Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

tuan waktu dan nona prasangka, ayat 1

selamat malam, tuan waktu dan nona prasangka.

untuk pertama kalinya kusambut kau dan kau dengan megah di bahtera milikku sendiri. terima kasih, sudah membiarkan manusia satu itu membawa kalian dalam kisahku, hariku, senduku, girangku.

aku sudah melupakan kalian mungkin, umm, sejak tiga tahun lalu. saat bayu menyapu lagu satu itu. aku berhasil berpindah. tidak sekali, malah. kunikmati hidup tanpa dirimu, tuan waktu. tidak kupedulikan, sehari dua hari momen itu merenggut rasa. memang, aku sempat "kebergantungan" sekian lama. aku menganggap dirimu berkhianat. menunggumu untuk kisah yang lebih indah dan rasa yang lebih lezat? gosh. kau mempermainkanku?

apalagi kau, nona prasangka. kau begitu melumatku hingga habis. kau bumbuhi semua rasa dengan prediksi dan asumsi yang... ah, bahkan aku malu mengenangnya kembali. betapa kucritnya aku mempercayai leluconmu? kau mungkin tengah tertawat-tawa saat aku menelan semua prasangka. tapi kemudian, kutepis kau. kau masih memelukku. kuhabisi kau. kau masih bertahan di ujung kuku. kubunuh kau. hingga akhirnya kau benar-benar tak berbekas.

lalu, kuteruskan hari seperti apa adanya aku. yang jatuh, yang bangun. memuji, menjauhi. kalian mungkin mengintipku sekali dua kali. kalian lalu tak bisa pergi. kalian masih menyentilku, mencoba mencubitku, menarikku. bukan lagi lewat rasa merah jambu, tapi hal-hal lain yang lebih kompleks. aku menghormati caramu. dengan tidak mengusik rasa merah jambu, aku merasa lebih baik dibanding aku yang dulu. kuakui, kalian memberi arti.

tapi kemudian, baru sebentar ini. kalian kembali datang. mendekatiku dengan berbagai jurus. aku masih acuh. sampai akhirnya... hei, hidupku tanpa kalian sebenarnya akan sangat.... datar! aku kembali kau ombang-ambingkan dalam rasa merah jambu. tapi maaf, aku sudah lebih... yeah, konyol-less mungkin? mengingat bahwa dalam suka-menyukai kau tak mungkin bebas dari "bertingkah konyol", kan. setidaknya, aku sudah tidak lagi mengumbar elegi itu sembarangan. senyata apapun itu sekarang, bahkan nanti, aku tidak mau lagi memperlakukan diri bagai orang bodoh. uh!

ospek yang kalian lakukan padaku untuk 3 tahun terakhir, sambil mengintip diam-diam itu, agaknya berhasil. aku lebih bisa mendamaikan diri dengan kalian. bukannya memusuhi, seperti ketika aku bersama lagu yang disapu bayu itu dulu.

jadi, kini aku menerima kalian di bahteraku. bawalah aku ke lagu-lagu baru itu, yang berbeda dengan the last one yang disapu bayu itu. bawa aku ke lagu-lagu yang rasa merah jambunya akan lebih lezat itu.

kalian temanku, oke, boleh lah. kini aku akan menerima perlakuan kalian.

karena bagiku, bagaimanapun perlakuan kalian, mencubit, mencolek, merangkul, memeluk, menarik, mendekap, menampar, hingga mencambukku, aku menyukainya.

aku menyukainya.


Komentar

Postingan Populer