Banyak orang yang bisa langsung menebak, "Inas Arab, ya?" tapi lebih banyak orang yang nggak percaya kalau tahu saya keturunan Arab, karena memang muka saya enggak ada Arab-Arab-nya, hehehe.
Namanya aja cuma keturunan, cin. Ibarat Harry Potter, saya masuk geng Hermione; darah campuran.
Eh tapi, adik perempuan saya Arab banget wajahnya, sih. Entahlah.
Nah, biasanya, setelah tahu kalau saya ada keturunan Arab, orang-orang akan melayangkan pertanyaan tertentu. Menurut mereka, orang Arab ya seperti itu. Apa pertanyaannya?
1. "Oh kamu Arab, ya? Berarti nanti dijodohin, dong!"
First of all, nggak cuma orang Arab yang mungkin dijodohkan. Semua orang bisa mengalami itu kan, ya? Tapi pertanyaan ini selalu ada. Terutama saat saya pulang ke Semarang.
"Inas pulang Semarang mau dijodohin, ya?"
Hahaha, enggak, alhamdulillah keluarga saya nggak sekaku itu.
Dulu sih waktu kecil, saya sering banget dijodoh-jodohin sama Mama. Tentunya dengan yang sesama keturunan Arab.
Pernah, saya punya satu temen, sebut aja Bebeb. Saya dan Bebeb memang super temenan dari kecil, kami les bahasa Inggris bareng, les pelajaran bareng, rumah kami juga dekat. Habis les, biasanya kami main bola. Di antara mereka, saya memang cewek sendiri. Jadilah saya ikut-ikutan main bola bareng para cowok itu, daripada bengong.
Pernah, saat kami main bareng-bareng di kamar saya, Ayah nyeletuk, "Udah, Inas nanti dinikahin sama Bebeb aja."
Mama saya dan Mama Bebeb juga sudah sering bilang "Kak, Mama sudah teken kontrak sama Mama Bebeb, lho. Kamu nanti nikah sama dia."
Itu saya masih SD, cuy. Bayangin! Hahaha. Dari SD sudah dijodohin.
Saya dan Bebeb tumbuh di dunia berbeda, berpisah lama, sampai akhirnya nggak pernah komunikasi. Mama Bebeb masih suka nanya-nanya ke saya, tapi ya sudah, nggak sampai gimana-gimana.
Menjelang dewasa, saya juga dijodohkan lagi. Saat sekarang memasuki usia pantas nikah pun, ameh-ameh mulai memasangkan saya dengan A, B, C, dan semuanya saya "hehe"-kan saja.
Bukannya nggak mau dijodohin, sih. Menurut saya perjodohan yang baik ya akan memberi hasil yang baik. Tapi kondisinya hatinya saya emang belum siap. Dan sesungguhnya saya terganggu dengan "paksaan" menikah dengan ras tertentu seperti ini, muehehe.
Saya juga tetap membuka pintu pertemanan dengan siapa pun, melayani obrolan dengan siapa pun asal mampu bikin saya tertarik ngobrol.
Setahu saya, ada orang Arab yang hampir selalu menjodohkan anak-anaknya dengan sesama Arab. Mereka disebut Arab Sayyid atau Ba'alwiy (CMIIW). Sedangkan menurut asal-usul keluarga, saya bukan termasuk Arab Ba'alwiy, melainkan Arab Syekh.
Sehingga, saya nggak bisa dijodoh-jodohkan dengan segala jenis Arab, melainkan hanya dengan Arab Syekh. Dan, karena saya termasuk jarang keluar rumah, bahkan menghabiskan 5-6 tahun di Jakarta, itu berarti koneksi saya dengan para Arab Semarang ini pun sungguh minus.
Jadi, untuk menjawab pertanyaan itu: saya enggak dijodohin.
2. "Orang Arab kan biasanya belajar agama? Kok ambil Jurnalistik?"
Iya dong, ini pertanyaan pernah hadir juga. "Kok nggak belajar agama?" Lah, kalau orang Arab doang yang belajar agama, sampeyan gimana? Cuma menadah dari para keturunan Arab? Haduh, buyung. Ini nih yang bikin fenomena "habib" jadi melenceng jauh kayak sekarang. Alhamdulillah hak asasi tetap ada, kok.
