Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Media, Pedang Bermata Dua

Praktek diskriminasi terhadap minoritas, agama terutama, merupakan warna yang tak mudah dihapuskan di Indonesia, sekalipun negeri ini berdiri dengan semangat kebebasan dalam beragama. The Wahid Institute dan SETARA Institute menemukan bahwa pada 2008, terjadi 107 insiden pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Dilihat dari segi pelanggaran, insiden pelanggaran terbesar terkait dengan masalah paham keagamaan (72 insiden, 67%), yang sangat dominan dibanding dua isu lainnya, yakni tempat ibadah (15 insiden, 14%) dan aktivitas kegamaan (12 insiden, 11%). (Munawar-Rachman, 2010: xvi).

The Fund For Peace merilis kembali Indeks Negara Gagal 2012 pada Juni 2012 lalu, dan menempatkan Indonesia pada posisi rentan kegagalan (Fanani, 2012:4). The Fund For Peace menggunakan lebih dari 100 subindikator, antara lain isu-isu seperti legitimasi negara, tekanan kelompok masyarakat, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam penjelasan indeks ini, penegakan HAM di Indonesia masih lemah dan cenderung memburuk lima tahun terakhir. Salah satu indikatornya adalah tekanan kelompok mayoritas terhadap minoritas sehingga menciptakan kekerasan. Proses penyelesaian hukum dan HAM terhadap berbagai kasus kekerasan yang menimpa kelompok minoritas keagamaan di negeri ini juga menyisakan rapor merah.

Media massa, mau tak mau, harus turut bertanggung jawab atas kegagalan-kegagalan di atas karena media massa dewasa ini bukan sembarang penyuguh informasi. Edmund Burke sepertinya tak salah sebut bahwa media massa merupakan Pilar Keempat Demokrasi, setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif (Rais, 2008:115). Karena, media massa kini memegang peranan luar biasa dalam memilih dan mengembangkan isu ke tengah masyarakat, menguatkan bentuk suatu opini publik, hingga mampu memunculkan aksi dari masyarakat terhadap suatu isu, entah berupa sikap pro atau kontra. Dari keempat pilar kekuasaan tersebut, media massa-lah yang sejauh ini mampu mengontrol stabilitas Indonesia sebagai bangsa. Kekuatannya telah terbukti mampu menggerakkan masyarakat dengan begitu kompak. Maka tak salah, jika media harus sadar betapa besar peran mereka, betapa tinggi kuasanya, dan betapa mereka mampu jadi penyelesai konflik.

Sayangnya media massa tak lagi semata-mata mengabdi. Kebanyakan mereka sudah dibumbui kepentingan politisi maupun pribadi. Apalagi untuk isu-isu seksi seperti SARA. Idealisme untuk mengabdi pada kebenaran seolah luluh begitu bertemu dengan sisi lain: wartawan harus membuat berita yang ‘menarik’. Isu agama bisa dikatakan santapan mantap bagi media untuk dikemas sedramatis mungkin lalu disajikan kepada pembaca. Sayangnya, isu konflik biasanya dibingkai dengan menonjolkan sisi sensasional dan dramatis, serta hanya sepotong-sepotong. Bak pedang bermata dua, media bisa menjadi sarana utama penyebaran perdamaian antarumat dan ras, bisa juga mengedepankan satu aspek dibanding aspek lain; malah menciptakan ketimpangan dan memperkeruh masalah.

Perhatian media massa terhadap isu-isu keagamaan tertentu sebenarnya sangat besar. Namun liputan tersebut umumnya masih mewakili kecenderungan berikut ini. Pertama, masih fokus pada peristiwa khususnya kegiatan ritual dan perayaan keagamaan, institusi keagamaan, dan lebih-lebih peristiwa dengan kekerasan. Padahal banyak fenomena keagamaan lain: kebijakan terkait keagamaan, ekspresi keagamaan di luar ritual seperti di film, mode, dan sebagainya. Kedua, liputan agama biasanya sangat sensasional dan dramatis. Misalnya, sangat terlihat pada pemberitaan televisi soal terorisme. Ketiga, media masih memberi label terhadap kelompok agama atau aliran tertentu, misalnya ‘sesat’, ‘gerakan sempalan’. Keempat, media juga kurang memberi tempat pada kelompok minoritas (Suranto, 2010:xii).


Mari ambil contoh pemberitaan mengenai relokasi Syiah Sampang pada Juni 2013 lalu. Peristiwa ini di-frame dengan berbeda pada Koran Tempo dan Harian Republika. Koran Tempo memposisikan peristiwa itu sebagai pengusiran, sementara Republika memandangnya sebagai pemindahan penganut Syiah dari Sampang ke Jemundo. Pada 21 Juni 2013, kedua media pun sama-sama memuat fakta bahwa “penganut Syiah sendiri yang meminta dipindahkan”. Bedanya, Republika mengisahkan fakta ini pada awal tubuh berita, dengan memuat kutipan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf yang mengatakan bahwa ada surat permintaan pemindahan bermaterai yang sah sebagai bukti relokasi itu keinginan penganut Syiah dan bukan pengusiran. Sementara, Koran Tempo menulis mengenai hal itu namun lebih singkat dan diletakkan di paragraf kedua sebelum terakhir. Artinya, dalam skema penulisan saja, keduanya membawa fakta ini dalam bingkai berbeda.

