Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

memilih pilihan

Pilihan.

Itu bukan kali pertama gue memilih. Sebelumnya juga gue sudah pernah membuat pilihan. Memilih akan sekolah dimana, memilih akan memakai jilbab atau tidak. Memilih masuk ekskul apa di sekolah. Memilih lelaki yang naik vespa atau mobil. Sejak dulu gue dekat dengan pilihan.

Tapi, dari dulu pula, gue selalu dibantu untuk memilih. Memilih sekolah, orang tua ikut bantu. Begitu juga perkara jilbab. Mau masuk ekskul apa, dibantu milihnya sama guru. Enaknya nerima ajakan jalan oleh cowok bervespa atau bermobil, dibantu milih sama temen-temen.

Untuk pilihan saat ini, gue rasa nggak ada yang bisa membantu, selain Allah dan diri gue sendiri.

Mau tau pathetic side-nya? Gue bahkan berkonsultasi pada psikolog untuk menentukan pilihan kali ini: apakah gue akan stay di Jakarta dan segera berburu kerja di sini, memanfaatkan langsung ilmu yang gue tanam selama 4 tahun dengan perjuangan berdarah nanah itu, atau… atau pulang ke semarang, bantu mama ayah, nabung untuk hidup di Jakarta dan kembali ke kota ini dengan kondisi lebih siap?

Tapi toh psikolog tak banyak membantu. "Kembali ke kamunya, Nas."

Gue tidak akan berbohong bahwa gue bingung bukan main. Pilihan ini sering membuat gue melek semalaman bahkan hingga paginya lagi, cuma bengong liat atap kamar sambil ngebayangin apa aja yang akan gue lakukan jika gue di Jakarta, lengkap dengan ambisi gue, keinginan gue, kekhawatiran gue saat melamar kerja, serta kondisi saat gue nanti bekerja. Gue juga sudah menerka akan masuk ke mana.

Bayangan lainnya adalah, apa yang terjadi pada jika gue di semarang. Honestly, this is what will happen: bangun pagi, solat subuh, ngaji, nyuci baju, bantu mama di dapur, buka toko, bersih-bersih rumah, jaga toko, bantu ayah kulak barang di pasar, solat dzuhur, jaga toko sambil nulis, solat asar, jaga toko sambil nulis, tutup toko, solat maghrib, ngaji, buka toko, siapin makan malam, jaga toko sama mama, makan malam, baca buku, tidur.

Gue menyukai itu, juju raja. Gue suka ada di dekat mama dan ayah. Tapi kemudian ada ganjalan super besar. Gimana itu ilmu yang empat tahun gue dapet, dengan berdarah nanah? Atau gue di semarang jadi wartawan aja? Kalo jadi wartawan di sana, gimana gue bisa habisin waktu sama mama ayah? Gimana niat gue yang awalnya mau bantu mereka? Akankah terlaksana?




Kemudian, hasil bengong menatap atap kamar pagi ini adalah: gue akan dahulukan orang tua gue, seperti mereka selalu mendahulukan gue sejak kecil. Perkara lain bisa menunggu. Tapi berbakti tidak. Selagi gue masih ada waktu, mereka juga ada waktu, maka…

gue memilih mereka.

Semoga Allah meridhoi.

Thanks for reading this things!


Wish you a great great great day! 

Komentar

  1. Semarang pun punya media, wes tenang aja. semua sudah ada yg mengatur, inshaallah kalo niatnya baik semua pasti dimudahkan an dilancarkan.
    Barakallah ukhti :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih ukhti, semoga Allah berpihak pada kita :))

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer