Dear, Abang, yang masih ada dalam genggaman Tuhan.
Barangkali surat ini datang terlalu pagi, karena toh wujud Abang pun belum nyata hadir buatku. Semua dari kita sudah ditakdirkan berjodoh dengan siapa. Bisa jadi, jodohku Abang. Bisa jadi, jodohku kematian.
Mari anggap Abanglah jodohku. Bang, ini ungkapan kasih dan rasa cintaku untuk Abang, karena Allah.
Abang, apakah berlebihan jika aku kelak meminta Abang untuk tidak menikah lagi? Memang, Bang, aku bukan perempuan sempurna. Aku rasa, Abang juga tak sempurna. Tak ada yang sempurna, kan? Dan jika terus mencari yang sempurna, maka sampai mati, kita justru berlelah-lelah mencari tapi lupa memperbaiki diri menjadi sosok sempurna.
Jika aku nanti mendapatimu sebagai lelaki, suami, atau bapak yang tak sempurna, maka bagiku itu ujian. Kata Ayahku, itu ujian. Sama saja, jika nanti kau temui aku sebagai perempuan yang tak sempurna, maka Bang, itu ujian untukmu. Allah menguji setiap hamba-Nya, Bang. Yang lulus masuk Surga, yang gagal masuk Neraka. Yang setengah-setengah maka bakal menjalani masa di Neraka, lalu masuk Surga.
Tapi Bang, jika pun, Abang berpikir tentang poligami, maka, berkenankah Abang setidaknya membaca ini dulu?
Tak ada larangan berpoligami, Bang. Poligami meluas sejak dulu. Arab Jahiliah, bangsa Ibrani dan Sicilia juga, yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Polandia, serta sebagian besar penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, hingga Inggris. Intinya, poligami dikenal oleh penduduk dunia. Memang kita dapat berkata (kenyataannya pun menunjukkan) bahwa poligami lebih subur di Timur daripada di Barat, walaupun pelacuran lebih merajalela di Barat ketimbang Timur.
Mari Bang, kita bicara ayat, karena kita punya petunjuk bernama Al-Qur’an.
Ditulis di An-Nisa ayat 3, Bang. “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana) kamu menikahinya, maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Dalam ayat ini terang-benderang diterangkan bahwa Abang dibolehkan menikah dengan dua, tiga, atau empat perempuan, tapi dengan syarat yang menurut ahli tafsir: berat sekali, yaitu mesti berlaku adil. Adil terhadap nafkahnya, terhadap gilirannya. Tetapi kalau Abang tidak sanggup berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.
Dear Abang,
Barangkali, apakah Abang pikir Abang bisa berlaku adil? Abang yakin? Tahukah Abang, pada surat An-Nisaa ayat 129, Allah berfirman lagi, “Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kamu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu condong (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Abang, masih mau berpoligami? Menurut ayat tadi, Abang masih punya kemungkinan berbuat adil, walau pada awal ayat Allah sudah peringatkan bahwa Abang tak akan dapat berlaku adil, sekali pun.
Tapi, Bang, sadarkah juga Abang kemungkinan buruk yang terjadi akibat poligami? Jika poligami tak dilakukan sesuai syariat Islam, jika poligami berangkat dari rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tuntunan agama terkait tujuan pernikahan, maka lahirlah istri-istri yang saling iri, anak-anak yang saling benci. Di titik ini, poligami justru memperburuk keluarga.
Dear, Abang. Walau begitu, aku ingin berlaku adil.
Bang, poligami punya sisi baik. Poligami yang disyariatkan Islam tidak membenarkan lelaki berhubungan seks dengan lebih dari empat perempuan, melalui pernikahan yang sah dan permanen. Bandingkanlah hubungan ini dengan hubungan seks bebas, atau pernikahan kontrak. Aih, aih.
Bang, teks ini bukan berarti bahwa pintu poligami terbuka lebar untuk Abang. Tapi juga tidak tertutup rapat-rapat. Poligami BUKAN anjuran, melainkan solusi bagi mereka yang butuh, dengan syarat-syarat tertentu.
Poligami bisa diibaratkan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu, yang duduk di samping pintu darurat pun haruslah ia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya serta diperkenankan membukanya pada saat mendapat izin dari pilot.
Nah, lo.
Dear, Abang.
Nabi juga dulu berpoligami, Bang. Pertanyaanku, apakah Abang benar ingin meneladani Nabi saw. dalam pernikahannya? Karena, sadarilah bahwa Nabi baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama pasca meninggalnya istri beliau, Khadijah ra.
Hitunglah, Bang. Menurut masa kenabian, apalagi menurut seluruh masa pernikahan beliau, Nabi hanya berpoligami selama 8 tahun, dan sisanya beliau bermonogami selama 25 tahun. Jauh lebih pendek, Bang.
Jika begitu, mengapa Abang tidak meneladani masa yang lebih banyak itu? Mengapa Abang tak ikut teladani cara Nabi memilih calon istri yang telah mencapai usia senja? Harusnya Abang lebih teladani kesetiaan beliau pada istri pertamanya sampai-sampai beliau menyatakan kecintaannya walau di hadapan istri yang lain.
Bang, tahukah Abang, Nabi menikahi para janda? Yang sudah berusia senja? Apa artinya, Bang? Tak ada daya tarik!
Ini karena, kaum lelaki di masa Nabi Muhammad lebih sedikit jumlahnya dibanding perempuan, karena banyak yang mati dalam peperangan. Oleh sebab itu, dibolehkan laki-laki beristri lebih dari satu, supaya JANDA-JANDA yang ditinggal mati suaminya itu dapat bantuan dari suami keduanya. Istri Nabi hanya satu yang gadis, yang lain semuanya janda, sebagai bukti bahwa beliau beristri lebih dari seorang karena membantu kehidupan perempuan-perempuan janda itu sekaligus melancarkan dakwahnya.
Bukan karena syahwat. Ketika syahwat yang ada di benak Abang, maka wassalam. Ucapkan bye bye pada Sunnatullah, Bang. Bye bye~
Abang mau tahu, siapa saja istri Nabi itu? Saudah binti Zam’ah ra., suaminya meninggal di perantauan. Hindun binti Umayyah ra., seorang janda tua yang suaminya gugur dalam perang Uhud. Ramlah, putri Abu Sufyan ra., ditinggal suaminya dan diceraikan hingga ia terlunta-lunta di perantauan. Huriyah binti Alharis ra., dinikahi agar Nabi bisa memerdekakannya sehingga ia dan tawanan lain memeluk dan memperkuat barisan Islam. Hafshah putri Umar bin Khattab ra., suaminya meninggal dunia. Shafiyah binti Huyay ra., seorang tawanan. Zainab binti Jahesy ra., bercerai dari suaminya. Zainab binti Khuzaimah ra., suaminya gugur dalam Perang Uhud.
Perempuan-perempuan itu tentu dinikahi atas izin Allah, Bang. Nabi bergerak atas izin Allah.
Dear Abang,
Tahukah Abang, bahwa aku sebegitu ingin Abang bahagia di sini dan di Sana kelak, sehingga aku tak mau Abang dibebani tanggung jawab lebih karena punya dua, tiga istri lagi? Bang, sebisa-bisanya Abang berjanji bahwa Abang akan adil, bisakah Abang adil jika Allah sudah bicara dalam kitab-Nya bahwa, Abang tak akan bisa berlaku adil?
Mari, Bang, yang satu itu tak usah terlalu dipikirkan. Bang, jalan Surga itu sungguh banyak. Allah-mu Maha Pemurah. Orang puasa punya Surga. Orang sedekah punya Surga. Orang berbakti masuk Surga. Juga lelaki seperti Abang itu, sesungguhnya punya tanggung jawab besar untuk menjaga istri dan anak dari api Neraka. Api Neraka, Bang! Apakah Abang kira ini lelucon?
