Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku 'Ada Apa dengan Introver?': Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

CATATAN SETAHUN PERNIKAHAN (2) - Bunga yang Mekar Setiap Hari

Orang-orang yang telah bertahun-tahun menikah mungkin akan meringis membaca ini karna dianggapnya ‘masih setahun, belum juga ngerasain pedih perih.’ 

Lho, kok aku jadi suuzon? Astaghfirullah. Maap.

Ya nggak papa. Ini akan jadi kenangan dari awal perjalanan panjang, amin. 



Aduh, kalau disuruh mengenang yang baik-baik malah grogi, hahaha. Perasaan kemarin nulis keluh-kesah diomelin perkara hamil begitu lancar, LOL. 

Satu tahun menikah dengan si Mas, jujur saja lebih banyak ketawanya. Habis nangis pun ketawa. Berantem? Tentu saja. Tapi terlanjur bucin yang begini: kami nggak bisa berdiaman lebih dari... ah, nggak bisa lama-lama pokoknya. 

Tapi mari kita sedikit flashback.

*

Aku pernah takut menikah. Takut yang parah, benar-benar putus asa. Dalam kondisi desperate, menangis deras, suatu malam, aku menulis curhatanku di e-mail dan menyimpannya sebagai draft.

Kenapa putus asa? Awalnya, karena gagal menjalin relasi serius dengan lelaki baik yang kukenal. Allah memang menggemaskan. Sejak lulus kuliah hingga 2017, aku dikenalkan dengan pria-pria seleraku. Ada penyuka film India, penulis, pegiat, pembaca buku, pewarta. Semua humoris dan pintar.

Dan semuanya runtuh. Selesai bahkan sebelum kami memulai apapun.

Di titik desperate itu, aku jadi bertanya-tanya, kenapa Tuhan harus repot-repot membuang waktu, hanya untuk itu? Hanya untuk mempontang-pantingkan hatiku ke sana ke mari, lalu menarik laki-laki idamanku itu menjauh? Kenapa Tuhan harus sibuk melakukan sesuatu setakbermakna itu? Kenapa kita hanya di sini-sini saja?

Aku jadi berpikir, mungkin Tuhan benci padaku sebagaimana semua laki-laki seperti itu. Aku jadi merasa tidak pantas untuk apapun yang kuimpikan. I've reached that point.

Berikutnya, aku menuduh Tuhan tidak adil. Aku kenal seorang perempuan yang selalu mengeluh, dia bahkan tidak taat, tapi dia mendapat yang dia mau. Tuhan memberinya apa yang dia mau, sedang aku barangkali bukan yang terbaik, tapi tetap saja, I do good.

Toh, aku tidak minta yang punya segala, cukup baik, jelas. Itu saja. 

Aku sudah percaya, bahwa tak ada yang namanya percepatan bahagia. Semua bahagia pada waktunya. Aku tak masalah dengan waktu. Masalahku adalah.........kenapa Kau harus seusil ini, mengerjaiku dengan mendekatkan pada laki-laki yang selalu saja tipeku, idamanku, tapi lalu membuat kami jadi orang asing lagi, tidakkah Kau tahu itu menyakitkan? Bukankah Kau.. Mahatau?

Aku hanya omong kosong. Aku tidak cantik, tidak seru, dan tidak kaya. Aku bahkan tak punya apa-apa. Sisa-sisa harga diriku bahkan sudah habis setelah aku menulis ini pada-Mu. Ah setidaknya, aku bukan munafik. Tidak pada-Mu, dan pada diriku sendiri.

Itu cuplikan tulisan dalam e-mail tersebut. Sounds bad, huh? 

Lucunya, setelah menangis dan menuliskan e-mail itu, saya merasa puas. Saya lanjutkan hidup dengan menyiapkan keperluan beasiswa, dan voila. Ini akan terdengar seperti kisah ajaib, tapi benar; saat saya telah rela, telah pasrah, telah membebaskan diri dari harapan; justru saat itu hadiah Tuhan datang. Terlambat, tapi Kau kumaafkan.

Hadiah itu, Ahsanul Mahdzi. 

Bagian terbaik pertama dari pernikahan kami adalah, kehadirannya. Kehadirannya.

*

Pernah punya daftar karakter cowok idaman? Aku punya. Jujur saja, Ahsanul tidak seluruhnya melengkapi semua daftar karakter itu. Dia suka bercanda, tapi sebagian besar dark jokes ngenes. Bikin ketawa sih, tapi terus sedih. HAHAHAH. Canda, Sayang.

Ia tak sepenuhnya masuk sebagai cowok idamanku, tapi anehnya, setelah berkenalan dengannya, dia justru membuatku harus menambahkan poin-poin baru dalam daftar. Poin-poin yang, telah ia penuhi, setidaknya kubayangkan ia mampu memenuhi itu setelah bertahun mendiskusikannya bersama. Poin-poin yang baru kusadari bahwa itu tak kalah penting.

Misalnya; tidak mengekang dan kasar pada istri, mau berkolaborasi untuk kerja rumah tangga, dan membangun relasi sehat.

*

Bagian terbaik kedua dari pernikahan kami adalah, bahwa ia tak memutus ruang gerakku, sekalipun mengontrol betul pola makanku. Hih. 

Ia mendukungku belajar ini itu, mengambil pekerjaan ini itu. Mendukung dalam artian turut memberikan masukan-masukan agar kami bergerak secara efektif, baik itu dalam pekerjaan maupun bisnis. 

Ketiga, ia pasangan yang mampu diandalkan. Aku bisa saja mencuci baju, memasak, membersihkan rumah. Tapi memiliki pasangan yang tak eksklusif terhadap pekerjaan rumah tangga adalah sebuah kemewahan. Prinsipnya: bagi tugas. Aku punya pekerjaan, dia juga. Aku ingin me time, dia juga. Aku ingin menambah skill dan wawasan, dia juga.

Jalan tengahnya: bagi tugas dan bangun kesepahaman. Untungnya, dengan laki-laki ini, tak sulit. 

Saat aku sedang sibuk di depan laptop dan cucian sudah menggunung sementara ia sedang selo, maka mencuci masuk dalam agendanya hari ini. 

Saat ia sedang menyiapkan pesanan makanan untuk Poskoloni Project, maka pekerjaan rumah jadi tanggunganku. Sisanya, aku masih bisa bekerja, dia masih bisa melanjutkan hari dengan membaca atau menulis. 

This is actually the marriage that I need. Jika kenyataannya ia mampu membersihkan rumah dan mengetahui trik mencuci yang lebih efektif, atau jago dalam memasak, itu semua bonus. Alhamdulillah 'ala kulli haal.

Bagian terbaik keempat, aduh ini bisa sangat panjang tapi mari kita persingkat.

Ia pasangan yang super perhatian, teliti, peka, dan karena itu sulit dibohongi. Meskipun, tak ada keinginan juga untuk berbohong padanya -dan percuma, karena ia bakal tahu jika aku bohong. Asem. 

Dia menjadikan aku nyaman seratus persen menceritakan apapun dan merepotkannya dari berbagai sisi, hahaha. Itu sesuatu yang secara naluriah tumbuh. Aku bersyukur aku bukan tipe pengekang dan semoga tidak egois dan manipulatif. Sama sepertinya. Dengan begitu, kami leluasa untuk percaya dan berbagi soal apapun. Aku tak sungkan mengungkapkan problemku, dan dia akan mengungkapkan keinginannya, lalu berdiskusi sebelum memfinalisasi apapun.

Yang terpenting adalah, bukan hanya sekadar berkomunikasi, tapi berkomunikasi dengan sabar, berkomunikasi dengan kepala setara, sama-sama di bawah. Tak ada yang lebih tinggi atau keras. 

Apakah selalu mulus? Tentu tidak. Beberapa waktu kami sama-sama enggan mengalah. Kalau sudah begitu, masing-masing harus sadar prioritas. Hidup sudah bukan lagi sendiri, tapi berdua. Artinya keputusan seorang akan berpengaruh pada seorang lainnya.

Ini relasi yang sangat, menyenangkan. Aku bersyukur aku memilihnya. Aku tak akan menyebutnya sempurna. Aku tidak sempurna, kami tak sempurna, yang kami punya pun tidak sempurna. Aku masih ingin kami tumbuh lebih baik bagi diri kami masing-masing.

Tapi setidaknya, sampai saat ini, bisa kubilang, ada bunga yang mekar setiap hari di taman rumah kami.

Bismillah.


*

Komentar

Postingan Populer