Pertanyaan ayah Tita itu terlalu mendadak dan
menarik perhatian. Ia menyeruak di tengah rutinitas normal saya. Ia muncul
diantara himpitan penat. Ibarat noda darah di secarik kain kafan yang putih
bersih. (Kenapa harus kain kafan? Nggak tahu, mungkin karena kita harus lebih
banyak mengingat mati, sebagaimana Malaikat Maut menghampiri kita 40 kali dalam
sehari?)
“Itu
kenapa si Inas nggak jadi wartawan aja?"
Percayalah, Om Syl. Saya ingin jadi wartawan.
Saya masih akan menjadi wartawan.
(Ini kenapa gue jadi bawa-bawa Om Syl, ya? Hahaha,
semoga Om selalu dalam berkah Tuhan, aamiin.)
Tapi saya punya sebuah alasan. Alasan yang
membuat saya menunda keinginan itu. Sayangnya, alasan ini hanya akan dipahami
oleh orang-orang seperti Mama dan Ameh Nung; tipikal orang zaman dulu yang
percaya dan menyerahkan apa pun asal ada “Allah” di situ.
Alasan ini akan membuat orang lain mengernyit,
heran, lalu memandang saya sebagai manusia yang tidak bisa menjalani hidup. Ilmu empat tahun lo mau dikemanain, Nas?
Kalau ngomongin ilmu, nyatanya ilmu itu masih
terpakai dengan baik, terutama tentu saat saya bekerja sebagai editor, hingga
bulan Mei lalu. Ilmu riset, ilmu wawancara, berhubungan baik dengan narasumber
yang dalam konteks saya itu artinya berhubungan baik dengan penulis, mengedit,
menulis, menambal, sama saja. Bahkan aturan “jemput bola” di dunia jurnalistik,
yakni wartawan harus peka sama situasi dan bukannya leha-leha menunggu bencana
tiba, itu juga ada di dunia penerbitan buku. Saya harus “jemput bola” ke komunitas penulis, juga orang-orang yang
suka menulis untuk mengirim naskah ke penerbit kami. Sama saja. Jadi, ilmu
empat tahun itu? Terpakai, kok.
Lalu, mengapa saya tidak jadi wartawan?
Bukan hanya wartawan, sebenarnya. Tapi juga banyak
pekerjaan lain.
Saya kira, kepergian Ameh Nung (Ameh dalam
bahasa Arab berarti “Tante”) membawa dampak besar dalam hidup saya. Tiga bulan
sebelum Ameh meninggal, terjalin hubungan erat di antara kami. Selama tiga
bulan itu, saya melaksanakan kerja magang di Majalah Intisari. Tiga bulan itu sangat
bermakna. Selama ini, saya hanya mengenal Ameh sebagai “tante”, sebatas itu.
Tapi tiga bulan bersamanya, sungguh, mengubah
saya. Cara saya memandang hidup, bukan lagi dipenuhi hinga-bingar seperti dulu.
Betul-betul iri dan kagumnya saya pada apa yang Ameh dapat dan Ameh jalani. Hidup
dengan begitu sederhana, biasa saja, tapi sungguh, sungguh bahagia. Bagi kita
yang menonton, Ameh mungkin hanya melakukan hal-hal kecil. Untuk menghidupi
diri, ia berdagang dan menerima jasa masak, itu pun terbatas, kalau sedang
sehat dan siap repot. Untuk menyenangkan diri, ia memasak, bermain dengan cucu-cucunya,
pergi rekreasi, mendatangi pengajian, menonton serial India di televisi. Saat saya
berada di rumahnya, hari-hari saya diisi dengan duduk berdua dan membantu apa
pun yang saya bisa bantu; melayani pembeli di toko, menata baju, tentu juga
memasak. Kami juga suka bicara berdua, tentang hidup. Tentang bagaimana menjadi
orang baik. Bahwa hidup ini bukan mengenai kekuasaan, tapi kerelaan. Bukan tentang
membenci, tapi bersabar. Bukan tentang maunya kita, tapi maunya Allah. Ia sungguh
tidak punya ambisi, sekecil apa pun, kecuali mungkin “disayang Allah” dan “masuk
Surga”. Atau ambisi yang hanyalah ambisi? Tidak ada. Tidak seperti “ambisi yang
hanyalah ambisi” seperti punya saya; mendirikan media Islam yang betul-betul rahmatan
lil ‘alamiin, memberi informasi yang jadi rahmat bagi semua orang. Saya ingin hidup seperti Ameh, sederhana, tenang, cukup. Tentu saja dengan cara saya, tapi dengan kadar Ameh.
Ameh tidak peduli dengan perlakuan buruk orang
kepadanya. Melihat Ameh barangkali juga sedikit mirip dengan saya, orangnya
enak untuk digodain, “di-bully”, karena mereka tidak akan kesal. Kalau marah
pun nggak lama. Paling juga dibikin senyum. Hobinya menyanyi, mirip saya. Suka masak,
mirip saya. Bedanya, Ameh bisa masak, saya bisa bantu aja.
Hm, bicara soal masak mengingatkan saya pada
janji Almarhumah. Katanya, “Nanti kalau kamu menikah, Ameh ta
tinggal di rumahmu. Boleh nggak sama suamimu? Nanti Ameh ajari masak,
ngurus suami itu piye, ngurus rumah piye, nanti Ameh ajari, ya.”
Tapi, Ameh pergi sebelum janji itu terlaksana.
Janji yang sangat saya tunggu untuk ditepati. Janji yang saya butuhkan.
Beberapa hari setelah lebaran, Ameh berpulang
ke rumah Allah. Malam Jumat, pukul 11. Sempat mengeluh sakit di dada, lalu
dibawa ke rumah sakit tapi sudah tidak sadar saat melewati kantor pos. Sebelum meninggal,
Ameh berkumpul dengan adik-adiknya, mengaji bersama.
Kerudung yang Ameh pakai saat ke rumah sakit
adalah kerudung hitam, barangkali Ameh sudah merasa akan pulang.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Ameh tampak
sangat berbeda. Wajahnya bukan sepenuhnya wajah Ameh. Responnya bukan seperti
respon Ameh. Tawa Ameh bukan seperti tawa Ameh biasanya. Bahkan Ameh terus
terang bilang bahwa ia sedih saat kita goda ia tentang suatu hal. Barangkali,
Ameh sudah merasa akan pulang.
Sungguh saya iri dengan cara Ameh pergi. Begitu
rapi, bersih, sopan, baik, halus, lemah lembut. Ameh meninggal setelah lebaran,
setelah bermaaf-maafan dengan keluarga dan kerabat. Ameh bahkan lebih lama di
Semarang dan silaturahmi ke rumah kenalannya. Ameh meninggal setelah mengaji. Ameh
meninggal setelah menuntaskan puasa Ramadhan terakhirnya.
Ameh orang baik, dan meninggal dengan cara
yang baik. Seketika, itu yang terngiang di telinga saya. Bagaimana menjadi orang
baik, dan meninggal dengan cara yang baik, sehingga berkesempatan duduk di
tempat yang baik di sisi Allah? Sayangnya, Ameh pergi sebelum mengajari itu
pada saya.
Kita berasal dari Allah, dan akan kembali pada
Allah. Sayangnya, “kembali” itu bukan sekadar “pulang ke rumah”, tapi kita
harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita selama di dunia. Ibaratnya, saat
kita masih kecil, kita pergi meninggalkan rumah untuk bermain. Jika kita
berbuat nakal saat bermain –menyakiti teman, misalnya–maka kita bakal dimarahi
mama dan papa saat pulang ke rumah, dihukum karena kenakalan kita. Tapi kalau
kita bermain dengan ceria, tidak bermusuhan, mengalah, berbuat baik pada teman,
maka orangtua akan memuji kita saat kita pulang ke rumah. Bahkan kali ini, bukan sekadar orangtua, lho! Mungkin orangtua masih punya rasa tega. Tapi Tuhan? Siapa bisa menebak Tuhan dengan akurat?
(Nyambung nggak, sih?)
Ketika akhirnya Ameh meninggal... oh Tuhan,
sungguh, rasanya kematian itu begitu dekat dengan saya, sedekat Ameh dengan
saya, tiga bulan itu. Sungguh. Apalagi lalu yang saya cari untuk hidup? Apalagi
selain kerelaan Tuhan untuk menerima saya di Surga? Sungguh tidak bisa
bergairah lagi saya mengejar hal lain, selain yang cukup membawa saya pada
jalan Allah. Tidak sebergairah dulu.
Maka itu barangkali yang membuat saya kembali
ke “dasar”. Surga saya kali ini ada di kuasa orangtua saya. Orangtua saya masih
ada. Sehingga, saya ingin bersama mereka. Membahagiakan mereka berarti
membahagiakan Allah, lalu begitulah saya bisa lebih dekat dengan Surga, walau
itu sungguh tidak ada jaminan atasnya. Juga barangkali, saya sangat tidak
menginginkan azab kubur dan siksa neraka. Saya terus dibayang-bayangi bahwa saat
hari itu datang, hari kematian saya, ruh saya melepaskan diri dari tubuh dengan
bantuan Malaikat Izrail, seketika itu semua berakhir. Semuanya. Ilmu yang tidak
bermanfaat untuk akhirat bakal lenyap. Maka sia-sia pula waktu yang habis untuk
menggali ilmu itu. Harta yang tidak bermanfaat untuk bekal di akhirat bakal
lenyap. Maka terbuang begitu saja waktu kita mencari harta itu. Aktivitas yang
tidak bermanfaat untuk diri dan jiwa kita bakal jadi beban timbangan amal. Maka
terbuang sia-sia waktu dan tenaga kita saat melakukannya.
Tiga bulan keintiman yang saya bangun bersama
Ameh, awalnya hanya sebuah pelajaran. Tapi saat Ameh meninggal, pelajaran itu
makin tinggi harganya. Makin menyilaukan mata. Meninggalnya Ameh, itulah
pelajaran terakhir Ameh buat saya; apa pun ambisimu, kematian itulah
satu-satunya yang pasti. Kematian bukan akhir, tapi awal hidupmu.
*
Seperti yang saya bilang, ini hanya akan
dipahami oleh “tipikal orang zaman dulu yang percaya dan menyerahkan apa pun
asal ada ‘Allah’ di situ”. Jadi kalau kamu bukan orang zaman dulu yang seperti
demikian, maka nggak masalah kalau kamu nggak paham, hehe.
Bukan berarti saya
mematikan diri. Saya masih hidup, masih berbuat, masih berproses, masih
berpikir, masih pakai akal. Tapi, ada yang berbeda. Makin banyak filter yang
saya punya untuk memilih.
“Jangan di toko, lah. Kerja aja. Kan sudah
kuliah.”
Hahaha. Lah, dikira di toko itu nggak kerja? Buset,
itu toko di rumah punya potensi hebat kalau saya tekuni!
(Astaghfirullah)
Tapi nggak masalah. Komentar para tetangga itu
setidaknya membuat saya terus “mencari kebenaran” bagi diri saya sendiri.
Maaf tapi ternyata, ternyata saya tidak kuliah
untuk bisa bekerja. Kalau saya kemarin tidak kuliah, barangkali Allah masih
memberi saya beberapa rupiah lewat toko yang dikelola orangtua. Kalau saya
kemarin tidak kuliah jauh-jauh, empat tahun, melainkan mengambil sekolah
kejurusan di sini, di kota saya, saya juga bisa langsung bekerja setelahnya.
Saya kira, saya tidak kuliah untuk bisa
bekerja.
Nyatanya, saya kuliah untuk memperkaya diri
saya. Jiwa saya. Kehausan saya. Pergaulan saya. Pengalaman saya. Saya ingin
ditempa, di tempat baru dan sangat berbeda dari Semarang, bukan untuk bisa
bekerja. Saya ingin merasakan hal-hal
baru. Saya ingin dibunuh oleh kata-kata jahat, lebih jahat dari kata-kata yang
pernah saya dengar saat hidup di Semarang. Saya ingin dibenci, dijauhi,
ditertawakan, dibohongi, dicerca di depan banyak orang, lebih dari yang saya
dapat di Semarang. Saya ingin tahu rasanya dipuji, dihargai, dibantu, diajak,
tampil di depan banyak orang. Bahkan kemudian, saat saya berada di sana, saya
ingin tahu, apa sebenarnya yang saya mau untuk hidup ini? Apa?
Tapi kemudian, fase “ingin tahu”
itu terus berproses, berkembang. Setelah melewati semua pengalaman baru itu,
setelah saya “sudah tahu” mau melakukan apa untuk hidup pun, saya
meninggalkannya, memisahkan diri darinya, berpindah ke tempat baru dan
memulainya dari awal. Mulai masuk ke fase “ingin tahu apa yang sebenarnya saya
mau untuk hidup ini?” lagi. Memulai semuanya dari awal lagi. Sebuah fase baru. Jawaban dari fase “sudah
tahu” yang sebelumnya saya jadikan panduan untuk fase “ingin tahu” yang baru
ini. Tapi kali ini, untuk kali ini, saya belum sampai pada “sudah tahu”. Bahkan
kali ini, pijakan saya lebih abstrak. Batu pijakan pertama, entah penuh lumut
atau dialiri air yang sangat deras. Batu pijakan lainnya, dalam keadaan siap
diinjak, tapi sayang, banyak kaki berebut menginjaknya, sehingga saya bingung
mau melangkah ke mana. Ke atas batu berlumut dan berair itu, atau menunggu batu
yang lain sepi injakan?