Maka, tolong, sebelum Abang nanti memikirkan untuk menikah lagi, ingat ancaman Allah satu itu. Maka, tolong, jika Abang ingin menikah lagi, lalu beranak-pinak lebih banyak, bayangkan, apakah Abang bisa menyelamatkan jiwa segitu banyak manusia dari api Neraka, Bang?
Sungguh, ini karena aku sayang Abang. Aku tidak mau amal Abang jadi lama dihisab karena ini. Aku ingin beban Abang lebih ringan. Aku tidak mau ketidakadilan Abang pada istri-istri Abang nanti malah membuat Abang dihinakan Allah. Dihinakan, Bang! Eh, jangan bilang Abang belum pernah dengar hadist ini…
Abu Hurairah ra. berkata, “Nabi saw. Bersabda, ‘Siapa saja yang memiliki dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya, ia akan bangkit di hari kiamat dengan lambung yang berguguran.’” (HR At-Turmudzi)
Iya, Abang mau meniru Nabi? Iya? Bang, Nabi bukan manusia biasa. Beliau menikah lagi juga karena perintah, juga karena keadaan. Apakah Abang mengalami apa yang beliau alami?
Dear Abang,
Jika Abang bilang itu Sunnatullah, maka kenapa Abang tak istiqomah ikuti perilaku Nabi lainnya, yang menurutku lebih krusial? Saat Nabi shalat di masjid, saat Nabi bersabar menghadapi orang yang menghina beliau TEPAT di depan matanya, saat Nabi menyuruh kita memuliakan tetangga, menyuruh kita membantu orang miskin? Islam menyuruh kita dakwah, menyuruh kita berlaku baik pada sesama, menyuruh kita mendidik anak. Dan masih banyak lagi, Bang.
Dear, Abang.
Barangkali kegelisahanku ini berangkat dari fakta bahwa aku kenal seseorang yang dipoligami. Bang, suaminya berkecukupan harta. Bang, beliau rajin mengaji. Tampilannya meyakinkan. Tapi lalu, kenalan saya ini, seorang istri dengan banyak anak, tidak diurus dengan baik. Tak diberi uang. Ia lebih dekat dengan istri satunya, yang ternyata mengontrol keuangan lelaki ini, hingga barangkali ia tak membagi harta dengan adil antara satu istri dengan lainnya. Perempuan kenalanku ini, hidup empot-empotan. Menangis kalau aku ingat perjuangannya menghidupi anak-anak. Kini, Abang tahu? Anak-anaknya tak bisa sekolah dan bekerja dengan baik. Aku trauma, Bang. Karena aku menyayangi perempuan ini.
Dear, Abang.
Aku tidak memimpikan macam-macam. Do’a yang tak bisa lepas kuderaskan adalah, bahwa aku akan mengarungi sisa hidup dengan Abang, beribadah dengan Abang, dalam ketaatan dengan Abang, bekerja sama dengan Abang, menjauhi maksiat dan meraih rahmat bersama Abang. Hingga akhirnya, aku ingin kita bertemu lagi di Akhirat, membuat iri seluruh Malaikat, karena kita sepasang kekasih yang bercinta hingga luar angkasa, mencintai-dicintai karena Allah, dirahmati oleh Allah. Kelak, kita akan dipersatukan dengan apa yang kita cintai. Maka aku ingin dipersatukan dengan Abang, dan Mama, Ayah, Adik-adik, saudaraku.
Begitu, Bang.
Tahukah Abang? Pertanyaan yang lebih penting sesungguhnya adalah...
ABANG SIAPA, BANG? TUNJUKKAN DIRIMU YANG SESUNGGUHNYA!
Terinspirasi dari:
Perempuan karya Prof. Quraish Shihab
Tafsir Qur'an Karim karya Prof. Muhammad Yunus ✨
Komentar
Posting Komentar