Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

saya merasakan bahwa saya muslim

mungkin mulai detik detik ini, akan banyak aku menulis tentang kehidupan baruku, rasa-rasa baru yg aku rasakan di kehidupan baruku. kehidupan baru yg sangat aku nikmati :)

well. do you know?

hal pertama yg paling aku takutkan saat akan masuk ke kampus adalah masalah agama. oke, konyol mungkin. tapi serius, aku memang perlu takut dan waswas. aku tidak pernah jadi minoritas. aku tidak pernah jadi nomor dua. aku selalu hidup di lingkungan mayoritas dan nomor satu. do you get the meaning?

begitu saja masuk ke kampus, (saya harusnya sudah tau) bahwa everything changed. di sini, muslim nomor dua. saya adalah minoritas: hal yg jarang saya terima. dan mungkin, justru dengan keminoritasan yg saya alami, maka saya istimewa :)

awalnya, untuk bergaul dg yg mayoritas itu, saya pikir bakal sulit. saya malah membayangkan saya bakal ikut-ikutan tertarik Injil, karena ternyata pelajaran Agama atau Religiositas di sini diajar oleh seorang Pendeta. well, saya toh menghargai caranya menghargai saya. namun pendeta tetap pendeta kan? apalagi pendeta. beliau setingkat dengan ulama atau kiai di agama saya, dan itu artinya, beliau memiliki tingkat relijius yg lumayan.

namun, saya bersyukur. ternyata, saya merasakan suatu keajaiban. dengan bergaul dengan mereka si mayoritas itu, saya malah merasa ingin tahu banyak hal tentang agama saya, bahkan dari akar*nya.
saya bahkan menelpon ayah saya di semarang hanya untuk sebuah pertanyaan yg mengganggu saya:

bagaimana proses Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi?

kalau Rasul kan, beliau menerima wahyu di Gua Hira. tapi saat jadi Nabi?

ayah sampai bilang "Wah, ini pertanyaan yg membuat semua orang belajar."

dan saya merasakan bahwa saya muslim.

Komentar

Postingan Populer