Hidup itu harusnya bisa
memadupadankan urusan akhirat dan duniawi. Urusan agama dan hal-hal kehidupan
yang umum dan dapat ditoleransi.
Misalnya, soal kesetaraan antara
lelaki dan perempuan.
Untuk beberapa hal memang, saya adalah
konservatif yang kaku dan memilih melihat dari sudut pandang agama. Jika
katanya salah, ya itu salah, meski semua orang melakukannya. Jika itu benar,
maka itu benar, meski tak ada yang melakukannya kecuali saya.
Misalnya, soal pacaran, yang saat
itu saya lemparkan langsung mendapat respon negatif dari mereka.
Kembali ke tadi, soal kesetaraan.
Ya, yang akan saya sampaikan ini
bertolak dari konsep emansipasi yang terus masuk ke otak saya sejak SD hingga
SMA. Jadi ada baiknya Anda yang berada di garis itu bisa mengacuhkan tulisan
ini.
Emansipasi ini ide dimana perempuan
sama dengan lelaki. Ia punya hak untuk menuntut ilmu, punya hak untuk bekerja,
hak untuk meraih posisi yang sama dengan yang dapat diraih lelaki, bahkan hak
untuk memimpin.
Seperti yang saya sudah bilang,
untuk beberapa hal saya memilih melihatnya dari sudut pandang agama, dalam hal
ini Al Qur’an dan Hadist. Di dalam keduanya, poin-poin di atas begitu lemah.
Perempuan memang berhak menuntut
ilmu, karena seperti hadist Nabi, “Wajib
hukumnya menuntut ilmu bagi lelaki dan perempuan.” Perempuan pun juga
‘setara’ dengan lelaki, namun dengan konteks yang berbeda dari ide emansipasi.
Perempuan ‘setara’ dalam artian ia
berhak mendapat perlindungan keamanan, ia berhak disayangi, ia berhak
dihormati, derajatnya tidak boleh direndahkan seperti masa sebelum Islam turun,
dimana anak perempuan akan dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Ia begitu mulia,
bahkan Islam memuliakan mereka, dengan cara yang berbeda, yang bisa dipandang sangat
negatif oleh orang-orang modern seperti Anda.
Hakikat perempuan dalam Islam
adalah, sebelum ia menikah ia tunduk pada ibu bapaknya, setelah ia menikah ia
tunduk pada suaminya. Islam bahkan melarang perempuan terjun pada dunia
perdagangan, karena itu adalah tugas lelaki. Sejatinya perempuan ada dengan
tugas pokok: membuat kehidupan rumah tangga yang tentram dan mendidik
anak-anaknya.
Mengapa hanya sebatas itu?
Sekali lagi, orang modern akan
menganggap ini salah. Namun begitulah adanya. Allah mengodratkan perempuan sebagai
makhluk lemah. Secara fisik, ia terbatas oleh haid dan nifas. Saat haid tiba
tubuhnya akan melemah. Secara kodrati, ketahanan fisik perempuan kalah
dibanding lelaki. Karena, mereka memang diciptakan untuk dilindungi.
Perempuan dan laki-laki sesungguhnya
tidak setara. Yang satu dipandang lebih dari yang lain agar bisa saling
melengkapi. Dua di antara contohnya adalah, soal pembagian warisan dan
pembedaan dalam kesaksian.
Karena laki-laki adalah pihak
yang bertanggung jawab menghasilkan rezeki, maka ia mendapat jatah yang lebih
banyak dibanding warisan bagi perempuan. Selanjutnya, dalam pembedaan dalam
kesaksian, dibutuhkan satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan dalam suatu
kasus. Artinya, satu laki-laki sama dengan dua wanita. Ya, mereka tidak setara
dan sama.
Asy-Syaikh As-Sayyid Rasyid Ridha
menjelaskan bahwa ‘Perempuan tidak berkompetensi mengurus masalah yang
berkaitan dengan keuangan, berbeda dengan urusan rumah tangga yang menjadi
konsentrasinya.’ Artinya, manusia sudah diciptakan sesuai kodrat dan tabiatnya.
Mereka memiliki konsentrasi dan tanggung jawab atas bidang masing-masing. Lalu
jika sudah ditakdirkan begitu, bisa dikatakan wanita yang mengambil jatah tugas
lelaki adalah wanita yang maruk.
Bukan begitu?
Lalu bagaimana makhluk yang lemah
itu memimpin?
Suatu hari saat perang akan
dimulai, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalam dilapori oleh tentaranya
bahwa musuhnya itu dipimpin oleh seorang wanita. Nabi pun bersabda, "Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat
pemimpin mereka seorang perempuan". (HR Bukhari, Ahmad, Nasai dan
Tirmidzi).
Nyatanya pegiat gerakan wanita di
Barat sana pun banyak yang menolak emansipasi. Mereka menulis artikel soal
bagaimana emansipasi ternyata merupakan konsep yang salah. Lebih jauh,
emansipasi diketahui telah membunuh kodrat kelembutan wanita, kesantunannya, ketundukannya
pada suami, serta kebelaskasihannya. Bahkan Dafison, pegiat gerakan wanita
Internasional menyatakan bahwa wanita harusnya menyerahkan kepemimpinan pada
lelaki dan melupakan soal kesetaraan.
Begitulah. Islam memuliakan
wanita dengan memberinya dua tugas besar, di samping menjaga diri dari godaan
iblis. Wanita adalah bahan bakar api neraka yang paling banyak. Mereka mudah
bersalah dan berbuat dosa. Mereka memiliki sifat alamiah sebagai penggunjing, sebagian
pembangkang, dan tempramental. Bagaimana sosok seperrti itu mau memimpin?
Itulah mengapa Allah membatasi
ruang gerak wanita. Wallahu a’lam. Saya
mempercayai ayat-ayat Allah itu, karena saya melihat dan mengalami sendiri
bagaimana jika engkau membiarkan wanita memimpin dan menguasai suatu kaum.
Anda tahu? Saya pernah memimpin.
Saya sering memimpin. Saya memimpin ketika yang lain tidak bisa memimpin. Maka,
saya akan dipilih untuk memimpin. Bagaimana rasanya? Sangat tidak enak. Sangat
menggelisahkan. Perempuan benar-benar makhluk yang tempramen, plin plan,
emosional, dan seringnya menomorduakan ‘pikiran jernih’ dalam mengambil
keputusan.
“… Dan laki-laki tidak sama dengan
perempuan…” (QS. Ali ‘Imran:36)
Komentar
Posting Komentar