Oh my God! I have to say; being an editor is
so exciting, eventhough it’s super exhausted, hahaha. I mean, I have to read
over and over again the same manuscript. Naskah semenarik apa pun kalau dibaca
berulang kali dalam rentang waktu yang sama juga bisa melelahkan, tauk. Apalagi
kalau secara subjektif lo nggak suka itu tulisan, wk wk.
Tapi tetep aja ada yang bisa disyukuri dari
segala hal yang terjadi.
Setidaknya gue tahu lebih dulu apa yang bakal
beredar di toko buku, lol. Enggak itu juga, sih. Well, being an editor membuat gue nggak hanya harus lancar ejaan,
tapi juga peka sama hal-hal baru nan unik yang bisa dibukukan dan menjadi
informasi baru lagi menarik bagi pembaca.
Itu dia! Lo kudu tahu pekerjaan editor bukan
sekedar edit ejaan!! Itu juga anak SMP yang Bahasa Indonesia-nya dapat nilai 9
bisa kerjain. Uhuhu. Gue pernah ditegur seorang teman, “Berarti kerjaan lo edit
sesuai EYD gitu aja, ya? Gampang, dong!”
Nih ya, gue kasih tahu ((( berasa editor papan
atas ))) ((( padahal masih anak bawang )))
Menjadi editor berarti lo harus bisa:
Aktif
menjaring naskah. Tuh, editor juga kudu aktif jemput
bola. Mirip wartawan, lah. Jemput berita. Gue juga harus aktif masuk ke
lini-lini komunitas menulis dan menawarkan jasa untuk mengedit dan menerbitkan
karya mereka. Nggak sekali dua kali, tapi terus aktif ngasih tahu. Tidak hanya
ke komunitas, tapi juga secara personal meminta orang menulis. Hal ini
diajarkan oleh GM gue. Beliau beberapa kali minta gue minta outline untuk diajukan ke penulis.
Menjalin
komunikasi yang baik dengan penulis. Masih mirip
wartawan. Bedanya mereka “dengan nara sumber”. Lo kudu siap menghadapi mereka
yang “gimana kabar naskah saya, Mbak” sedangkan di saat yang sama lo lagi
fokus-fokusnya sama naskah lain dan masih kepikiran sejumlah naskah lain yang
kudu di-review atau edit. Komunikasi
yang gue jalin dengan penulis bisa lewat banyak lini: Facebook atau Whatsapp.
Ada juga tentunya yang ketemuan alias meeting.
Akan gue ceritakan edisi meeting ini
di lain post, ya!
Review naskah. Semua bagian dari naskah. Konten, ya cover, ya kemasan. Kalau gue pribadi, nggak bisa gue meninjau naskah
dengan cepat. Speed-reading gue belum
terlatih dengan baik. Tapi positifnya, gue jadi tahu ada bagian-bagian yang
bisa dikembangkan dari naskah itu. Ada yang harus dihilangkan. Setidaknya review gue nantinya akan detail. Ini
membuat gue tidak bisa serta merta memberikan hasil review. Kalau lo kasih naskah ke gue sementara gue masih fokus
naskah lain, butuh waktu dua minggu meninjau naskah lo. Kalau pun bisa cepat,
ya itu pas lagi bisa diselipin aja. Atau pas gue nggak lupa bawa naskahnya ke
kosan sehingga bisa gue baca di luar jam kerja. Hehehe. *peace*
Riset. Ini juga sama kayak kerja wartawan. Ceritanya gue lagi nyamain banget
kerjaan gue sama wartawan jadi nggak jauh-jauh banget lah dunia gue sama masa
lalu *tsah* Riset ini harus dilakukan untuk semua naskah. Terutama terkait
naskah sejarah gitu, misalnya buku tentang istri-istri Soekarno yang akan
terbit sebentar lagi. Segera beli, ya! *iklan lewat*
Kita harus pastiin benarkah
keterangan-keterangan yang ditulis penulisnya, lalu terkait sumber-sumbernya. Riset akan lebih mudah jika penulisnya sudah punya track record. Istri-istri Soekarno itu
ditulis oleh editor in chief Mizan
sebelum ini, sehingga tingkat kepercayaan gue kepada beliau tentu lebih tinggi
dibanding jika ditulis oleh orang lain yang tidak demikian track record-nya. TAPI sejujurnya gue juga pernah mengalami hal
lain yang lucu, yaitu gue meninjauh naskah dari seorang penulis dengan segudang pengalaman, bahkan beliau
menyatakan bahwa dirinya seorang wartawan dari media kece, tapi tulisannya... subhanallah.
Padahal keren kontennya, tapi karena tidak disajikan dengan baik, jadinya...
hehehe *peace*
Teliti. Te-li-ti! Sosok teledor macam gue kudu belajar banget untuk jadi
teliti. And I’m lucky for having a boss
like him. Beliau dengan sabar ngingetin gue. Setelah satu buku terbit, gue
pun membuat alur terbitnya naskah sehingga gue nggak lupa saat menjalani proses
edit hingga cetak naskah berikutnya. Hehehe.
