“Kenapa kamu terus bicara soal kasus Munir, atau Thukul? Apa pentingnya?”
Saya terdiam saat pertanyaan itu meluncur.
Bagiku, kamu sama saja sedang bertanya, “Apa pentingnya bicara HAM?”
…. kok ada ya pertanyaan seperti itu?
Ini kan perkara nyawa, hak asasi. Negaramu termasuk negara yang telah menandatangani kesepakatan menghormati hak asasi. Negaramu bertanggung jawab untuk setiap nyawa yang (di)hilang(kan) itu. Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Mana bisa mereka berhenti bicara soal anak atau suaminya yang sampai sekarang entah ada di mana?
Bagaimana bisa kita berhenti bicara tentang orang-orang yang dibawa pergi secara paksa lalu tak pulang-pulang? Atau, seperti Marsinah yang ditemukan sudah tewas dalam keadaan mengenaskan, menyisakan kepiluan yang tak ada habisnya? Sementara dia perempuan, seperti kita!
Bagaimana bisa kita tidak gelisah saat tahu bahwa aparat negara kita sendiri adalah ditengarai sebagai tersangka utama, melakukan kesalahan berat dengan menghabisi nyawa rakyat, lebih dari sekadar membungkam?
Bagaimana ketika masjid, tempat ibadah itu, pernah menyaksikan peristiwa berdarah yang jadi trauma bagi para korban? Begitu gelap dan menyesakkan!
Terlebih, orang-orang yang terus kita bicarakan ini, mari ambil contoh almarhum Munir Said Thalib, adalah orang yang berjuang buat manusia; buat korban-korban pelanggaran Hak Asasi Manusia, artinya itu buat kita juga sebagai sesama manusia. Mereka meninggal atau hilang ketika berkorban untuk sesuatu yang lebih besar dari kebutuhan dirinya sendiri. Mereka mampu melangkahi egonya sendiri.
Mereka membawa kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Ini ada orang, yang harusnya bertanggung jawab, karena sudah menyakiti hingga menghilangkan nyawa, lalu kamu minta kita diam saja?
Bagaimana bisa kita berhenti bicara soal HAM?
Bagaimana mungkin kita mampu lupa? Bukankah tidak masuk akal jika kita memaklumkan ini sebagai RESIKO POLITIK?
*
Tak hanya dulu, sekarang pun masih ada: kelompok masyarakat yang dieksploitasi pemodal, digencet militer, dan kini kamu yang berdiri di negeri berprinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” memilih berpihak pada mereka? Yang dulu membela para teraniaya ini adalah mahasiswa yang karena pikiran, tulisan, dan tindakan politik non-kekerasannya lalu mereka ditangkap. Apakah itu juga adil?
Sekarang pun, kamu pikir persoalan pelanggaran HAM sudah kelar hanya karena kita telah berdemokrasi? Berdiri berjuang atas asma HAM tidak akan ada akhirnya. Masih ada, petani-petani yang dilenyapkan haknya demi keuntungan pebisnis. Kendeng, Kulonprogo. Dulu, hingga sekarang. Jadi jika yang sekarang tergolong kasus pelanggaran HAM dan harus diperjuangkan, apakah yang dulu bukan?
Misal saja, dalam satu dua tahun, jika waktu berlalu, apa kita juga bakal menganggap kasus-kasus pelanggaran HAM petani ini, misalnya, sebagai “masa lalu”? Sementara semuanya memang bakal jadi masa lalu.
Jika semua orang tak peduli sepertimu, bukankah ini berarti yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin? Si kuat jadi makin berkuasa, si lemah makin tak berdaya?
Jadi, menurutmu, apakah para aktivis yang hilang atau mati ini tidak punya hak asasi?
*
Dalam proses per-kepo-an mengenal Munir, saya dapati dia juga manusia biasa. Emosional, mudah meledak, fleksibel. Bedanya dengan kita, Munir bukan hanya “sembunyi” di balik tweet atau tulisan macam ini. Dia berdiri bersama korban, menggenggam pengeras suara, menyuarakan apa yang orang lain pendam, berdiri di samping ibu para korban yang hanya diam, diam, diam. Menjadi penyelamat atas ketakutan-ketakutan keluarga korban pelanggaran HAM.
Aktivis HAM terdahulu nyatanya mengisi barisan depan untuk menuntut keadilan pada Tragedi Tanjung Priok, misalnya. Kala itu, tentara berhadapan langsung dengan massa. Tanpa peringatan lebih dulu, tentara menembaki massa. Di tengah kegelapan malam karena listrik pun dimatikan, kilatan api dari senjata tentara nampak mengerikan. Makin mengenaskan karena datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, melindas massa yang tiarap di jalan. Suara tembakan terus membahana, bahkan tentara masuk ke perkampungan dan melepaskan tembakan ke segala arah. Priok betul-betul banjir darah.
Banjir darah. Mana bisa kamu lupa? BANJIR DARAH, ANJENG!
Ah, kamu tak peduli karena kamu tak mengalami?
