Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usul ke Pemred dan tok

Kita Kartini, Kini dan Nanti

sumber: weheartit

“Seandainya kami dapat datang di negeri yang musimnya berganti-ganti, negeri musim panas dan dingin, tanah asal ilmu pengetahuan, kami akan mencari bekal di sana untuk perjuangan besar yang hendak kami lakukan untuk keselamatan dan kebahagiaan bangsa kami kelak. Belajar! Belajar!”(Surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton dan Nyonya di Jena, 10 Juni 1901)


Sejak kecil kita mengenalnya, Raden Ajeng Kartini. Ingatkah kamu, dulu, saat TK, begitu tanggal 21 April tiba, anak perempaun dirias dan memakai baju adat. Anak lelaki pun demikian. Beberapa sekolah mengadakan arak-arakan, membawa anak-anak berpakaian adat berjalan dari sekolah, keliling ke sekitar sekolah, lalu balik ke sekolah lagi. Sebuah hari besar yang diperingati meriah sekali. Dari kisah Kartini, kita kenal istilah “emansipasi wanita”, cermin perjuangan Kartini dalam melepaskan diri dari cengkeraman ketidakadilan, serta menghidupkan mimpi-mimpinya menjadi perempuan berpendidikan. Kegigihannya itu layak menjadi teladan.

Tapi, bagaimana kita mampu mengimani sifat atau sikap Kartini dan menerapkannya di era zaman now? Mari kita selami lagi pergumulan Kartini di masa hidupnya dulu, sehingga kita bisa memetik hikmah dan merefleksikannya kepada “perjuangan” kita sebagai perempuan abad ini.

Kartini menomorsatukan pendidikan. Satu ini harusnya tak pernah luput dari benak perempuan, bahwa seorang perempuan kelak bakal menurunkan anak-anak cerdas, dan anak-anak inilah yang diharapkan meneruskan kemajuan bangsa.

Seperti kutipan pembuka di atas, Kartini muda begitu bergairah untuk belajar. Bayangkan, untuk belajar saja Kartini harus menyusun strategi merayu bapaknya. Gairah belajar itu tumbuh subur sejak ia dipingit. Zaman feodal dulu, sudah lumrah anak perempuan dipingit di umur 12 tahun. “Pada usia 12 tahun, saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk ‘kotak’, terkurung di rumah, terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu lagi selama belum memiliki suami seorang lelaki yang sama sekali asing, yang dipilih orangtua bagi kami untuk menikahi kami, sungguh tanpa sepengetahuan kami.”[1]

Tengok betapa beruntungnya kita, perempuan abad 21, yang kebanyakan tak lagi mengalami masa pingit. ‘Kotak’ pingitan itu mengilhami Kartini. Dengan segala kemampuannya, ia kemudian bekerja keras menghilangkan sistem feodalisme yang tak memanusiakan manusia dan hanya menguntungkan kaum bangsawan. Karena bagi Kartini, semakin tinggi kebangsawanan seseorang, harus makin tinggi pula tanggung jawabnya untuk berlaku adil pada rakyat.

Begitu Belanda mendirikan sekolah-sekolah di wilayah Hindia Belanda, Kartini memohon kepada Ayahnya agar diizinkan pergi ke Semarang untuk sekolah di sana bersama saudara laki-lakinya. Ia berjanji akan giat belajar sehingga orangtuanya tidak mengeluh tentangnya. Kartini bahkan berlutut di depan ayahnya. Bayangkan, berlutut! Tapi bagaimanapun jua, anak perempuan yang pergi jauh dari orangtua akan jadi cercaan dan gunjingan, sehingga kata “tidak” itu terdengar, dan Kartini menangis, lari ke kolong tempat tidur.

Dulu perempuan kita harus begitu sedih dan tersayat hatinya hanya untuk diizinkan ke sekolah, sedang kita, perempuan era sekarang, sudahkah mensyukuri kemudahan kita dengan belajar lebih khidmat, tidak menyepelekan guru dan peraturan sekolah atau institusi pendidikan lainnya, serta tidak mengabaikan pendidikan? Jika pun tak mampu bersekolah tinggi-tinggi, kenapa kita tak berjuang menjadikan pendidikan yang singkat itu bermanfaat? Setinggi apa pun, pada akhirnya, pendidikan kelak akan menjadikan kita manusia dengan “nilai” lebih, lalu mengeluarkan kita dari kondisi tidak tahu menjadi tahu, yang mana harganya sungguh, sungguh tak ternilai.

