Pilihan.
Itu bukan kali pertama gue memilih. Sebelumnya juga gue sudah pernah membuat pilihan. Memilih
akan sekolah dimana, memilih akan memakai jilbab atau tidak. Memilih masuk
ekskul apa di sekolah. Memilih lelaki yang naik vespa atau mobil. Sejak dulu
gue dekat dengan pilihan.
Tapi, dari dulu pula, gue selalu dibantu untuk memilih.
Memilih sekolah, orang tua ikut bantu. Begitu juga perkara jilbab. Mau masuk
ekskul apa, dibantu milihnya sama guru. Enaknya nerima ajakan jalan oleh cowok
bervespa atau bermobil, dibantu milih sama temen-temen.
Untuk pilihan saat ini, gue rasa nggak ada yang bisa
membantu, selain Allah dan diri gue sendiri.
Mau tau pathetic side-nya?
Gue bahkan berkonsultasi pada psikolog untuk menentukan pilihan kali ini:
apakah gue akan stay di Jakarta dan
segera berburu kerja di sini, memanfaatkan langsung ilmu yang gue tanam selama
4 tahun dengan perjuangan berdarah nanah itu, atau… atau pulang ke semarang,
bantu mama ayah, nabung untuk hidup di Jakarta dan kembali ke kota ini dengan
kondisi lebih siap?
Tapi toh psikolog tak banyak membantu. "Kembali ke kamunya, Nas."
Gue tidak akan berbohong bahwa gue bingung bukan main.
Pilihan ini sering membuat gue melek semalaman bahkan hingga paginya lagi, cuma
bengong liat atap kamar sambil ngebayangin apa aja yang akan gue lakukan jika
gue di Jakarta, lengkap dengan ambisi gue, keinginan gue, kekhawatiran gue saat
melamar kerja, serta kondisi saat gue nanti bekerja. Gue juga sudah menerka
akan masuk ke mana.
Bayangan lainnya adalah, apa yang terjadi pada jika gue di
semarang. Honestly, this is what will happen: bangun pagi, solat subuh, ngaji,
nyuci baju, bantu mama di dapur, buka toko, bersih-bersih rumah, jaga toko, bantu
ayah kulak barang di pasar, solat dzuhur, jaga toko sambil nulis, solat asar,
jaga toko sambil nulis, tutup toko, solat maghrib, ngaji, buka toko, siapin
makan malam, jaga toko sama mama, makan malam, baca buku, tidur.
Gue menyukai itu, juju raja. Gue suka ada di dekat mama dan
ayah. Tapi kemudian ada ganjalan super besar. Gimana itu ilmu yang empat tahun gue dapet, dengan berdarah nanah? Atau
gue di semarang jadi wartawan aja? Kalo jadi wartawan di sana, gimana gue bisa
habisin waktu sama mama ayah? Gimana niat gue yang awalnya mau bantu mereka?
Akankah terlaksana?
Kemudian, hasil bengong menatap atap kamar pagi ini adalah:
gue akan dahulukan orang tua gue, seperti mereka selalu mendahulukan gue sejak
kecil. Perkara lain bisa menunggu. Tapi berbakti tidak. Selagi gue masih ada
waktu, mereka juga ada waktu, maka…
gue memilih mereka.
Semoga Allah meridhoi.
Thanks for reading
this things!
Wish you a great great
great day!
Semarang pun punya media, wes tenang aja. semua sudah ada yg mengatur, inshaallah kalo niatnya baik semua pasti dimudahkan an dilancarkan.
BalasHapusBarakallah ukhti :)
terima kasih ukhti, semoga Allah berpihak pada kita :))
Hapus