Korban tragedi itu jelas layak dibela. Husein Safe, salah satunya, pura-pura mati di tengah mayat demi bisa hidup. Ada Yudi Wahyudi yang merasa disiksa bagai anjing.
Atau Aminatun, yang selama ditahan dia mendengar suara-suara aneh bahwa dirinya bakal segera dibunuh? Lalu suara-suara aneh itu berubah lagi, memaksa Aminatun menyatakan cinta pada Kapten Budi. Bukan hanya tubuhnya yang letih, tapi suara-suara siksaan membuat mentalnya juga hancur. Ada anak-anak yang luka hatinya belum sembuh karena sang Ayah keburu dibunuh hingga masa depannya pun dirasa melumpuh.
Lalu kalau kamu menyederhanakan semua ini politik, terus dulu ada terduga PKI yang langsung sat-set dibantai demi kebutuhan manusia atas kekuasaan: apakah kita hanya maklum? Maklum karena itu politik?
Waduh.
Ya, nggak apa-apa, sih. Omonganmu tadi tentang tidak ada gunanya membela hak asasinya manusia yang sudah mati adalah juga bagian dari hak berpendapat.
Hanya saja, barangkali kamu tak boleh lupa, nama-nama yang kamu anggap tak perlu lagi dibicarakan adalah seutuh-utuhnya masih bernyawa. Bukan angka-angka statistik saja. Lalu apakah karena politik, maka nyawa orang jadi wajar dihilangkan? Apa yang terjadi jika itu menimpa orang-orang yang kamu kenal?
Kamu bisa saja tak peduli. Itu hakmu. Mungkin kamu tidak peduli karena takut. Atau, tak peduli karena tak tahu bagaimana cara untuk peduli. Atau seburuk-buruknya kemungkinan; kamu tak peduli karena telah menjadi manusia tanpa hati nurani. Semoga kamu tak termasuk di sana, karena tanpa punya rasa peduli pada sesama, hidup kita akan kehilangan makna. Hidup kita tidak akan berarti banyak.
*
Barangkali orang-orang yang mempertanyakan gunanya bicara soal kasus HAM lama adalah orang-orang yang sumbat jiwanya. Ia sedang mengingkari sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang mana Tuhan meminta kita membela orang-orang yang dizalimi dan tidak diam saja melihat kezaliman. Juga sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena menganggap remeh nyawa dan penghidupan orang lain bahkan saat kita sama-sama warga satu bangsa, maka ia tak berperikemanusiaan, tak beradab, dan lalai akan pentingnya keadilan bagi semua pihak, apalagi yang miskin dan terzalimi.
Apakah harus disimpulkan: kamu gagal menjadi manusia, gagal menjadi hamba, gagal jadi warga negara?
Ini semua memang politik. Kotor.
Tapi kamu bahkan tidak perlu ikut demo atau jadi aktivis. Kamu hanya perlu peduli thok. Membagi info, bicara, menulis, atau gampangnya berdoa sajalah untuk mereka. Cuma itu, lho. Sementara aktivis yang kamu anggap tak ada harganya lagi itu, sesungguuhnya mereka mati saat sedang memuliakan martabat manusia. Memanusiakan manusia.
Kamu tidak peduli, ya tidak apa-apa. Tapi tidak perlu mencibir manusia yang memilih memanusiakan manusia demi kemanusiaan. Orang-orang ini telah khatam membuang egonya demi hidup orang banyak.
Kalau kata Ayah, “Fitrah manusia itu mendobrak masalah. Menghadapi masalah. Bukan lari dari masalah. Kamu dulunya lahir karena ada kekuatan untuk mendobrak.”
Dan semoga, hak asasimu tak pernah dilanggar sehingga kamu tak perlu ada di posisi mereka. Karena kalau iya, siapa yang bakal mau memanusiakan kamu? Siapa yang bakal bicara tentangmu?
*
Ini juga kritik untukmu, yang kemana-mana berkoar soal bela agama, tapi sesungguhnya kamu juga sedang jadi alat politik. Kamu lupa, bela agama juga adalah dengan jadi manfaat buat orang-orang yang dilanggar haknya, atau biar agak ke-Arab-Arab-an: dizalimi.
Ada petani-petani butuh dibela. Ada korban kekerasan yang butuh didengar. Mereka juga saudaramu, tapi kamu buang muka. Lalu merasa bangga dan benar.
Astaga.
Menghidupkan pendapat adalah hak umat, juga hakmu. Percayalah, kamu tak akan kebal dari pelanggaran HAM. Ah iya, kamu mengingatkan saya pada dialog Jung Ye-eun dalam drama Korea Age of Youth 2. Katanya, “Kamu pikir yang menimpa orang lain tak akan menimpamu?”
Untuk perkara yang semeresahkan ini, masa’ kita akan memaklumi absennya penegakan hukum atas kasus HAM lama (dan baru, sama saja) sebagai “mereka adalah korban perkara politik” saja?
Jadi kita ini negara apa? Negara hukum, atau negara maklum?
Referensi:
Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan, Munir: Novel Grafis, Menulis Munir Merawat Ingatan, dan sharing dengan beberapa kawan.
Komentar
Posting Komentar