Paham
Ejaan Yang Disempurnakan. Ini mah fardhu ‘ain hukumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku EYD pun
menjadi teman setia :’)
Mengajukan
naskah untuk dicetak. It is the job. And it’s like a wheel. It never gonna stop. Terus
bergulir. Gue merasakannya and it was
amazing! Heuheu.
Di luar keseruan-keseruan itu, ada fakta-fakta
tak terbantahkan lainnya yang “di situ saya merasa wedew”. Misalnya, karya perdana gue baru keluar setelah bulan
keenam kerja, cuy. Itu tuh, rasanya, kayak, apa, ya. Hahaha. Dan bukan gue
pula editornya. Gue yang edit, tapi karena ada editor yang memang membawahi
buku religi, nama beliau yang ditulis. And
it’s not the first project of mine. Naskah novel yang pertama banget gue review malah baru akan dicetak tahun
depan. Naskah yang pertama banget gue review
malah belum diputuskan cetak. Lol.
Mengapa selama itu baru keluar hasil edit gue?
Apakah mengedit selama itu?
Nope. Ngedit tuh cepet, cuy. Tapi proses cetak itu juga melibatkan proses
lain, mulai dari dealing soal cover, nunggu ISBN, atau bahkan proses layouting-nya yang bisa aja lama, terutama
kalau lo punya ide-ide kemasan yang memang memakan waktu.
Saat pertama
kali masuk pun gue nggak langsung disodorin naskah siap cetak. Gue
disuruh review daftar buku terbit
dari penerbit luar negeri dulu. Ada lebih dari 10 penerbit. All english. Tahu sendiri bahasa Inggris
gue masih terbatas. Dan satu penerbit bisa kasih lebih dari 20 buku. Gue harus
memilih mana buku yang kira-kira bagus untuk dicetak di Indonesia; laku dan
cocok dengan selera massa. Itu lumayan lama, mungkin sebulanan.
Setelah itu,
gue baru diminta review naskah-naskah.
Tapi naskah-naskah yang gue review saat
itu kebanyakan ditarik lagi sama penulisnya karena mau mereka edit lagi. *hiks*
Nggak lama, baru deh gue megang naskah. Itu
setelah sekian lama mulai kerja. Then gue
ngeh, oh ternyata tidak serta merta gue dikasih tanggung jawab full megang naskah. Gue harus belajar
dari awal. Belajar review dulu,
belajar ngusulin kemasan dulu, belajar ini itu dulu. Baru belajar ngedit.
Ngedit pertama gue masih ngedit doang, belum diikutkan berkomunikasi dengan
penulis. Masih Redaktur yang berkomunikasi dengan mereka. Buku berikutnya
barulah gue pede, berinisiatif untuk komunikasi langsung sama penulis tanpa
perantara Redaktur. Tahap berikutnya, gue pede untuk minta penulis tertentu
ngirim naskah ke penerbit tempat gue kerja.
Menyenangkan!
I love
it.
Fakta lainnya? Gue nggak bisa nulis! Nggak ada waktu lega untuk nulis! Proyek
terbengkalai huhuhu. Ide berseliweran. Janji bikin proyek buku bareng pun
menjamur. Tapi... ide tak terpelihara dengan baik. Beberapa ide sudah gue tuang
banyak. Yang lain cuma gue tulis intinya. Lainnya lagi hanya gue tulis di note ponsel berupa poin-poin. Lainnya
lagi? Hanya di dalam ingatan.
Sedih, tauk.
Ya ini pelampiasan gue, nulis di blog, yang
notabene hanya butuh sekian menit untuk menumpahkan kata-kata. Giliran mood nulis ada, waktunya ada, gue malah mood nulis beginian, bukannya
ngerampungin naskah, wk wk. Maafkan aku, dear.
Waktu
untuk baca buku juga terpangkas. Ada Partikel, Islam di Mata Orang Jepang,
Al-Qur’an Kitab Toleransi, sampai komik Paman Gober juga belum tersentuh.
Pulang kantor maunya nonton sesuatu, bukannya baca dan mikir. Menikmati para oppa. Agak wedew, kan.
Fakta lainnya.... jadi gampang sakit mata, lol. Gue pun mulai mengonsumsi Matovit,
vitamin mata.
Fakta di atas segala fakta adalah; gue baru
sadar bahwa Ayah dulunya karyawan toko buku. Beliau bekerja di Toko Buku Toha
Putra di Johar. Letaknya persis di samping Masjid Kauman. Lalu sekarang,
anaknya juga bekerja bersama buku. Bedanya; jadi editor. Kesukaan Ayah pada
buku akhirnya berpengaruh besar pada diri gue. Padahal dulu tiap disuruh baca
buku pasti banyak alasan. Hihihi. Ayah memang sesuatu banget, deh. Mamah
apalagi. LOVE!
Sejauh ini... yes, I love being editor. Capek, sih. Nggak sedikit pula yang
harus dikerjakan. Tapi menyenangkan. Kalau suka sama pekerjaan emang pasti
menyenangkan, sih, mau semelelahkan apa pun itu. Yay!
Komentar
Posting Komentar