Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

Papuan Voices: Realitas Papua dalam Lensa

Film Papuan Voices menghadirkan 9 kisah yang masing-masing menyoroti isu-isu berbeda di Papua. Ini lahir dari niat Engage Media yang mencoba memvisualisasikan isu sosial masyarakat Papua sehingga bisa dilihat oleh dunia. Rangkaian filmnya adalah: 

Surat Cinta kepada Sang Prada
Dalam film ini, seorang perempuan bernama Maria Goretti (Eti) menulis surat untuk Samsul, tentara yang pernah menjaga di perbatasan RI dan Papua New Guinea dekat rumahnya. Dulu, Samsul sering menghampiri rumah Eti, hingga akhirnya mereka pacaran. Namun, Samsul meninggalkan Eti saat perempuan itu hamil 5 bulan. Samsul kembali ke Bandung, menitip pesan agar Eti menjaga buah hati mereka. Samsul juga berjanji akan kembali, namun hingga kini tak ada kabar sama sekali.

Papua Calling
Film kedua ini tentang toleransi beragama di Papua. Sebenarnya tidak ada banyak pertikaian soal perbedaan agama. Yang terjadi di Papua kebanyakan adalah pertengkaran beda suku. Bagi mereka, persoalan Papua adalah masalah bersama. Mau Islam, Kristen. Yang jelas, bukan lantas karena Papua didominasi oleh Kristen lalu masyarakat Islam menutup mata karena ini adalah masalah kemanusiaan. Justru di sana Islam cukup kuat. Ada Majelis Muslim Papua yang diketuai Fadhal Alhamid. Menurutnya dan Adnan Yalipepe, salah satu ustad di sana, kebijakan pemerintah Indonesia tidak meng-Indonesia-kan orang Papua. Mereka merasa sangat termarjinalkan dalam proses pembangunan.

Mama Kasmira Pu Mau
Perampasan tanah oleh investor sangat nyata terjadi di Papua, salah satu yang terbesar yaitu Raja Wali Group. Bahkan tokoh adat mereka juga terlibat di situ, menerima saja kehadiran para investor. Mereka ikut membuat surat kesepakatan dengan harga tanah 400.000/hektar. Dalam film ini juga diperlihatkan bagaimana perempuan dibatasi haknya dalam pengambilan keputusan (penindasan dalam budaya).

Ironic Survival
Ada pertikaian antara masyarakat dan hutan adat dengan investor dan pemerintah. Kedatangan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate atau Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke) ke lingkungan masyarakat Mahuze sungguh tidak diinginkan. Mereka kecewa sekali dengan kebijakan pemerintah yang awalnya memang untuk "perbaikan" pangan mereka, namun yang dilakukan MIFEE terhadap tanah dan alam di sana membuat masyarakat Papua sedih. Pemerintah seolah memberi izin perusahaan ini untuk meruntuhkan hutan dan menyebar lahan. MIFEE pun tidak bicara dulu ke masyarakat maupun Ketua Adat mengenai proyek ini, langsung datang dan main ratakan tanah saja. Yang menyedihkan juga, di pesisir pantai sana, Alex Mahuze, salah satu penduduk, sudah membuat penghalang abrasi pantai bersama penduduk, yang kemudian diratakan oleh MIFEE entah untuk apa. Akhirnya, air pantai makin masuk ke ranah pemukiman warga. 

Kelapa Berbuah Jerigen
Pohon kelapa merupakan sumber penghidupan mereka, sekaligus awal mula mereka terbiasa minum minuman berakohol. Meski begitu, asal budaya minum minuman keras bukan dari mereka, melainkan orang luar Papua yang masuk ke sana, seperti Timor, NTB, Maluku, dan lainnya, yang memang terbiasa minum berakohol. Menurut salah satu suku Malind di sana, ini terjadi karena kebiasaan anak-anak muda yang ngumpul malam hari, padahal dulu jika malam datang, anak muda di Papua biasanya berkumpul dengan keluarga dan bercerita-cerita. Mereka tahu efek buruk dari minuman keras, yaitu pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, tapi tetap saja minum. Mereka buat bahannya dari air kelapa. Minuman ini dijual pula ke orang luar Papua, namun dengan kadar alkohol kecil. Bagi orang Papua sendiri, kadar alkoholnya bisa mencapai diatas 50%, lho. Keras sekali. Malind juga berpesan agar pemerintah di sana jangan hanya menghukum, tapi juga bantu hidupkan lagi budaya bercerita sehingga dapat mengurangi aktivitas tersebut.

Harapan Anak Cenderawasih
Ini juga cukup memprihatinkan. Soal wajah pendidikan di Papua. Merry Wanomi, guru di SD Inpres di Suskun. Yang “unik”, Merry guru yang mengajar dari kelas 1 hingga 6 SD. Ia mengemban semua kelas. Padahal masih ada 8 guru lainnya, namun mereka jarang datang, bahkan hampir tak pernah datang lagi untuk mengajar. Alasannya, pertama mereka harus melalui banyak pos pengamanan sebelum menuju sekolah, dan itu dicek ketat oleh penjaga pos sehingga membuat mereka malas, jadi enggan mengajar ke sekolah. Kedua, yang super klasik yaitu tunjangan yang kurang bagi para guru. Merry merasa sangat butuh bantaun tenaga guru untuk mengajar di sana. Sangat ironis karena anak-anak ini begitu semangat belajar di sekolah dan mempunyai mimpi untuk menjadi polisi, guru, dan astronot. Sementara itu, di wilayah Arso Kerom sana, merupakan tempat buta aksara tertinggi dan IPM terendah. Infrastruktur kesehatan pun buruk, dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia berdasarkan berdasarkan provinsi, Papua berada di urutan pertama, HIV 10.881 dan AIDS 7.795, dari penduduk Papua 2.833.381 orang dan Papua Barat berada di urutan 24 dengan jumlah kasus HIV 1.896 dan AIDS 187 orang per 30 Maret  2013. 

