Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

'Memburu Muhammad' bersama Feby Indirani

Apa yang akan kamu lakukan sekarang, kalau tidak ada Neraka? 

Mencuri uang, melepas jilbab dan memakai baju seksi di luar rumah, makan babi, bercinta dengan the next guy you meet on Tinder, mencicipi wiski, atau membunuh orang yang membuatmu menderita?

“Apakah kalian tidak melakukannya karena takut masuk neraka atau karena hal tersebut buruk bagi kalian?” 

Kurang ajar memang pertanyaan Kiai Zahid, pemimpin Al Falah itu. Ia bangkit setelah dinyatakan mati dan tiba-tiba berujar bahwa ‘Neraka itu tidak ada.’ 

Arif Mansyur, murid Kiai, langsung menunjukkan gelagat tak suka. Ia menganggap Kiai Zahid harus lenyap karena akan menyebarkan fitnah! Tapi, apa Arif tak meyakini gurunya sendiri? Apa sebenarnya makna dari perkataan Kiai itu? Apakah benar ia dibawa melihat Alam Sana, dan benarkah katanya bahwa Surga ada, namun Neraka tidak?

Jika direnungkan kembali, ucapan Kiai Zahid berbunyi, “Neraka itu tidak ada, sama seperti tidak ada gelap. Neraka hanyalah ketiadaan Allah dihatimu.” Sementara, Allah selalu ada meski kita memilih mengabaikan-Nya. 

Apa maksudnya?

*



Magical. Itu kata pertama yang terlintas saat menyelesaikan buku Memburu Muhammad, karya Feby Indirani yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang Pustaka ini. Kisah Kiai Zahid adalah satu diantara kisah lain yang begitu puitis, dan membuatku merenungi keistimewaannya, lebih dari pikiran pendek si Arif. 

Sebagian kisah dalam kumpulan cerita pendek (kumcer) ini terasa relevan karena pernah kualami di dunia nyata; membayangkan bagaimana wajah Tuhan, seperti apa pertemuan dengan malaikat Maut, dan apa rasanya daging babi, hahahaha.

Jika Prof. Nadirsyah Hosen mengatakan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini penuh imajinasi, memang iya. Kamu perlu ketakterbatasan persepsi, sementara Memburu Muhammad membawamu berdiskusi dengan diri sendiri dan memahami esensi. 

Bagiku, kisah-kisah yang Feby tulis menggugah ruang iman terdalam di hati, menariknya ke sudut-sudut yang janggal, namun anehnya terasa begitu karib. Membuatmu kembali bertanya, mungkinkah Tuhan bukan hanya di Atas? Ia justru di sini, di bawah, lebih dekat dari urat nadi seperti kata-Nya. Ia di gubuk derita, bersama si miskin. Ia menyala dalam tenang, bukan gemuruh sesak.

*

Bagian favoritku, meski susah memilih satu, adalah cerpen berjudul; "Kisah Cinta Azazil." Ini jeru, sih. Kisah cinta paling perih milik Azazil, yang saking mencintai Kekasihnya, ia ingin membuktikan cintanya paling murni dan cinta Adam tak ada apa-apanya. Segala hal ia lakukan atas nama cinta. 

Cerita Azazil membawa benakku terbang, mengenang bagaimana manusia merasa, atau menganggap dirinya paling mencintai, paling percaya, paling beriman pada Sang Kekasih, namun untuk itu melakukan segala cara, membabi-buta, hingga penuh kebencian memerangi saudaranya sendiri. 

Aku juga suka "Melukis Tuhan", tak kalah deep-nya. Ini justru menggugah sebuah elemen penting bagi kita: seperti apa Tuhan, di mana ia, bagaimana rupanya? Ia pastinya terang-menerangi, bersih, suci… tapi bagaimana kita mengartikan suci? Apakah ia… berjanggut? Bergamis putih? Mungkin, berambut ikal? Entahlah… ia tak mungkin sembarang ‘makhluk.’ Tapi mengapa wajah pengemis, ibu pedagang, dan anjing kudisan yang ditemui Pelukis itu begitu bercahaya? Seperti... wajah Tuhan? Apa jangan-jangan, Tuhan bisa menjelma? 

Ah, ruwet. 



Ada juga cerita lain yang akan familiar denganmu, misalnya "Umi Shalihah Dimadu Lagi" dan "Pengincar Perempuan Tuantu." Mungkin ini dua cerita yang paling mewakili perempuan. Umi Shalihah adalah istri seorang Kiai besar yang kembali dipoligami. Namun di cerita ini, dan seperti di cerita lain di buku ini, Feby menariknya ke titik ekstrem, jurang yang mind-blowing tapi anehnya mengasyikkan.

"Pengincar Perempuan Tuantu" lebih ‘gila’ lagi. Tentang lepasnya sebuah monster, si Buas, yang kehilangan habitatnya lalu menyerang manusia, terutama perempuan. Ini menjadikan pemerintah Tuantu memberlakukan aturan, seperti memerintahkan perempuan memakai baju tertutup dan mengatur agar perempuan tak keluar rumah sendirian. 

Membatasi ruang gerak perempuan terlihat sebagai sesuatu yang bersifat menjaga atau protektif, tapi apa iya? Bukankah lebih benar, solutif, dan efisien, jika pemerintah mengejar si Buas dan mengendalikan, menghukum, atau memusnahkan 'makhluk' itu? 

Membaca Memburu Muhammad sedikit mengingatkanku pada Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya karya Cak Rusdi. Kisah hikmah yang berangkat dari sebab sehari-hari. Kadang juga terasa vibes-nya Arswendo Atmowiloto dalam Kau Memanggilku Malaikat, apakah mungkin karna ada cerita tentang Zenita, dalam "Berebut Jenazah"? 

Note: tentu saja bacaanku masih sangat terbatas, sehingga ini sangat subjektif.

*

Tulisan Feby yang imajinatif dan penuh pesan menjadi masuk akal saat kamu tahu bahwa ia tumbuh bersama kisah-kisah hikmah bernuansa sufistik. Kisah-kisah yang esensinya adalah: memumpuk akhlak baik.

Jadi ingat, dulu Ayah menyetok buku serupa untuk kami. Saya masih menyimpan buku-buku hikmah ukuran saku yang Ayah beli. Kisah hikmah sufistik ini umumnya menyodorkan cara pandang baru dalam beragama dan bertuhan. Seperti buku ini:

Sedikit dari banyak buku hikmah yang Ayah punya

Kamu juga bisa menyimak kisah hikmah yang diramu oleh M. Quraish Shihab dan diterbitkan Lentera Hati berikut ini: 



Buku di atas ini terdiri dari satu buku dengan format bolak-balik dan bisa kamu nikmati dari mana pun! Dapatkan di situs https://store.lenterahati.com ya!

*

Komentar

Postingan Populer