Langsung ke konten utama

Unggulan

CATATAN EMPAT TAHUN PERNIKAHAN: "Aku Benar pun Tetap Salah"

Bulan Juni lalu, menjelang ulang tahun pernikahan kami, di tengah momen berbalas chat dengan suami, aku baru menyadari sesuatu. "YANG! Kita tuh udah empat tahun nikah, lho. Kirain baru tiga tahun." Aku punya patokan khusus untuk memudahkan menghitung pernikahan kami. Tahun pertama menikah itu memorable karena aku harus operasi pengangkatan miom. Yes, halo sobat SC. Sayatan lukaku tentu enggak ada apa-apanya dibanding kalian, tapi sama-sama berbekas dan sering gatel atau nyeri kalau kecapekan. Tos. Sisanya maka tinggal ditambah usia Rawi, yang lahir di tahun kedua pernikahan kami.  Ada yang bilang, pernikahan itu yang penting komunikasi. Yes, penting banget memang. Seratus persen aktivitas pernikahan itu sangat terkait dengan komunikasi. Kran kamar mandi rusak, ngomong. Perlu belanja ini itu, ngomong. Pengen gantian momong anak, ngomong. Semua kesepakatan dalam rumah tangga, tentang ke mana anak akan disekolahkan, tentang bagaimana mendidik anak sesuai usianya, tentang mainan...

saya merasakan bahwa saya muslim

mungkin mulai detik detik ini, akan banyak aku menulis tentang kehidupan baruku, rasa-rasa baru yg aku rasakan di kehidupan baruku. kehidupan baru yg sangat aku nikmati :)

well. do you know?

hal pertama yg paling aku takutkan saat akan masuk ke kampus adalah masalah agama. oke, konyol mungkin. tapi serius, aku memang perlu takut dan waswas. aku tidak pernah jadi minoritas. aku tidak pernah jadi nomor dua. aku selalu hidup di lingkungan mayoritas dan nomor satu. do you get the meaning?

begitu saja masuk ke kampus, (saya harusnya sudah tau) bahwa everything changed. di sini, muslim nomor dua. saya adalah minoritas: hal yg jarang saya terima. dan mungkin, justru dengan keminoritasan yg saya alami, maka saya istimewa :)

awalnya, untuk bergaul dg yg mayoritas itu, saya pikir bakal sulit. saya malah membayangkan saya bakal ikut-ikutan tertarik Injil, karena ternyata pelajaran Agama atau Religiositas di sini diajar oleh seorang Pendeta. well, saya toh menghargai caranya menghargai saya. namun pendeta tetap pendeta kan? apalagi pendeta. beliau setingkat dengan ulama atau kiai di agama saya, dan itu artinya, beliau memiliki tingkat relijius yg lumayan.

namun, saya bersyukur. ternyata, saya merasakan suatu keajaiban. dengan bergaul dengan mereka si mayoritas itu, saya malah merasa ingin tahu banyak hal tentang agama saya, bahkan dari akar*nya.
saya bahkan menelpon ayah saya di semarang hanya untuk sebuah pertanyaan yg mengganggu saya:

bagaimana proses Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi?

kalau Rasul kan, beliau menerima wahyu di Gua Hira. tapi saat jadi Nabi?

ayah sampai bilang "Wah, ini pertanyaan yg membuat semua orang belajar."

dan saya merasakan bahwa saya muslim.

Komentar

Postingan Populer