Tahun 1968.
Pernahkah kamu melihat, seorang lelaki kehilangan ayahnya saat kelas 3 SD?
Saat dia belum bisa mencicipi banyak kenangan tentang ayah?
Saat dia tidak tahu apa-apa?
Suatu hari, anak lelaki kelas 3 SD serta adik lelakinya itu dibawa pulang oleh Kepala Sekolah SD Islam Badan Wakaf Sultan Agung. Keduanya bingung. Ini belum jam pulang sekolah, tapi kenapa Pak Abdullah, sang kepala sekolah, membawa mereka pulang?
Pak Abdullah tak berkata apa pun, hanya bersikap tenang seperti biasa. Menggandeng mereka menyusuri jalan menuju rumah kecil. Rumah orang miskin. Begitu masuk rumah, si anak lelaki kelas 3 SD, Faizal namanya, duduk di atas tikar. Adiknya, Najib, meniru perilaku si kakak.
Ibu anak-anak itu, Rugayah, kaget melihat Pak Abdullah datang. Tidak biasanya. Ada sesuatu yang salah. Rugayah memanggil ibunya, Aminah, untuk duduk menyambut Pak Abdullah.
Rugayah duduk bersama Aminah, berhadapan dengan Najib dan Faizal, sementara di tengah mereka, Pak Abdullah, mulai bicara.
“Kami tidak bisa lagi menerima Faizal dan Najib di sekolah kami. Mereka sudah sangat menunggak uang sekolah, hingga pihak sekolah terpaksa…. mengeluarkan mereka.”
Rugayah diam, diam, diam. Lalu mengucur air dari matanya. Pelan, lalu deras, lalu terus turun. Terus turun.
Tepat setahun setelah suaminya, Mustafa, meninggal dunia. Tak ada pemasukan, tak ada uang yang bisa digunakan untuk membayar sekolah. Makan nasi pun sudah mewah. Satu demi satu halangan dilewati, tapi kini, anak-anaknya yang sungguh masih butuh bimbingan ini, sebagai satu-satunya harapan baru, tapi kini harus berhenti belajar?
Tapi bagaimana lagi? Janda miskin bukan tanggungan negara.
Rugayah tidak bicara lagi. Hanya menangis, menangis. Aminah terdiam. Faizal dan adiknya bingung. Saat itu, sebagaimana anak kecil, dia tak paham. Tapi memori mengenai ibunya yang menangis terisak karena anaknya tak bisa sekolah, terpatri di benaknya, hingga sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, dan puluhan tahun dia hidup. Tak terlupakan.
Melihat Rugayah hanya menangis, Pak Abdullah ikut menangis. “Ibu Rugayah jangan bersedih,” tapi itu pun dikatakan Pak Abdullah dengan bercucur air mata. Siapa tega?
“Baiklah, kalau anak-anak saya harus berhenti sekolah.”
Itu saja.
Selesai.
Faizal dan Najib makin bingung. Mengapa mereka tak boleh lagi ke sekolah? Kata ibu, mereka harus di sini saja, di rumah. Untuk apa? Mau apa?
Datanglah seorang lelaki. Kyai Ali Kholil namanya. Dia menemui Rugayah dan meminta agar anak-anaknya tetap sekolah. “Anak-anakmu ini harus tetap dididik. Mereka perlu belajar.”
“Belajar di mana kalau tidak ada uang?”
“Di panti asuhan. Antar anakmu ke panti asuhan dulu. Setelah itu, mereka bisa mondok. Di Pabelan.”
Panti Asuhan? Tak pernah Rugayah bayangkan. Pikirannya tentang panti asuhan adalah tempat yang menderitakan.
“Anak-anakku akan menderita di sana.
“Tapi anak-anakmu harus belajar. Biaya sekolah akan ditanggung panti asuhan.”
Demi belajar. Demi pendidikan anak-anaknya. Berat sekali melepas dua anak lelaki pergi jauh dari dirinya. Namun itu Rugayah lakukan.
Faizal dan Najib kembali bingung. Kali ini, kejutan itu bernama Panti Asuhan Muhammadiyah, Semarang. Kakak-beradik itu pindah hidup di sana, hanya berbekal seragam sekolah, enam celana dalam, dan satu sandal jepit.
