Film Papuan Voices menghadirkan 9
kisah yang masing-masing menyoroti isu-isu berbeda di Papua. Ini lahir dari niat Engage
Media yang mencoba memvisualisasikan isu sosial masyarakat Papua sehingga
bisa dilihat oleh dunia. Rangkaian filmnya adalah:
Surat
Cinta kepada Sang Prada
Dalam film ini, seorang perempuan bernama Maria
Goretti (Eti) menulis surat untuk Samsul, tentara yang pernah menjaga di perbatasan
RI dan Papua New Guinea dekat rumahnya. Dulu, Samsul sering menghampiri rumah Eti,
hingga akhirnya mereka pacaran. Namun, Samsul meninggalkan Eti saat perempuan itu hamil 5
bulan. Samsul kembali ke Bandung, menitip pesan agar Eti menjaga buah hati
mereka. Samsul juga berjanji akan kembali, namun hingga kini tak ada kabar sama
sekali.
Papua
Calling
Film kedua ini tentang toleransi beragama di
Papua. Sebenarnya tidak ada banyak pertikaian soal perbedaan agama. Yang
terjadi di Papua kebanyakan adalah pertengkaran beda suku. Bagi mereka,
persoalan Papua adalah masalah bersama. Mau Islam, Kristen. Yang jelas, bukan
lantas karena Papua didominasi oleh Kristen lalu masyarakat Islam menutup mata
karena ini adalah masalah kemanusiaan. Justru di sana Islam cukup kuat. Ada
Majelis Muslim Papua yang diketuai Fadhal Alhamid. Menurutnya dan Adnan
Yalipepe, salah satu ustad di sana, kebijakan pemerintah Indonesia tidak
meng-Indonesia-kan orang Papua. Mereka merasa sangat termarjinalkan dalam
proses pembangunan.
Mama
Kasmira Pu Mau
Perampasan tanah oleh investor sangat nyata
terjadi di Papua, salah satu yang terbesar yaitu Raja Wali Group. Bahkan tokoh
adat mereka juga terlibat di situ, menerima saja kehadiran para investor.
Mereka ikut membuat surat kesepakatan dengan harga tanah 400.000/hektar. Dalam
film ini juga diperlihatkan bagaimana perempuan dibatasi haknya dalam
pengambilan keputusan (penindasan dalam budaya).
Ironic
Survival
Ada pertikaian antara masyarakat dan hutan adat
dengan investor dan pemerintah. Kedatangan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate atau Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke) ke lingkungan masyarakat Mahuze sungguh tidak diinginkan. Mereka kecewa sekali dengan kebijakan pemerintah yang awalnya memang untuk "perbaikan" pangan mereka, namun yang dilakukan MIFEE terhadap tanah dan alam di sana membuat masyarakat Papua sedih. Pemerintah seolah memberi izin perusahaan ini untuk meruntuhkan hutan dan menyebar lahan. MIFEE pun tidak bicara dulu ke masyarakat maupun Ketua Adat mengenai proyek ini, langsung datang dan main ratakan tanah saja. Yang menyedihkan juga, di pesisir pantai sana, Alex Mahuze, salah satu penduduk, sudah membuat penghalang abrasi pantai bersama penduduk, yang kemudian diratakan oleh MIFEE entah untuk apa. Akhirnya, air pantai makin masuk ke ranah pemukiman warga.
Kelapa Berbuah
Jerigen
Pohon kelapa merupakan sumber penghidupan
mereka, sekaligus awal mula mereka terbiasa minum minuman berakohol. Meski
begitu, asal budaya minum minuman keras bukan dari mereka, melainkan orang luar
Papua yang masuk ke sana, seperti Timor, NTB, Maluku, dan lainnya, yang memang
terbiasa minum berakohol. Menurut salah satu suku Malind di sana, ini terjadi
karena kebiasaan anak-anak muda yang ngumpul malam hari, padahal dulu jika
malam datang, anak muda di Papua biasanya berkumpul dengan keluarga dan
bercerita-cerita. Mereka tahu efek buruk dari minuman keras, yaitu pemerkosaan,
pembunuhan, pencurian, tapi tetap saja minum. Mereka buat bahannya dari air
kelapa. Minuman ini dijual pula ke orang luar Papua, namun dengan kadar alkohol
kecil. Bagi orang Papua sendiri, kadar alkoholnya bisa mencapai diatas 50%,
lho. Keras sekali. Malind juga berpesan agar pemerintah di sana jangan hanya
menghukum, tapi juga bantu hidupkan lagi budaya bercerita sehingga dapat
mengurangi aktivitas tersebut.
Harapan
Anak Cenderawasih
Ini juga cukup memprihatinkan. Soal wajah
pendidikan di Papua. Merry Wanomi, guru di SD Inpres di Suskun. Yang “unik”,
Merry guru yang mengajar dari kelas 1 hingga 6 SD. Ia mengemban semua kelas.
Padahal masih ada 8 guru lainnya, namun mereka jarang datang, bahkan hampir tak
pernah datang lagi untuk mengajar. Alasannya, pertama mereka harus melalui banyak pos pengamanan sebelum menuju
sekolah, dan itu dicek ketat oleh penjaga pos sehingga membuat mereka malas,
jadi enggan mengajar ke sekolah. Kedua,
yang super klasik yaitu tunjangan yang kurang bagi para guru. Merry merasa
sangat butuh bantaun tenaga guru untuk mengajar di sana. Sangat ironis karena
anak-anak ini begitu semangat belajar di sekolah dan mempunyai mimpi untuk
menjadi polisi, guru, dan astronot. Sementara itu, di wilayah Arso Kerom sana,
merupakan tempat buta aksara tertinggi dan IPM terendah. Infrastruktur
kesehatan pun buruk, dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia berdasarkan
berdasarkan provinsi, Papua berada di urutan pertama, HIV 10.881 dan AIDS
7.795, dari penduduk Papua 2.833.381 orang dan Papua Barat berada di urutan 24
dengan jumlah kasus HIV 1.896 dan AIDS 187 orang per 30 Maret 2013.
