Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

#HowIMeetMyClient : Deg-degan Tapi Seneng

Deg-degan tapi seneng. Itulah yang gue rasakan saat pertama kali bertemu dengan klien, which is penulis.  Ketemunya pun tanpa dikasih tahu dulu sama siapa-siapa. Manajer maupun GM maupuuuun Bapak Sales pada diem-diem aja, gitu. Intinya, gue bener-bener mendatangi meeting ini tanpa persiapan. No idea.

Ceritanya, waktu itu karyawan-karyawan kantor, khususnya Redaksi dan Pracetak diajak ke Islamic Book Fair 2015 untuk melihat langsung pameran buku kami di sana sekaligus memantau tren buku terbaru. *tsah*

Sesampainya di Senayan, gue sempet denger kabar sih kalau GM mau ketemuan sama penulis di sana. Tapi karena gue nggak dikasih tahu bahwa gue bakal diajak meeting, jadi ya gue santai... hehehe. Gue pun berkeliling dengan Nadia, bahkan kami menjajal sesuatu seperti "planetarium". Nonton film pendek tentang antariksa, dengan teknologi keren. Kami nontonnya sambil tiduran.

Keluar dari "planetarium", gue dan Nadia jalan-jalan ke area acara anak. Lagi ada lomba ngaji di sana. Then, Bapak Sales menghampiri gue. "Nas, kamu dipanggil Pak Husni. Diajak ketemu penulis."

Waduh. I am no where ready to meet my client. Belum pernah sebelumnya, dan sekarang mendadak aja, gitu? Tanpa Manajer Redaksi alias atasan langsung gue, pula. Meeting itu harus gimana, harus ngomong apa, aduh aduh aduuuuh! Kan gue belum tahu. Tapi baiklah, mari tuntaskan!

Panik lah awalnya. Naskah buku ****** bahkan baru gue baca sekilas karena gue masih berkutat dengan dua naskah lain yang siap cetak. Jadi, kepriben iki?

Lalu gue pikir, nggak mungkin lah Bapak GM dan Sales nggak menolong gue. Mereka pasti bakal lebih menahkodai meeting. Jadi gue akan sebaik-baiknya beradaptasi di meeting itu.

Ada rasa lucu gitu kalau mau ketemu penulis. 1) gue akan ketemu penulis buku. Penulis buku! Siapa pun mereka, mereka adalah penulis buku dan karena mereka penulis buku yang bakal gue edit, maka mereka bukan sembarang orang! Gue akan cari tahu banyak hal soal buku mereka, apalagi kalau gue udah baca bukunya. Diskusi bakal makin seru.

2) Gue akan ketemu orang baru, mengepoi orang baru. Betapa rindunya gue kepoin orang. Terakhir kepoin orang waktu jadi reporter, editor, dan redaktur pelaksana di Ultimagz. Aw aw!

Sampailah gue dan Bapak Sales di kafe Istora Senayan. Yang pertama gue lakukan? Dengan gemetar *serius ini gemetar* gue duduk di kanan Pak GM dan kiri penulis. Kami berhadapan. Pak Sales duduk di bangku seberang gue. 

First impression?

"Oh, ini toh penulisnya."

Tegap, terus-terusan tersenyum. Mungkin sama kayak gue; doi juga grogi. Jadi tersenyum mulu, deh. Seorang mas-mas, mungkin kepala 3. Tapi nggak nanya juga, sih.

"Mau minum apa, Nas?" tanya Pak GM. 
Gue, masih gelagepan, hanya jawab, "Apa aja, Pak."
"Cappuccino?"
"Oh iya, boleh."
"Dingin apa panas?"
"Panas aja."

Setelah Mas Penulis dan Pak Sales juga memesan minum, kami kembali ke obrolan soal naskah sang penulis. Gue diperkenalkan oleh Pak GM sebagai editor buku Mas Penulis itu.

"Ini Inas, yang nanti ngedit buku Mas *****."
"Halo, Mas," gue mengeluarkan senyum termanis dan menyalami tangan Mas Penulis.
"Halo, Mbak."

Pak GM lalu membuka ponselnya yang kebetulan punya aplikasi handwriting... apa sih namanya? Semacam Galaxy Note, ya? Atau memang Galaxy Note? Maaf saya tak kuasa.

Gue bingung melihat beliau, dan gue, karena nggak ada persiapan, alhasil cuma buka aplikasi Note di ponsel. Nggak bawa memo, memang. Hanya..... dompet dan parfum. Bener-bener minus, kan? Ampuni aku...

Lalu Pak GM bilang, "Kira-kira kapan Mas pengen bukunya terbit?"
"Emmm..."
"Ada tanggal istimewa, nggak? Misalnya pengen pas di hari ulang tahun? Atau momen apa?"
"Ramadhan aja kali ya, Pak?"
"Oke boleh, Ramadhan sudah didistribusikan, ya..."

Selanjutnya Pak GM membuat timeline di Galaxy Note-nya. Digambarnya kotak-kotak. Deretan kotak pertama adalah kotak yang lebih panjang dibanding kotak-kotak di bawahnya. Kotak-kotak panjang itu ditulisi "Maret", "April, "Mei", dan "Juni". 