Seragam sekolah, enam celana dalam, dan satu sandal jepit. Ya Tuhan…
Mereka harus hidup di sana. Tanpa ibu dan kakak perempuan. Anak 8 tahun, tahu apa? Hanya bisa menurut, karena itu perintah ibu mereka.
Faizal melangkah pelan di lorong itu. Ruangan yang jadi kamar tidurnya sempit sekali. Mereka tidur di atas tikar. Kedinginan. Itu yang Panti Asuhan punya. Saat itulah, perlahan, anak kelas 3 SD itu berpikir….
sedang terjadi sesuatu yang besar dalam hidupnya.
Seminggu setelah masuk Panti, Faizal mulai sekolah lagi. Sejak itu, bahkan sampai sekarang, hanya itu yang terpikir di benaknya. DIA HARUS BELAJAR. BELAJAR. Cuma itu yang dia mau. Hanya itu yang membahagiakannya.
Sedangkan Najib, karena masih kecil, dia banyak menangis. Terus menangis. Tak terbiasa, mungkin. Merasa kesepian, pasti. Ditinggal mati ayahnya yang miskin, lalu karena ibunya juga miskin maka dia harus hidup di panti asuhan.
Anak-anak lain merasa terganggu dengan tangisan Najib. Anak kurus itu dihardik, diganggu, lalu dipukul. Tentu itu bukan perilaku yang benar. Faizal tahu dan dia tidak bisa diam.
“Najib ini anak kecil, makanya dia menangis. Tolong kalian jangan ganggu dia. Kalau kalian sakiti dia, maka kalian menyakitiku, dan aku tidak akan menonton saja. Aku akan balas kalian. Kalau kalian pukul dia, aku juga akan memukul kalian.”
Anak-anak Panti jadi tahu, Najib punya kakak bertubuh kecil, tapi nyalinya tak bisa diremehkan.
Kepada Najib, Faizal menjelaskan, “Najib, aku harus melindungi kamu. Kamu harus kuatkan diri buat hidup sama aku.” Dia ingin adiknya sadar inilah kondisinya, jangan menangis terus.
“Aku akan jadi ayahmu.”
Seorang anak kelas 3 SD.
Dia bisa saja tumbuh badung. Kasar. Pemberontak. Menolak keadaan. Rusak. Nakal. Bejat. Peminum. Remaja tawuran. Pemakai obat-obatan.
Tapi tidak. Untungnya tidak.
Dia kehilangan ayah, lalu kini harus menjadi kakak dan ayah. Bahkan dia hanya tahu ayahnya tiba-tiba meninggal. Ayah yang mengantarkannya ke sekolah dengan sepeda tua. Ayah yang masih harus mendidiknya. Ayah yang belum puas dia ajak bicara.
Tanpa gambaran lengkap tentang bagaimana menjadi Ayah yang baik, Faizal sudah harus menjadi Ayah.
Ujian itu berat. Masa-masa itu tak terperikan. Sebuah fase yang kemudian diartikan oleh Faizal sebagai titik tumbuhnya.
Titik tumbuh? Ya, karena sejak itulah, dia harus jadi berani. Keras. Berani. Keras dan berani.
Keras, berani.
Dia bela adiknya mati-matian. Dia jaga adiknya terus-terusan. Lama-kelamaan, bukan hanya menjaga sang adik, tapi Faizal juga menjaga panti asuhan. Berulang kali anak-anak lain menghinanya, “Anak panti, sekolah nggak bayar. Miskin!”
“Panti asuhan miskin!”
“Anak panti!”
Panti, panti, panti.
Tak tahukah dia, panti ini adalah rumah yang membangkitkan mentalnya? Atap yang menerimanya? Memori sedih tak terperikan, tapi juga kenangan yang menyelamatkan?
Anak-anak nakal itu tak lepas dari kejaran Faizal. Dia tahu, orang tak boleh berbuat seenaknya. Faizal membalas satu per satu semuanya.
Apa kataku tadi?
Keras, dan berani.
Dia berhasil lulus SD dengan nilai memuaskan, lalu melanjutkan sekolah ke STM. Lulus STM, Faizal merantau ke hutan Kalimantan 4 tahun lamanya. Sebuah perjalanan yang menurut kakaknya, “menantang, menyeramkan.” Di situlah mentalnya lagi-lagi terasah.