Yang
Tersisa Yang Melawan
Salah satu masyarakat Adat Arso, Dominikus
Mesas, harus melawan investor kelapa sawit yang mulai mencaplok tanah-tanah
warga. Jika dipetakan, maka: masyarakat versus aparat+investor+pemerintah
sehingga rakyat di sana benar-benar single
fighter.
Pemburu Terakhir
Sebuah taman nasional bernama Wasur, yang kini
justru terbengkalai dan di sini posisinya pemerintah tidak peduli bahkan
cenderung berada di pihak lawan. Kompensasi diabaikan, bahkan hutannya dijual
ke investor. Hewan-hewan di dalamnya perlahan habis ditembaki dari atas dan
bawah (tidak disebutkan secara gambling oleh siapa yang menembaki), sehingga
Dominikus Mesas pun tak juga dapat buruan. Ia harus mengganti pekerjaannya
menjadi pencari kayu. Satu nasihat Mesas, “jaga tanah kita, jangan asal jual
sana sini”.
Awin Meke
Investor, orang dari luar Papua, atau
pendatang, semuanya nampak bersaing dengan masyarakat asli Papua lewat berbagai
ranah. Yang ini, dalam ranah perdagangan. Perempuan-perempuan Papua yang
berjualan ala pasar disebut Mama-Mama Papua. Umumnya mereka menjual hasil bumi,
buah atau sayur. Tak lama setelah mulai berjualan di satu tempat yang sama
(maaf saya lupa catat dimananya), mereka protes ke pemerintah, menuntut
diberi tempat yang lebih layak. Bersamaan dengan tuntutan itu, tengah dibangun
Mall Papua. Makin gencarlah perjuangan Mama-Mama Papua ini, dibantu aktivis
bernama Robert Jitmaw. Mama-Mama ini pun mulai diberi fasilitas seperti meja
dan tenda yang lebih layak. Namun tak lama, pemerintah membangun pasar di
Mesran yang umumnya di sana berjualan para pendatang. Pasar ini letaknya
strategis, di dekat terminal, sehingga lebih ramai dan cenderung lebih rapi.
Mama-Mama kembali protes supaya pemerintah bersikap adil. Pendatang ini
tentunya sudah pandai berdagang sehingga lebih untung, sementara Mama-Mama ini
merupakan orang Papua yang sedang belajar sehingga merasa sangat disaingi. Ada
peminggiran, proteksi, dan keberpihakan di sini. Jumlah penduduk miskin di
Papua sendiri 944,79 dengan presentase 31,98% (2012).
Papua dibagi di atas meja
Tanah papua dikapling habis oleh investor. Data Foker LSM 2012, tanah
yang dikuasai sejumlah perusahaan di Papua, maupun Papua Barat, mencapai
14.045.562 hektar. Luas tanah yang dikapling tidak termasuk tambang dan
mineral.
Rincian tanah yang dipatok:
Tambang, mineral, batu bara: 2.701.283,30 ha
Tambang minyak dan gas
- Daratan:
9.271.769.109 ha
- Lautan:
10.827.439.629 ha
Total luas hutan: 40.546.360 ha
Lahan sawit di tanah papua: 2.064.698 ha
PT. Freeport: 2.600.000 ha
MIFEE: 1,4 juta ha
BP-Indonesia: 3.416 ha
HPH/IUPHHK-HA: seluas 5.202.478 ha (kehutanan dan perkebunan)
Tambang, mineral, masuk HPH/IUPHK-HA 28 unit seluas 4.174.970 ha
Perusahaan mineral, batubara dan migas 17 unit di Papua Barat, seluas
452 ha.
Diskusi
Dhyta (Engage Media)
Film ini
merupakan hasil pelatihan ke masyarakat Papua. Pelatihannya mulai 2011 hingga
akhir 2012, di Merauke dan Jayapura. Isunya pilihan mereka, kalaupun ada
keinginan mereka, kita tidak tahu apa. Menarik sekali Papua ini, sangat kaya,
sekaligus sangat miskin.
Di
Indonesia ini, kuat sekali politic stigma-nya. Yang seperti Mama-Mama Papua itu
bisa aja disebut OPM. Dituduh bagian OPM.
Thomas dan Lias (NAPAS)
Film tadi
sangat representatif. Sangat memotret realitas sosial di sana, terutama soal
pendidikan dan main jual tanahnya.
Ada pihak
yang mengompori konflik. Alkohol pun jadi alat politik untuk memicu konflik.
Bisnis miras sangat kuat.
Masalah di
Papua jauh lebih kompleks dari yang difilmkan. Masih banyak. Tidak melulu soal
pemerintah dan politik, tapi juga kultural, sosial, dan ekonomi.
Kalo orang
pendatang (bukan Papua) berkelahi, aparat akan melerai. Kalo orang Papua yang
berkelahi, aparat nonton saja.
Masalah di Papua bukan semata-mata muncul dari
pihak Papua. Tapi ada pihak yang berpikiran “kalo Papua bersatu, ia akan kuat,
dan investor akan susah masuk” maka konflik itu justru jadi bisnis. Maka coba
kita lihat Papua dari berbagai aspek.
Rangkuman:
Semua di Papua
hampir-hampir dipolitisir.
Media
sayanganya yg harusnya menyuarakan suara-suara yang tidak bisa didengar, tapi
malah jadi suara kepentingan.
Komentar
Posting Komentar