Masalah tak langsung selesai saat akhirnya Kartini dimasukkan ke sekolah rendah yang didirikan Pemerintahan Hindia Belanda. Di sana, ia berteman dengan anak-anak Eropa. Kartini pun diterima di sana karena ia masih keturunan bangsawan. Tapi, di sekolah ini, lagi-lagi Kartini “diuji”. Ia mengalami diskriminasi karena warna kulit cokelatnya. Di kelas itu, anak-anak dikelompokkan berdasarkan warna kulit. Urutan pertama tentu kulit putih, lalu setengah putih, lalu kulit cokelat. Selain diskriminasi warna kulit, anak-anak juga dibedakan berdasarkan status sosial dan susunan kepegawaian. Ada juga guru Kartini yang enggan memberikan nilai tinggi bagi anak-anak berkulit cokelat termasuk dirinya.

Diskriminasi macam ini mungkin tak banyak terjadi sekarang. Tapi hal lain yang bisa ditarik dari kisah diskriminasi Kartini adalah bahwa ia perempuan yang toleran. Apa yang menjadi fokusnya saat itu adalah belajar, sehingga tak penting rasanya harus menjadi kulit putih atau cokelat. Kartini percaya ia perlu mengorek kecerdasan orang Eropa, maka itulah fokusnya. Didiskriminasi tak membuatnya jadi rasis, putus asa, dan malah mendiskriminasi orang lain.

Jadilah seperti Kartini, seorang perempuan yang punya cita-cita. Waktunya tak banyak habis untuk bergalau dengan urusan asmara semata. Kalaupun galau, ingatlah, Kartini “galau” pada tempatnya. Ia memikirkan ide-ide baru, kemajuan, rakyat, masa depan, dan bangsa.

Saat Kartini sudah mengenal dunia pendidikan, Kartini jadi paham pentingnya dunia pengajaran. Sejak itu ia ingin membuang jauh-jauh tradisi wanita feodal. Kartini ingin maju dan terus melebarkan cakrawala yang sudah terbuka di benaknya. Ia ingin ke Belanda, ke Eropa. “Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa tersebut ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan bahagia. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah; mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa.”[2]

“Siapa yang membuatmu (teguh) pada cita-cita itu?” tanya Nyonya Nellie van Kol, anggota Oost en West, tempat Kartini mengajukan bantuan beasiswa ke Eropa.

“Itu adalah petunjuk Tuhan,” jawab Kartini.

Betapa teguh tekad itu. Apakah kita masih bisa mencontohnya?

Apa yang dilakukan Kartini itu kiranya masih relevan untuk menjadi cita-cita kita, perempuan era digital. Cita-cita itu tidak muluk-muluk, tidak melibatkan perang dan pertumpahan darah.

Maka nilai lain yang perlu kita ikuti adalah rasa peduli. Rasa peduli Kartini pada pendidikan perempuan di sekitarnya yang selama ini dikungkung oleh tembok feodalisme melahirkan mimpi mendirikan sekolah dan melepas mereka dari ketidaktahuan.

Bagaimana dengan kita? Tahukah Anda bahwa jumlah anak jalanan masih tinggi? Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pernah merincikan, ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia, diantaranya 5.900 anak menjadi korban perdagangan manusia, 3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000 anak jalanan.[3]

Artinya, kita masih kita punya kesempatan untuk “mengabdi”. Lalu, kenapa anak-anak? Karena mereka lebih rentan terlibat kekerasan dan tindak kriminal. Mereka masih benih atau bibit yang bisa tumbuh subur menjadi apapun sehingga kita berkesempatan menentukan arah tumbuh mereka. Atau jika tak terjangkau, coba lihat sekitar rumah saja. Mengajarkan baca tulis kepada orang-orang yang kurang mampu, atau mainlah ke panti asuhan. Sikap peduli ini tentu tak hanya di ranah pendidikan, tapi juga bidang lain. Namun karena pendidikan adalah salah satu suplemen dasar untuk meningkatkan kualitas hidup dan diri manusia, maka ada baiknya itu jadi salah satu prioritas. Dengan pengetahuan yang memadai, semakin luas juga kemampuan dan kreativitas manusia demi menghidupi dirinya.