Yang Tersisa Yang Melawan
Salah satu masyarakat Adat Arso, Dominikus Mesas, harus melawan investor kelapa sawit yang mulai mencaplok tanah-tanah warga. Jika dipetakan, maka: masyarakat versus aparat+investor+pemerintah sehingga rakyat di sana benar-benar single fighter.

Pemburu Terakhir
Sebuah taman nasional bernama Wasur, yang kini justru terbengkalai dan di sini posisinya pemerintah tidak peduli bahkan cenderung berada di pihak lawan. Kompensasi diabaikan, bahkan hutannya dijual ke investor. Hewan-hewan di dalamnya perlahan habis ditembaki dari atas dan bawah (tidak disebutkan secara gambling oleh siapa yang menembaki), sehingga Dominikus Mesas pun tak juga dapat buruan. Ia harus mengganti pekerjaannya menjadi pencari kayu. Satu nasihat Mesas, “jaga tanah kita, jangan asal jual sana sini”.

Awin Meke
Investor, orang dari luar Papua, atau pendatang, semuanya nampak bersaing dengan masyarakat asli Papua lewat berbagai ranah. Yang ini, dalam ranah perdagangan. Perempuan-perempuan Papua yang berjualan ala pasar disebut Mama-Mama Papua. Umumnya mereka menjual hasil bumi, buah atau sayur. Tak lama setelah mulai berjualan di satu tempat yang sama (maaf saya lupa catat dimananya), mereka protes ke pemerintah, menuntut diberi tempat yang lebih layak. Bersamaan dengan tuntutan itu, tengah dibangun Mall Papua. Makin gencarlah perjuangan Mama-Mama Papua ini, dibantu aktivis bernama Robert Jitmaw. Mama-Mama ini pun mulai diberi fasilitas seperti meja dan tenda yang lebih layak. Namun tak lama, pemerintah membangun pasar di Mesran yang umumnya di sana berjualan para pendatang. Pasar ini letaknya strategis, di dekat terminal, sehingga lebih ramai dan cenderung lebih rapi. Mama-Mama kembali protes supaya pemerintah bersikap adil. Pendatang ini tentunya sudah pandai berdagang sehingga lebih untung, sementara Mama-Mama ini merupakan orang Papua yang sedang belajar sehingga merasa sangat disaingi. Ada peminggiran, proteksi, dan keberpihakan di sini. Jumlah penduduk miskin di Papua sendiri 944,79 dengan presentase 31,98% (2012).

Papua dibagi di atas meja
Tanah papua dikapling habis oleh investor. Data Foker LSM 2012, tanah yang dikuasai sejumlah perusahaan di Papua, maupun Papua Barat, mencapai 14.045.562 hektar. Luas tanah yang dikapling tidak termasuk tambang dan mineral. 
Rincian tanah yang dipatok:
Tambang, mineral, batu bara: 2.701.283,30 ha
Tambang minyak dan gas
-        Daratan: 9.271.769.109 ha
-        Lautan: 10.827.439.629 ha
Total luas hutan: 40.546.360 ha
Lahan sawit di tanah papua: 2.064.698 ha
PT. Freeport: 2.600.000 ha
MIFEE: 1,4 juta ha
BP-Indonesia: 3.416 ha
HPH/IUPHHK-HA: seluas 5.202.478 ha (kehutanan dan perkebunan)
Tambang, mineral, masuk HPH/IUPHK-HA 28 unit seluas 4.174.970 ha
Perusahaan mineral, batubara dan migas 17 unit di Papua Barat, seluas 452 ha.

Diskusi

Dhyta (Engage Media)
Film ini merupakan hasil pelatihan ke masyarakat Papua. Pelatihannya mulai 2011 hingga akhir 2012, di Merauke dan Jayapura. Isunya pilihan mereka, kalaupun ada keinginan mereka, kita tidak tahu apa. Menarik sekali Papua ini, sangat kaya, sekaligus sangat miskin.

Di Indonesia ini, kuat sekali politic stigma-nya. Yang seperti Mama-Mama Papua itu bisa aja disebut OPM. Dituduh bagian OPM.

Thomas dan Lias (NAPAS)
Film tadi sangat representatif. Sangat memotret realitas sosial di sana, terutama soal pendidikan dan main jual tanahnya.

Ada pihak yang mengompori konflik. Alkohol pun jadi alat politik untuk memicu konflik. Bisnis miras sangat kuat. 

Masalah di Papua jauh lebih kompleks dari yang difilmkan. Masih banyak. Tidak melulu soal pemerintah dan politik, tapi juga kultural, sosial, dan ekonomi.

Kalo orang pendatang (bukan Papua) berkelahi, aparat akan melerai. Kalo orang Papua yang berkelahi, aparat nonton saja.

Masalah di Papua bukan semata-mata muncul dari pihak Papua. Tapi ada pihak yang berpikiran “kalo Papua bersatu, ia akan kuat, dan investor akan susah masuk” maka konflik itu justru jadi bisnis. Maka coba kita lihat Papua dari berbagai aspek.

Rangkuman:
Semua di Papua hampir-hampir dipolitisir.
Media sayanganya yg harusnya menyuarakan suara-suara yang tidak bisa didengar, tapi malah jadi suara kepentingan.

Komentar

Postingan Populer