*
Jadi, bukan hanya soal wartawan. Saya masih
punya mimpi, meski bukan seratus persen jadi wartawan, tapi yang lain. Gambaran
kondisi media di Indonesia yang saya dapat saat mengerjakan skripsi, membuat
saya berkesimpulan; agama dijadikan alat politik dan itu dianggap lumrah, media
menjadi alat penyalurnya, (barangkali) tidak ada berita yang seratus persen
benar jika berkaitan dengan agama, sedangkan kualitas penerima informasi juga..
ya, tengoklah laman Facebook-mu. Berapa banyak yang membagi berita
bermuatan kebencian, dan hanya berapa yang tidak?
Penerima informasi ini perlu diperkenalkan
dengan literasi media, atau cara lain yang mampu membuat mereka memfilter
informasi yang ada. Harus ada orang-orang yang berani beda untuk memberi hanya
informasi yang benar pada masyarakat. Harus ada orang-orang yang memang ingin
membangun perdamaian sekaligus memberi fakta, bukan mengejar iklan, jumlah clickers.
Harus ada orang yang mau membaur pada masyarakat, meneliti, mencari tahu, lalu
menggunakan hasil penelitiannya untuk membangun perdamaian umat antaragama,
memungkinkan mereka tidak saling benci.
Saya ingin jadi orang itu.
You may say I am a dreamer.
Skripsi saya pada akhirnya membawa saya
melenceng dari cita-cita ingin jadi wartawan.
Apa yang terjadi pada dunia sangat
menyedihkan, jika kita terus percaya pada semua informasi.
Apakah Kim Jong Un betulan jahat? Apakah Korea
Utara betulan musuh dunia karena nuklirnya? Apakah Amerika punya peran dalam memisahkan “Korea
bersaudara” itu? Apakah Israel berdiri sendiri membasmi Gaza, dan seluruh tanah
“Islam” lainnya? Sejauh mana Amerika terlibat, jika itu benar? Apakah Obama
bisa lebih baik dari Bush dalam menyikapi “perang” Israel dan negara-negara “Islam”
lainnya? Apa iya, FPI seburuk yang diberitakan? Apa saja sebenar-benarnya yang
menjadi misi FPI? Apakah mereka betulan barbar? Jahat? Atau apa betul mereka
digerakkan oleh uang? Lalu apakah kita menganggap lumrah agama yang “diuangkan”
dengan cara seperti itu? Apa betul orang Islam selalu menolak pembangunan
gereja? Mengapa? Tidak pernahkan orang Islam berdamai dengan orang Kristiani
sehingga kami harus berdamai juga dengan mereka? Pernahkah ada orang Islam yang
membantu pembangunan gereja, bukan menolaknya?
Itulah kenapa, jangan hanya berteman dengan
berita, tapi juga dengan wartawan. Wartawan jauh lebih tahu daripada berita
yang mereka tulis, saya percaya itu.
(Eh.)
*
Saya sedang kembali ke awal, memaknai semuanya
lagi. Mencari lagi. Menjajal lagi.
Apakah saya sedang jahat dan egois pada diri
saya sendiri?
Well... pada
akhirnya, tidak ada yang perlu cemas, terluka, atau kecewa atas pilihan saya.
Kenapa?
Karena pilihan terbaik adalah pilihan saya.
Kenapa?
Karena saya ingin kembali ke dasar.
Kenapa?
Karena saya ingin berproses lagi. Lagi. Lagi.
Kenapa?
Karena ini hidup saya, dan apa pun yang
terjadi, pada akhirnya, selalu saya yang menanggung.
I am not loving my life to impress people. The
one who I have to impress is Allah.
I am
not writing this to impress you. I am writing this actually for makes me relieved
more.
I am
nobody. Tapi di labirin yang kamu jelajahi ini, saya
empunya.
Jadi.. kamu ngapain baca ini?
Hahaha.
Emang aku ngomongin apa, sih?
Hahaha.
*
Jadi, Ayah Tita, a.k.a Om Syl, terima kasih untuk pertanyaannya. Pertanyaan itu singkat, tapi selalu ada di benak saya. Membuat saya terus mencari jawaban, juga alasan. Kata Tita, Om Syl juga pernah memuji tulisan saya. Jika itu benar, maka terima kasih. Saya memang ingin jadi penulis, Om. Semoga Om nanti suka baca buku saya.
Good night!
Komentar
Posting Komentar