesetaraan antara lelaki dan perempuan.

Untuk beberapa hal memang, saya adalah konservatif yang kaku dan memilih melihat dari sudut pandang agama. Jika katanya salah, ya itu salah, meski semua orang melakukannya. Jika itu benar, maka itu benar, meski tak ada yang melakukannya kecuali saya.

Misalnya, soal pacaran, yang saat itu saya lemparkan langsung mendapat respon negatif dari mereka.

Kembali ke tadi, soal kesetaraan.

Ya, yang akan saya sampaikan ini bertolak dari konsep emansipasi yang terus masuk ke otak saya sejak SD hingga SMA. Jadi ada baiknya Anda yang berada di garis itu bisa mengacuhkan tulisan ini.

Emansipasi ini ide dimana perempuan sama dengan lelaki. Ia punya hak untuk menuntut ilmu, punya hak untuk bekerja, hak untuk meraih posisi yang sama dengan yang dapat diraih lelaki, bahkan hak untuk memimpin.

Seperti yang saya sudah bilang, untuk beberapa hal saya memilih melihatnya dari sudut pandang agama, dalam hal ini Al Qur’an dan Hadist. Di dalam keduanya, poin-poin di atas begitu lemah.

Perempuan memang berhak menuntut ilmu, karena seperti hadist Nabi, “Wajib hukumnya menuntut ilmu bagi lelaki dan perempuan.” Perempuan pun juga ‘setara’ dengan lelaki, namun dengan konteks yang berbeda dari ide emansipasi.

Perempuan ‘setara’ dalam artian ia berhak mendapat perlindungan keamanan, ia berhak disayangi, ia berhak dihormati, derajatnya tidak boleh direndahkan seperti masa sebelum Islam turun, dimana anak perempuan akan dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Ia begitu mulia, bahkan Islam memuliakan mereka, dengan cara yang berbeda, yang bisa dipandang sangat negatif oleh orang-orang modern seperti Anda.

Hakikat perempuan dalam Islam adalah, sebelum ia menikah ia tunduk pada ibu bapaknya, setelah ia menikah ia tunduk pada suaminya. Islam bahkan melarang perempuan terjun pada dunia perdagangan, karena itu adalah tugas lelaki. Sejatinya perempuan ada dengan tugas pokok: membuat kehidupan rumah tangga yang tentram dan mendidik anak-anaknya.

Mengapa hanya sebatas itu?

Sekali lagi, orang modern akan menganggap ini salah. Namun begitulah adanya. Allah mengodratkan perempuan sebagai makhluk lemah. Secara fisik, ia terbatas oleh haid dan nifas. Saat haid tiba tubuhnya akan melemah. Secara kodrati, ketahanan fisik perempuan kalah dibanding lelaki. Karena, mereka memang diciptakan untuk dilindungi.

Perempuan dan laki-laki sesungguhnya tidak setara. Yang satu dipandang lebih dari yang lain agar bisa saling melengkapi. Dua di antara contohnya adalah, soal pembagian warisan dan pembedaan dalam kesaksian.

Karena laki-laki adalah pihak yang bertanggung jawab menghasilkan rezeki, maka ia mendapat jatah yang lebih banyak dibanding warisan bagi perempuan. Selanjutnya, dalam pembedaan dalam kesaksian, dibutuhkan satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan dalam suatu kasus. Artinya, satu laki-laki sama dengan dua wanita. Ya, mereka tidak setara dan sama.

Asy-Syaikh As-Sayyid Rasyid Ridha menjelaskan bahwa ‘Perempuan tidak berkompetensi mengurus masalah yang berkaitan dengan keuangan, berbeda dengan urusan rumah tangga yang menjadi konsentrasinya.’ Artinya, manusia sudah diciptakan sesuai kodrat dan tabiatnya. Mereka memiliki konsentrasi dan tanggung jawab atas bidang masing-masing. Lalu jika sudah ditakdirkan begitu, bisa dikatakan wanita yang mengambil jatah tugas lelaki adalah wanita yang maruk. Bukan begitu?

Lalu bagaimana makhluk yang lemah itu memimpin?

Suatu hari saat perang akan dimulai, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalam dilapori oleh tentaranya bahwa musuhnya itu dipimpin oleh seorang wanita. Nabi pun bersabda, "Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan". (HR Bukhari, Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).

Nyatanya pegiat gerakan wanita di Barat sana pun banyak yang menolak emansipasi. Mereka menulis artikel soal bagaimana emansipasi ternyata merupakan konsep yang salah. Lebih jauh, emansipasi diketahui telah membunuh kodrat kelembutan wanita, kesantunannya, ketundukannya pada suami, serta kebelaskasihannya. Bahkan Dafison, pegiat gerakan wanita Internasional menyatakan bahwa wanita harusnya menyerahkan kepemimpinan pada lelaki dan melupakan soal kesetaraan.

Begitulah. Islam memuliakan wanita dengan memberinya dua tugas besar, di samping menjaga diri dari godaan iblis. Wanita adalah bahan bakar api neraka yang paling banyak. Mereka mudah bersalah dan berbuat dosa. Mereka memiliki sifat alamiah sebagai penggunjing, sebagian pembangkang, dan tempramental. Bagaimana sosok seperrti itu mau memimpin?

Itulah mengapa Allah membatasi ruang gerak wanita. Wallahu a’lam. Saya mempercayai ayat-ayat Allah itu, karena saya melihat dan mengalami sendiri bagaimana jika engkau membiarkan wanita memimpin dan menguasai suatu kaum.

Anda tahu? Saya pernah memimpin. Saya sering memimpin. Saya memimpin ketika yang lain tidak bisa memimpin. Maka, saya akan dipilih untuk memimpin. Bagaimana rasanya? Sangat tidak enak. Sangat menggelisahkan. Perempuan benar-benar makhluk yang tempramen, plin plan, emosional, dan seringnya menomorduakan ‘pikiran jernih’ dalam mengambil keputusan.

“… Dan laki-laki tidak sama dengan perempuan…” (QS. Ali ‘Imran:36)

Komentar

Postingan Populer