Langsung ke konten utama

Unggulan

Dear, Rawi (5)

Halo, Raw. Ada banyak yang ingin Uma sampaikan, sebagai pesan yang bisa kamu baca saat kamu bisa mengakses internet. Tapi waktu menulis semakin sedikit.  Uma masih ngos-ngosan membagi waktu antara menemani kamu bermain, memikirkan dan menyiapkan makananmu, atau singkatnya mengurusmu selama 24 jam. Kemudian masih harus mengurus rumah, mengurus urusan Jidah dan Jid saat kita di Semarang, dan lain-lainnya. Lalu yang tak kalah penting: bekerja. Uma sangat menikmati semuanya, Raw. Tapi ya itu, jadinya waktu untuk menulis seperti ini jadi semakin sedikit.  Saat Uma menulis ini, kita sedang ada di Semarang. Kita menghabiskan, mungkin 2 minggu di sini. Rawi semakin bonding sama Jid. Bahkan kalau ditanya, "Rawi anaknya siapa?", kamu akan menjawab, "Jid." Hahaha, mungkin Rawi segitu senangnya dengan Jid karena Jid suka bermain dengan Rawi, bukan hanya sekadar mengawasi Rawi bermain. Jidah juga sama.  Raw, ada satu hal yang terus mengganjal di pikiran Uma. Ya bukan cuma satu, ...

Doa siang, untuk Mama dan Ayah.

Mama, Ayah,

apa yg bisa inas lakukan, Ma, Yah? Inas di sini cuma bisa berdoa dan menangis. Rasanya ingin berhenti dari semua ini. Berhenti kuliah, berhenti memikirkan tetek bengek bertitel masa depan, berhenti berandai. Dan hidup bersama kalian.

Cuma itu yg inas mau sekarang.

Please, ya Allah,
jaga mama sama ayah. Inas rela menukar seluruh waktu, harta, prestasi, nyawa, bahkan surga inas sekalipun, untuk mereka. Agar mereka tetap hidup, sehat, tegar, dan bahagia demi anak-anaknya.

Amin.

Oke, sebut gue lebay.
Yang jelas bagi gue, orang tua itu suatu mukjizat. Nggak ada mereka nggak ada gue.
Tanpa ayah, gue nggak ngerti agama gue.
Nggak ngerti siapa Tuhan gue, dan apa yg harus gue lakukan utk mencapai Surga.

Ayah nggak hanya ngenalin gue sama agama, tapi juga membuat gue menjadi perempuan yg seharusnya.
Perempuan yang sadar belajar. Perempuan yang bekerja. 
Berdaya, pintar, dan mandiri.

Ayah bahkan ngajarin gue gimana menggunakan palu, bor, kuas cat.
Memasak, menyapu, berkendara.
Ayah adalah segalanya. Ayah adalah hidupku.

Mama?
Jangan tanya. Beliau orang paling tegar di dunia, dan aku sangat mencintainya.
Mendengarnya sakit sama saja dengan GALAU stadium akhir.
Tangisan mama tangisanku, galau mama galauku.
Sama seperti tangisanku adalah tangisan mama, dan galauku adalah galaunya mama.
Mama tak pernah pergi dari sisiku sebelum aku berhenti menangis.
Mama akan berkata, "Mama juga rasanya pengen nangis kalau lihat kamu begini."

Mama ku bukan mama kalian, yg pandai menggunakan riasan wajah, berkebaya modern, menggenggam smartphone, bahkan lihai ber-laptop. Atau bahkan punya account Facebook?

Mamaku hanya merias wajah saat akan kondangan, itu pun seadanya. Ia tak menutupi keriputnya sedikitpun. Bajunya selalu gamis yg itu-itu saja. Ponsel? Oh no. Sampai sekarang mama tak tahu bagaimana mengirim SMS.

Itulah Mamaku. Beliau lebih suka berkutat di toko atau dapur. Hobinya memasak dan cari uang.

Dua manusia ini menjadi sangat berarti. Rasa itu muncul, sayangnya, setelah aku jauh dari mereka. Dan ini menyedihkan.

Aku mencintaimu, Ayah, Mama. Sepenuh hati, dengan seluruh jiwa dan raga.

Love,

Inas.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer