Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

i love my job, anyway!

Oh my God! I have to say; being an editor is so exciting, eventhough it’s super exhausted, hahaha. I mean, I have to read over and over again the same manuscript. Naskah semenarik apa pun kalau dibaca berulang kali dalam rentang waktu yang sama juga bisa melelahkan, tauk. Apalagi kalau secara subjektif lo nggak suka itu tulisan, wk wk.

Tapi tetep aja ada yang bisa disyukuri dari segala hal yang terjadi.

Setidaknya gue tahu lebih dulu apa yang bakal beredar di toko buku, lol. Enggak itu juga, sih. Well, being an editor membuat gue nggak hanya harus lancar ejaan, tapi juga peka sama hal-hal baru nan unik yang bisa dibukukan dan menjadi informasi baru lagi menarik bagi pembaca. 

Itu dia! Lo kudu tahu pekerjaan editor bukan sekedar edit ejaan!! Itu juga anak SMP yang Bahasa Indonesia-nya dapat nilai 9 bisa kerjain. Uhuhu. Gue pernah ditegur seorang teman, “Berarti kerjaan lo edit sesuai EYD gitu aja, ya? Gampang, dong!”

Nih ya, gue kasih tahu ((( berasa editor papan atas ))) ((( padahal masih anak bawang )))

Menjadi editor berarti lo harus bisa:

Aktif menjaring naskah. Tuh, editor juga kudu aktif jemput bola. Mirip wartawan, lah. Jemput berita. Gue juga harus aktif masuk ke lini-lini komunitas menulis dan menawarkan jasa untuk mengedit dan menerbitkan karya mereka. Nggak sekali dua kali, tapi terus aktif ngasih tahu. Tidak hanya ke komunitas, tapi juga secara personal meminta orang menulis. Hal ini diajarkan oleh GM gue. Beliau beberapa kali minta gue minta outline untuk diajukan ke penulis.

Menjalin komunikasi yang baik dengan penulis. Masih mirip wartawan. Bedanya mereka “dengan nara sumber”. Lo kudu siap menghadapi mereka yang “gimana kabar naskah saya, Mbak” sedangkan di saat yang sama lo lagi fokus-fokusnya sama naskah lain dan masih kepikiran sejumlah naskah lain yang kudu di-review atau edit. Komunikasi yang gue jalin dengan penulis bisa lewat banyak lini: Facebook atau Whatsapp. Ada juga tentunya yang ketemuan alias meeting. Akan gue ceritakan edisi meeting ini di lain post, ya!

Review naskah. Semua bagian dari naskah. Konten, ya cover, ya kemasan. Kalau gue pribadi, nggak bisa gue meninjau naskah dengan cepat. Speed-reading gue belum terlatih dengan baik. Tapi positifnya, gue jadi tahu ada bagian-bagian yang bisa dikembangkan dari naskah itu. Ada yang harus dihilangkan. Setidaknya review gue nantinya akan detail. Ini membuat gue tidak bisa serta merta memberikan hasil review. Kalau lo kasih naskah ke gue sementara gue masih fokus naskah lain, butuh waktu dua minggu meninjau naskah lo. Kalau pun bisa cepat, ya itu pas lagi bisa diselipin aja. Atau pas gue nggak lupa bawa naskahnya ke kosan sehingga bisa gue baca di luar jam kerja. Hehehe. *peace*

Riset. Ini juga sama kayak kerja wartawan. Ceritanya gue lagi nyamain banget kerjaan gue sama wartawan jadi nggak jauh-jauh banget lah dunia gue sama masa lalu *tsah* Riset ini harus dilakukan untuk semua naskah. Terutama terkait naskah sejarah gitu, misalnya buku tentang istri-istri Soekarno yang akan terbit sebentar lagi. Segera beli, ya! *iklan lewat*

Kita harus pastiin benarkah keterangan-keterangan yang ditulis penulisnya, lalu terkait sumber-sumbernya. Riset akan lebih mudah jika penulisnya sudah punya track record. Istri-istri Soekarno itu ditulis oleh editor in chief Mizan sebelum ini, sehingga tingkat kepercayaan gue kepada beliau tentu lebih tinggi dibanding jika ditulis oleh orang lain yang tidak demikian track record-nya. TAPI sejujurnya gue juga pernah mengalami hal lain yang lucu, yaitu gue meninjauh naskah dari seorang penulis dengan segudang pengalaman, bahkan beliau menyatakan bahwa dirinya seorang wartawan dari media kece, tapi tulisannya... subhanallah. Padahal keren kontennya, tapi karena tidak disajikan dengan baik, jadinya... hehehe *peace*

Teliti. Te-li-ti! Sosok teledor macam gue kudu belajar banget untuk jadi teliti. And I’m lucky for having a boss like him. Beliau dengan sabar ngingetin gue. Setelah satu buku terbit, gue pun membuat alur terbitnya naskah sehingga gue nggak lupa saat menjalani proses edit hingga cetak naskah berikutnya. Hehehe.

Paham Ejaan Yang Disempurnakan. Ini mah fardhu ‘ain hukumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku EYD pun menjadi teman setia :’)

Mengajukan naskah untuk dicetak. It is the job. And it’s like a wheel. It never gonna stop. Terus bergulir. Gue merasakannya and it was amazing! Heuheu.

Di luar keseruan-keseruan itu, ada fakta-fakta tak terbantahkan lainnya yang “di situ saya merasa wedew”. Misalnya, karya perdana gue baru keluar setelah bulan keenam kerja, cuy. Itu tuh, rasanya, kayak, apa, ya. Hahaha. Dan bukan gue pula editornya. Gue yang edit, tapi karena ada editor yang memang membawahi buku religi, nama beliau yang ditulis. And it’s not the first project of mine. Naskah novel yang pertama banget gue review malah baru akan dicetak tahun depan. Naskah yang pertama banget gue review malah belum diputuskan cetak. Lol.

Mengapa selama itu baru keluar hasil edit gue? Apakah mengedit selama itu?

Nope. Ngedit tuh cepet, cuy. Tapi proses cetak itu juga melibatkan proses lain, mulai dari dealing soal cover, nunggu ISBN, atau bahkan proses layouting-nya yang bisa aja lama, terutama kalau lo punya ide-ide kemasan yang memang memakan waktu.

Saat pertama  kali masuk pun gue nggak langsung disodorin naskah siap cetak. Gue disuruh review daftar buku terbit dari penerbit luar negeri dulu. Ada lebih dari 10 penerbit. All english. Tahu sendiri bahasa Inggris gue masih terbatas. Dan satu penerbit bisa kasih lebih dari 20 buku. Gue harus memilih mana buku yang kira-kira bagus untuk dicetak di Indonesia; laku dan cocok dengan selera massa. Itu lumayan lama, mungkin sebulanan. 

Setelah itu, gue baru diminta review naskah-naskah. Tapi naskah-naskah yang gue review saat itu kebanyakan ditarik lagi sama penulisnya karena mau mereka edit lagi. *hiks*

Nggak lama, baru deh gue megang naskah. Itu setelah sekian lama mulai kerja. Then gue ngeh, oh ternyata tidak serta merta gue dikasih tanggung jawab full megang naskah. Gue harus belajar dari awal. Belajar review dulu, belajar ngusulin kemasan dulu, belajar ini itu dulu. Baru belajar ngedit. 

Ngedit pertama gue masih ngedit doang, belum diikutkan berkomunikasi dengan penulis. Masih Redaktur yang berkomunikasi dengan mereka. Buku berikutnya barulah gue pede, berinisiatif untuk komunikasi langsung sama penulis tanpa perantara Redaktur. Tahap berikutnya, gue pede untuk minta penulis tertentu ngirim naskah ke penerbit tempat gue kerja.

Menyenangkan!

I love it.

Fakta lainnya? Gue nggak bisa nulis! Nggak ada waktu lega untuk nulis! Proyek terbengkalai huhuhu. Ide berseliweran. Janji bikin proyek buku bareng pun menjamur. Tapi... ide tak terpelihara dengan baik. Beberapa ide sudah gue tuang banyak. Yang lain cuma gue tulis intinya. Lainnya lagi hanya gue tulis di note ponsel berupa poin-poin. Lainnya lagi? Hanya di dalam ingatan.

Sedih, tauk.

Ya ini pelampiasan gue, nulis di blog, yang notabene hanya butuh sekian menit untuk menumpahkan kata-kata. Giliran mood nulis ada, waktunya ada, gue malah mood nulis beginian, bukannya ngerampungin naskah, wk wk. Maafkan aku, dear.

Waktu untuk baca buku juga terpangkas. Ada Partikel, Islam di Mata Orang Jepang, Al-Qur’an Kitab Toleransi, sampai komik Paman Gober juga belum tersentuh. Pulang kantor maunya nonton sesuatu, bukannya baca dan mikir. Menikmati para oppa. Agak wedew, kan.

Fakta lainnya.... jadi gampang sakit mata, lol. Gue pun mulai mengonsumsi Matovit, vitamin mata.

Fakta di atas segala fakta adalah; gue baru sadar bahwa Ayah dulunya karyawan toko buku. Beliau bekerja di Toko Buku Toha Putra di Johar. Letaknya persis di samping Masjid Kauman. Lalu sekarang, anaknya juga bekerja bersama buku. Bedanya; jadi editor. Kesukaan Ayah pada buku akhirnya berpengaruh besar pada diri gue. Padahal dulu tiap disuruh baca buku pasti banyak alasan. Hihihi. Ayah memang sesuatu banget, deh. Mamah apalagi. LOVE!


Sejauh ini... yes, I love being editor. Capek, sih. Nggak sedikit pula yang harus dikerjakan. Tapi menyenangkan. Kalau suka sama pekerjaan emang pasti menyenangkan, sih, mau semelelahkan apa pun itu. Yay!

Komentar

Postingan Populer