Sambil menerangkan, Pak GM terus mencoret-coret ponselnya.

"Jadi gini, Mas. Maret kita mulai edit, lalu bulan ini sudah bisa masuk Pracetak, lalu naik cetak pada bulan ini, dan akhir bulan ini sudah bisa masuk toko buku."

Mas Penulis mengangguk-angguk. Gue juga. Bedanya, Mas Penulis mengangguk setuju dengan timeline dan waktu cetak yang ditentukan Pak GM, sementara gue mengangguk paham, memastikan bahwa langkah pertama saat meeting adalah membuat timeline. Sehingga, penulis juga tahu bagaimana proses dan waktu yang dibutuhkan untuk mencetak bukunya.

Diskusi selanjutnya adalah soal cover buku. Mas Penulis sudah usulkan sebuah desain cover. Itulah masterpiece yang menurutnya cocok dengan buku ******. Tapi Pak Sales menggeleng.

"Kalau cover-nya ini, akan kurang nonjol, Mas, di rak toko buku. Ini terlalu.. gelap. Nanti akan diusulkan lagi cover-nya ke setter."
"Mungkin kita bisa bikin gradasi warna blablablabla...," sambung Pak GM.
"Oh begitu, kalau bisa gambarnya nanti blablablabla," Mas Penulis nimbrung.

Gue? Menyimak. Sambil mencatat dalam hati. Hal berikutnya adalah soal cover. Perlu didiskusikan agar penulis puas. Kalau penulis sudah punya desain cover sendiri tentu itu lebih memudahkan, hehehe. 

Bab berikutnya, kami bicara soal konten. Sebetulnya urutan topik ini bisa berubah-ubah. Bisa ngobrolin kelengkapan konten dulu, cover dulu, sampai kemasannya, desainnya, baru bikin timeline. Tergantung.

"Mbak Inas sudah baca ceritanya?" tanya Mas Penulis.
"Sudah, Mas," jawab gue mantap, padahal... maafkan aku, Mas. Baru setitik kunikmati naskahmu.
"Apa yang membuat naskah ini diterima?" Mas Penulis kali ini bertanya lebih jeru.
Gue gelagepan sesaat. "Hmm, ceritanya beda, Mas. Dan detail. Sehingga rasanya bisa sambil dibayangkan adegan per adegan saat membaca buku itu." 

Itu gue nggak bohong, ya. Gue kan emang udah baca. Tapi nggak banyak. Dan dari bacaan singkat itu gue tahu naskah ini "beda".

"Manajernya dia nggak sembarang nerima naskah, Mas," celetuk Pak Sales. "Biasanya susah banget dia nerima naskah."

Mas Penulis pasti tersanjung.

Tapi itu bener, kok. Manajer Redaksi di kantor gue nggak gampang nerima naskah. Selera beliau, harus gue akui; tinggi. Pernah gue ngasih tiga naskah ke dia, dua diantaranya gue pribadi suka. Unik dan menarik. Beliau tolak semuanya. 

Mas Penulis harus tersanjung.

Meeting berlanjut pada obrol santai soal kehidupan sehari-hari Mas Penulis. Doi ternyata sineas juga, lagi aktif jadi penulis lepas dan sutradara/produser di beberapa proyek. DAN doi mantan wartawan media nasional. Ih wow, kan?

Selepas itu, kami pun berpisah. Timeline sudah di tangan. Sekarang aksi gue yang ditunggu-tunggu; ngedit naskah ******. 

Kesimpulan dari meeting pertama ini...  tidak semenyeramkan yang gue bayangin. Setidaknya ada poin-poin penting yang perlu gue diskusikan dengan penulis saat meeting, yaitu konten, cover, ukuran buku, desain, timeline, dan printilan lain semisal pembatas buku atau testimoni untuk buku.

FIRST MEETING: SUCCESS! *ya eyalaaaah orang dibantu GM!*

Lalu.. soal tren buku terbaru di IBF? Hahaha. Agak merinding waktu masuk area Gagas Media. Soalnya, you know kan, mereka sedang asyik-asyiknya menggarap cerita-cerita horor. Tapi gue suka, sih. *plak* Gue beli salah satunya, malah. Sebuah buku bercerita horor yang sumbernya dari acara di stasiun radio. Tapi... sampai sekarang belum berani gue baca. Sebelum itu, terakhir beli buku Gagas Media kalau nggak salah.... yang Promises Promises. Buku yang cukup membuat gue mendadak enggan move on, tapi agak risih sama adegan seksnya, hehehe. Mungkin karena saya anaknya polos...

*plakplakplakplak*

Mizan masih heboh dengan Trinity-Trinity-nya. Ah iya, juga Dee-Dee-annya. Gue beli satu Partikel, anyway. Suka sih, sama desain baru Trinity. Terus main juga ke penerbit lain. Setelah perjalanan di IBF kemarin, gue simpulkan bahwa buku yang difilmkan lalu diterbitkan ulang dengan cover sesuai poster film itu agak mengesalkan :')


THANKS ALLAH IT'S YOU! 

Komentar

Postingan Populer