Keras dan berani.
Dan sabar.
*
Tahun 2017, malam ini.
Faizal duduk di depan anak sulungnya, seorang perempuan, yang baru saja berbagi perasaan tentang lelaki dan pernikahan. Kepada anaknya itu, Faizal berkata.
“Sungguh, Inas anakku, jangan mengharapkan percepatan kebahagiaan. Jangan berharap cepat kaya, cepat sukses. Itu sia-sia. Jalan cepat apalagi yang ditempuh dengan cara batil itu tidak ada gunanya, malah menyengsarakan di dunia dan akhirat.”
Kebahagiaan itu bentuknya apa pun, ya harta, ya jodoh. Jangan minta percepatan kebahagiaan. Kamu harus menikmati proses. Itu jauh lebih berharga, di situ letak kualitasmu.
“Aku! Kelas 3 SD! Kehilangan ayahku! Dan harus jadi ayah, jadi kakak buat adikku yang masih kecil! Aku harus belajar, Kak! Berat!”
“Kak, kamu tahu, Allah memberi ujian sesuai porsinya. Kamu ingat kan, di Al-Qur’an, Allah itu selalu menyuruh kita untuk belajar dari kisah orang-orang terdahulu, maksudnya adalah belajar dari kisah Nabi. Nabi Nuh alaihissalam tidak diberi cobaan yang sama dengan Nabi Ya’qub alaihissalam. Nabi Yusuf alaihissalam tidak sama ujiannya dengan Nabi Ibrahim alaihissalam.”
“Kamu tahu, Nabi Ibrahim itu Kak, dibakar di dalam api! Dibakar api! Kakak bayangkan, cobaan hidup apa yang lebih berat selain DIBAKAR DALAM API?”
“NDAK ADA! Kamu itu kalau dilempar ke dalam api ya bisa apa? Ndak bisa ngapa-ngapain! Tapi Ibrahim percaya bahwa Allah Maha Penolong bagi hamba-Nya yang taat. Yang yakin. Maka kata Allah, api itu diperintah jadi dingin. Diperintahkan untuk menyelamatkan Ibrahim. Dinginlah api itu, selamatlah Ibrahim.”
“Nabi Ibrahim itu dibakar api dan tetap hidup bertahun-tahun kemudian, karena apa? Kepercayaan dan tawakkalnya pada Allah!”
“Maka Kak, perkara jodoh, kalau kelak, kamu, atau siapa pun yang mendengar nasihat ini, jika dia kedapatan jodoh yang brengsek, kamu harus ingat, kamu setidaknya tidak dibakar api! Sehingga cobaanmu itu kecil sekali. Kalau cobaan-cobaan kecil itu kamu rasa berat, ya imanmu gimana?”
Iman itu naik turun, memang. Ndak apa. Kamu akan merasa jatuh dan sebagainya, tapi temukan cara untuk membangkitkan lagi dirimu. Allah ndak menciptakan kita secara sia-sia. Kita tidak dituntun secara sia-sia. Selagi kamu shalat 5 waktu, kamu ndak maksiat, kamu belajar agama, yakinlah Allah sayang sama kamu.
“Doakan saja nanti kalau kamu menghadapi orang yang brengsek. Doakan saja! Kamu tahu? Umar itu dulu orang yang paling memusuhi Nabi Muhammad saw. Selalu ingin membunuh Nabi. Tapi terus apa? Dia ditampar dengan hidayah lewat adik perempuannya sendiri. Jadilah dia, justru, orang pertama yang melindungi Nabi Muhammad saw. Seketika kafir Quraisy mau jahat sama Nabi juga mikir-mikir.”
“Lalu orang brengsek itu? Doakan aja dia. Doakan, pasrahkan. Doa itu bisa mengubah manusia, Kak. Orang brengsek ini kalau didoakan juga bisa jadi orang saleh. Apapun Allah bisa lakukan. Allah sudah tetapkan takdir, tapi kita diberi hak untuk meminta. Diberi hak untuk bergerak.”
Maka jangan hakimi orang-orang ini. Memangnya, kamu penentu takdir? Kamu itu siapa, bisa cap orang seenaknya? Bisa menyebut orang itu sesat, salah?