Banyak kerabat saya yang memilih menyekolahkan anaknya di Saudi, atau Mesir, atau Libya, terutama kalau anaknya cowok. Tapi ya itu pilihan. Banyak teman Arabian saya yang belajar kedokteran, kedokteran gigi, farmasi, dan lainnya.
Nggak ada yang begituan, cyn.
3. "Ih, Inas berarti suka yang itu-nya gede?"
Yak, ini agak sensor, ya.
Sesungguhnya pertanyaan ini sangat mengganggu buat saya, karena itu berpotensi menimbulkan candaan kotor dan obrolan tak senonoh. Yang melemparkan pertanyaan tadi biasanya bakal senyum-senyum jahil. Preketek.
Awalnya saya nggak paham, maksudnya itu gede tuh apa. Baru mereka menjelaskan, "Itu-nya orang Arab kan gede. Itu di Puncak juga ramai orang Arab asik-asik."
Ck. Dasar khalayak ramai. Ini pertanyaan yang paling sering saya terima, sekaligus paling mengganggu. Saya cari yang gede nyali aja. Ea.
4. "Berarti kamu nikahnya cepet, dong? Orang Arab kan paling umur 20 tahunan udah nikah. Enggak kuliah, malah."
Nah, bayangin pertanyaan ini meluncur saat kamu lagi sama gebetan. Aduh, kalang kabut. Langsung buru-buru menjawab, "Eh, enggak kok enggak! Nggak kayak gitu, kok!!!!!"
Hehehe. Itu kejadian dulu banget, sih.
Setahu saya, ada memang orang Arab yang begitu. Anaknya lewat masa dewasa, langsung dinikahkan. Nggak perlu nunggu 20 tahun pun, begitu sudah 17 tahun, atau sudah akil baligh, langsung cus.
Masih ada juga orang-orang yang berpikir, "Perempuan nggak boleh pakai makeup sedikit pun. Kalau pakai makeup itu tandanya kamu sudah menikah."
Teman Arabian saya pernah malu ditegur begitu di depan tamu undangan pernikahan. Ceritanya, doi memang suka pakai makeup, tapi simpel sih, hanya lipstik tipis, bedak, alis mata, dan celak. Langsung ditanyai sama sesepuh, "Lho, kau sudah nikah, tah?"
Jreeeeeeng.
Tidak semua Arab seperti itu.
Ada seorang Abi yang saya kenal sangat demokratis. Dia ayah teman saya, sebut saya Rani. Rani ini suka belajar dan ingin selesai kuliah kedokteran. Sang Abi mendukung penuh, meski sudah banyak banget lelaki yang antri ingin menikahinya, karena Rani memang cantik pol, pintar pula.
Tapi, karena masih ingin kuliah, alhasil sang Abi harus berkata kepada para pria itu, "Maaf, anak saya masih kuliah. Kalau mau, tunggu dulu sampai selesai kuliah." Tidak semua pria mau menunggu, kebanyakan pun mundur.
Beda dengan adik Rani, Syaiba dan Sulis. Keduanya meminta untuk segera diikat setelah lulus SMA. Sang Abi dengan senang hati memenuhi permintaan itu. Beliau mencarikan lelaki untuk kedua adik Rani tersebut. Kini, keduanya masih kuliah, tapi sudah punya "pasangan".
Sang Abi ini inspiratif sekali buat saya. Beda dengan keluarga saya, beliau betulan Arab tulen. Tapi, tidak kolot sama sekali. Kepada anaknya yang ingin belajar, Abi memberi dia kesempatan dan dukungan. Kepada anaknya yang ingin dijodohkan, Abi juga memberi mereka pintu-pintu menuju lelaki terbaik pilihannya.
Sayangnya... Abi Rani sudah tiada. Untuk pertama dan terakhir kali saya bertemu Abi Rani saat beliau sudah terbujur kaku di atas krenda. Tapi, cerita-cerita tentang cara beliau mendidik anak bakal selalu saya kenang.
Al-faatihah....
Komentar
Posting Komentar