Pada berita-berita berikutnya, penulis melihat diksi mereka sungguh berbeda. Salah satunya, Koran Tempo menggunakan “Warga Syiah Sampang Masih Terlunta-lunta” sebagai judul, sementara Republika menulis “Pengungsi Syiah Ditampung di Tempat Layak”. Dalam kutipan dan pernyataan yang pada periode 1 minggu pemberitaan pun, Koran Tempo lebih banyak memuat kutipan penganut Syiah Sampang, salah satunya Iklil al-Milal, sementara Republika banyak mengutip pernyataan pihak pemerintah. Bagaimana bisa berbeda? Perspektif jurnalis atas suatu berita pasti berbeda. Namun tak pelak, judul, headline hingga isi berita yang diusung Koran Tempo dan Republika memberikan efek emosional bagi pembaca. Efek tersebut harusnya kini menjadi pertimbangan karena dapat menimbulkan persepsi hingga aksi pada massa yang bisa jadi menggerogoti stabilitas negara.

Belum banyak yang meyakini bahwa dosa awal media dalam pemberitaan keberagaman dimulai ketika ia menyebutkan pilihan kata tertentu, seperti ‘konflik’. Menurut Endy M. Bayuni, eks Editor Senior The Jakarta Post yang juga aktivis SEJUK (Serikat Jurnalis Keberagaman) yang pernah dihubungi penulis via e-mail, penggunaan pilihan kata seperti ‘aliran sesat’ dan ‘bertaubat’ yang juga digunakan oleh media akan menghakimi satu ajaran agama/aliran dan membenarkan ajaran agama yang lain. Sebagai media umum, tidak tepat media menentukan mana ajaran yang benar dan mana yang sesat.

Kesulitan utama media yang terbit di wilayah konflik adalah menempatkan diri. Posisi ideal media adalah sebagai penyelesai konflik. Cukup saja bersikap netral dalam menulis berita. Posisikan diri sebagai penoreh kebenaran, namun jugaperhatikan detil yang ditulis agar tak menimbulkan ketimpangan dan menjurus pada keberpihakan. Setiap media memang memiliki latar belakang berbeda yang pasti berpengaruh. Kedua media tadi, Koran Tempo dan Republika, misalnya. Yang satu kerap dianggap penyuara HAM, yang satu adalah media bernafas Islam yang tentu punya frame sendiri. Namun ketika menyajikan berita pada masyarakat, harusnya media tetap berimbang. Apalagi, apalagi, jika bicara soal isu SARA.

Adakah panduan menulis berita terkait isu SARA tersebut? Annabel McGoldrick dan Jake Lynch sebenarnya telah membagi beberapa poin. Antara lain, pertama, hindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselisihan. Lebih baik menunjukkan bagaimana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Kedua, hindari penggunaan kata-kata yang emosional yang tidak tepat menggambarkan apa yang telah terjadi kepada sekelompok orang. Misalnya kata; ‘genocide/genosida’, ‘tragedi’, ‘pembantaian’. Lebih baik kita selalu mengetahui secara persis situasi yang kita hadapi. Jangan mengecilkan arti penderitaan tapi gunakan bahasa yang kuat untuk situasi serius itu.


Ketiga, hindari pula penggunaan label seperti ‘teroris’, ‘fanatik’, ‘ekstrimis’, ‘fundamentalis’. Tak pernah ada orang yang menggunakan kata-kata tersebut untuk mendeskripsikan diri mereka, maka jika jurnalis menggunakannya berarti jurnalis sudah berpihak dan tidak lagi di posisi seharusnya.

Keempat, hindari pemusatan perhatian hanya pada pelanggaran hak asasi manusia. Dengan ini, jurnalis tidak akan memihak dan membantu mengumpulkan berbagai bukti yang ada guna menuju perdamaian

Media diharapkan mengetahui benar panduan ini, sehingga tidak lagi boleh semena-mena memberitakan isu SARA. Media bisa kok memberi solusi bagi Syiah Sampang misalnya, dengan mulai mengarahkan masyarakat untuk mencari penyelesaian, bukan berkutat pada pertikaian karena itu tak kan usai. Pemberian informasi terkini dan faktual tentu penting, misalnya kebutuhan Syiah Sampang di pengungsian, berita terbaru soal kehidupan mereka di pengungsian, dan sebagainya. Namun, yang lebih krusial dari itu, "pembentukan opini" di masyarakat sehingga mampu membawa mereka menjadi warga negara yang optimis menjunjung perdamaian, tak lagi dikotakkan isu agama bentukan oknum. Pasti bisa!


Daftar pustaka:
Munawar-Rachman, Budhy (Ed.). 2010. Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Buku 2). Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Paramadina.
Rais, M. Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PT Mizan Publika.
Suranto, Hanif, dan P. Bambang Wisudo (Ed.). 2010. Wajah Agama di Media: Kumpulan Karya Jurnalistik Peserta Fellowship Peliputan Agama Berperspektif Pluralisme. Jakarta: LSPP.
McGoldrick, Annabel, dan Jake Lynch, 2002. Peace Journalisme: How to Do It? Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya? Alih bahasa: Ignatius Haryanto. Jakarta: LSPP dan The British.
Zein, Mohamad Fadhilah. 2013. Kedzaliman Media Massa terhadap Umat Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

*Esai ini memenangkan lomba menulis esai bertema "Keberagaman dalam Perspektif Media" oleh LPM Institut UIN Jakarta Desember 2013 lalu.

Komentar

Postingan Populer