Habiburrahman El-Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta menyebutkan, takdir itu ada di ujung usaha manusia. Usaha dulu, nanti kalau usahanya baik, insya Allah takdirnya baik.
“Kamu kelak juga akan duduk bengong saat orangtuamu mati. Itu sama seperti aku bengong saat ayahku mati. Maka kamu tidak bisa berharap pada manusia. Manusia itu mati. Saat manusia mati, hilanglah peganganmu.”
“Berpeganglah sama Allah, karena Allah ndak bakal mati.”
*
Sekarang semuanya masuk akal.
Darimana Ayah dapat kekuatan itu? Mental seperti ini? Keberanian seperti ini? Bahkan ketika diancam akan dibunuh.
Itulah kenapa, mungkin betul kata saya kemarin…
Ayah dididik oleh takdir.
Lalu begitulah takdir kemudian dia yakini: Bahwa Allah mengambil ayah Faizal demi mendidik anak lelaki ini untuk paham bahwa jadi lelaki bukan untuk mendayu-dayu galau. Jadi lelaki bukan untuk merayu perempuan sana-sini. Jadi lelaki bukan untuk sibuk dengan pencarian jati diri yang bukan di jalan Allah.
Lelaki itu kelak akan jadi pemimpin bagi keluarga. Dan pelajaran untuk menjadi pemimpin itu HANYA BISA DIDAPAT saat dia belum menikah. Bukan muluk soal agama saja, tapi juga soal kebutuhan sehari-hari. Pipa yang macet, genteng yang bocor, body mobil yang sempal, sampah yang menyumbat, setrika yang tidak bisa panas, mesin cuci yang pengeringnya rusak.
Raih pengalaman sebanyak-banyaknya. Cukupi diri dengan ilmu-ilmu. Proses belajar bukannya berhenti setelah menikah. Memang akan terus terjadi. Tapi setidaknya, kamu punya bekal untuk jadi pemimpin bagi seorang perempuan yang konon ditakdirkan punya kelemahan dan keterbatasan tertentu.
Menikah itu bukan seremoni sekali seumur hidup, melainkan perjalanan sampai mati.
Dan hikmah ini selalu jadi kesadaran yang terperbarui setiap kali Faizal mengenangnya. Selalu ada benang-benang memori baru yang tersambungkan dengan peristiwa meninggalnya sang Ayah. Selalu ada ikhtisar yang membuatnya yakin bahwa…
Allah tidak sembarang menulis takdir seseorang.
Tinggal kamunya saja yang yakin, bahwa kamu harus tawakkal. Kamu harus mendekat dan mengenal Allah untuk tahu bagaimana menghadapi cobaan. Untuk paham bagaimana harus hidup. Bayangkan kamu mau berenang, tapi tak punya ilmu berenang.
Apa kemudian? Tenggelam, sudah. Kalau tahu ilmunya, kamu akan mengayuh kakimu menyerupai katak, menggerakkannya sambil menggerakkan tanganmu melebar ke samping kanan dan kiri. Tak hanya sibuk bergerak, kamu akan tahu bahwa kamu perlu mengangkat kepalamu untuk mengambil udara. Kamu perlu bernapas supaya punya tenaga untuk menggerakkan kaki dan tanganmu lagi.
Lalu kamu mau hidup tanpa tuntunan?
Tenggelam, sudah.
Tenggelam di air bersih sih, masih mending.
Tenggelam di api neraka?
Siapa suka?
Na’uzubillaahi min dzaalik.
Saya sayang sama kalian, jadi saya bagikan ini ke kalian. Kalau ada hikmahnya, Alhamdulillah. Kalau tidak, saya ingin menjadikan ini sebagai pengingat bahwa Ayah saya istimewa.
Ini rahasia: cerita tadi itu dituturkan Ayah dengan mata merah. Suara bergetar. Air mata yang terus disapu.
Sebuah pemandangan yang membuat saya yakin, ini penting.
Barangkali... itu perasaan terdalamnya, saat tengah membesarkan seorang anak perempuan di zaman now. Dengan tantangan yang lebih luas, ujian yang lebih beragam, fitnah yang lebih tersamar.
Saya ingin menyimpannya. Walau hanya di sini.
**
Komentar
Posting Komentar