Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (3)

Raw, ada banyak momen dalam hidup Uma ketika Uma merasa tidak berharga, meski Uma telah melakukan yang terbaik, meski Uma dipuji, bahkan meski Uma memiliki orang-orang baik di sekitar Uma. Rasa kesepian yang konstan, tuntutan yang tak terlihat namun tetaplah ada--mengintip di balik wajah setiap orang-orang tua, itu melelahkan. Ketika ia menggunung, rasanya Uma hanya ingin mengakhiri segalanya. Rawi, semoga Allah terus mengizinkan Uma dan Baba mendampingimu hingga kelak kamu berdiri di atas kakimu sendiri, mampu mencukupi dirimu sendiri.  By the way, kamu kini sudah dua tahun lebih tiga bulan. Mulai pusing Uma ketika kamu kembali GTM, kayaknya sih karena tumbuh gigi. Mulai pusing juga karena Rawi seperti terlambat bicara. Apakah karena Rawi menonton YouTube? Ah, itu dia, dilema nomor satu Uma. Karena kamu menolak anteng saat makan, ataupun anteng hanya sepuluh menitan, maka Uma terpaksa memberimu screen time , alias mengajakmu menonton video agar kamu betah makan sampai habis. Sungg...

tuan waktu dan nona prasangka 5

Jangan mengambil keputusan saat emosi, kata mereka?

Ah, tidak juga. Ini bukan keputusan penting. Bukan soal hidup mati. Hanya tentang rasa. Bias semuanya.

Toh semua sama saja. Bualan yang kamu renda.

"Jangan percaya pada kata-kata manis, lindungi hatimu." Memangnya itu bukan omong kosong? For God's sake, it's truly omong kosong.

Karena, percayalah padaku, otakmu macet saat si merah jambu itu hinggap. Barang setitik. Catat kata-kataku. Semua kesan, baik buruk, masuk telinga kiri keluar telinga kanan, atau sebaliknya, sama saja. Kamu akan lebih asyik masyuk dengan kisah khayalan yang kau rangkai, gabungan asumsi-asumsi dari hati. Yang tidak benar. Salah!

Aku hanya bosan jadi orang baik. Aku sudah jengah.

Mari kembali ke permainan kemarin, tuan dan nona. Permainan yang sepi dari hingar bingar si merah jambu, tapi menyenangkan. Semuanya hanya tentang aku dan hidupku.

Merah jambu boleh ikutan. Tapi harus jadi full-time-player. Ia tak boleh meragu, tak boleh takut, harus sama-sama mencoba, sama-sama belajar, sama-sama merasakan, sama-sama.... memperjuangkan.

Kurasa aku sudah kembali serius. Hap!

Kurasa jelas, bodoh adalah memperjuangkan apa yang tidak jelas sama-sama mau diperjuangkan atau tidak.

Aku bukan pura-pura matang. Bukan pura-pura siap dan serius.

Tapi aku hanya kapok bermain. Meremehkan arti bait-bait cinta yang dulu pernah kuuntai demi satu orang semata, dan orang itu melenggang menjauh, bersama bait-bait yang 8 bulan jadi senandungku.

Aku tidak mau lagi meremehkan arti sentuhan. Atau rangkulan. Atau obrolan tentang hidup.

Tidak ada lagi pesimis. Tidak boleh juga optimis. Tapi..


Realistis.

Kataku, kalaupun aku mati dalam hingar bingar duniaku sendiri, itu bukan masalah. Sudah sulit sekali bagiku untuk percaya pada kalimat penyemangat "akan indah pada waktunya".

Hellow! Aku sudah mengalami yang super indah, sekaligus super omong kosong. Kami punya semuanya, lho. Chemistry, kesamaan, perbedaan, dan sentuhan-sentuhan. Mimpi, doa, kata-kata manis. Tapi toh tetap lenyap, kan?

Ah iya. Aku yang naif. Aku yang naif. Aku yang naif. Dan akan begitu hingga ada si tak naif yang berani datang mengusir kenaifanku.

Kapan?

Someday.

Seperti kalimat penyemangat yang kalian dendangkan itu.

Someday.

Ha ha ha.

Komentar

Postingan Populer