Yang tak kalah penting, dunia digital seperti sekarang ini memberi banyak ruang bagi penipuan dan pemanfaatan perempuan sebagai objek eksploitasi. Wicaksono, pengamat sosial media yang akrab dikenal lewat akun @ndorokakung mengatakan bahwa pengguna sosial media, terutama remaja, rentan terhadap bahaya internet. Pasalnya, mereka lebih luwes membuka diri di dunia maya, apalagi pada lawan jenis, tanpa sadar dirinya jadi bahan intaian.

Wicaksono menyebut penjahat itu sebagai “serigala dunia maya”. Ada penipu, pemerkosa, pedofil, yang memanfaatkan dunia maya untuk melancarkan misinya. Maka, batasi diri dalam beraksi di sosial media. Hindari juga membagikan konten berbau pornografi ataupun kata-kata berbau sarkastik karena tak hanya menjadikan akun kita tidak sehat, tapi juga memungkinkan kita terkena jerat UU ITE Pasal 28 ayat 2, dengan hukuman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar.[4]

Selain cita-cita mulia itu, Kartini punya satu cita-cita lain yang pernah ia tulis dalam suratnya. “Kamu tahu kegemaran saya terhadap kesusteraan, dan tentu tahu juga bahwa saya bercita-cita menjadi pengarang yang berpengaruh.”[5]

Keinginannya itu berawal dari kesukaannya membaca, terutama saat berada dalam pingitan. Kala itu, hanya buku yang mampu menemaninya, menghiburnya, dan tentu membukakan cakrawala keilmuan untuk memperjuangkan rakyatnya. Dari situlah, ia ingin menulis, mewakili suara rakyat lewat tulisannya, memberi manfaat lewat pena.

Bagaimana dengan kita, perempuan era digital, dengan kucuran kemudahan teknologi dan akses informasi? Harusnya kita punya ladang yang lebih luas untuk ditanami. Kita tidak hanya punya kesempatan untuk bercita-cita, tapi juga menghidupkan cita-cita itu. Ada baiknya perempuan masa kini tak hanya fokus pada gaya semata, tak hanya peduli dengan apa yang tampak di mata, hanya untuk menunjukkan kemewahan fisik saja. Kartini barangkali dulu pun tak peduli dengan macam itu. Fokuslah yang mampu menstabilkan perjuangan. Ia punya tujuan, lalu menyusun cara-cara mencapai tujuan itu. Kendalikan diri Anda. Sudahkah kita melakukannya?

Kartini berani karena benar. Ia berani menuntut berbagai hak untuk hidupnya karena tahu dirinya benar, apa yang ia minta adalah benar haknya, tak menzalimi pihak lain, tanpa berniat mengambil keuntungan pribadi. Kartini bertindak berani karena ia tahu yang ia perjuangkan adalah kebenaran dan membawa manfaat bagi rakyat. 

Kartini tetap eksis setelah menikah. Kartini menikah, konon berkat "disuruh" Ayahnya. Namun, Kartini sebagai istri tetap aktif belajar dan berjuang. Memikirkan cara lepas dari ketidaktahuan, kebutaan akan informasi dan ilmu. Didirikannya sekolah bagi perempuan, supaya perempuan Indonesia tak hanya jadi konco wingking.

Mungkin kali ini saya bicara tren yang sedang marak: nikah muda. Tapi, perempuan tidak hanya diharapkan hidup mendampingi lelaki. Mereka juga harus ikut membangun masyarakat dengan ilmu, berhak terlibat dalam ranah politik, serta kritis terhadap negara ataupun isu-isu yang merebak di masyarakat, terutama jika berkaitan dengan kepentingan rakyat, seperti yang diperjuangkan Kartini dahulu.

Bicara tentang Kartini berarti bicara tentang emansipasi. Kartini memperjuangkannya karena dahulu ruang geraknya dibatasi tembok-tembok rumah, hanya buku dan tulisanlah hiburannya. Saat ia keluar dari tembok pun, diskriminasi lain ia terima, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Tak hanya di masa Kartini. Pada zaman Yunani Kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan seperti Plato (427-347 SM), Demosthenes (384-322 SM), dan Aristoteles (384-322 SM), perempuan hanya dianggap sebagai alat penerus generasi, pembantu rumah tangga, serta pelepas nafsu seksual lelaki sehingga perzinaan merajalela.

Filosof Aristoteles bahkan menganggap perempuan sederajat hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan “kehormatan” perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana/hina tanpa bicara. Tentu, apa yang terjadi pada masa itu tak diharapkan untuk terulang lagi sekarang.

Ingat, emansipasi itu bukan perempuan di atas lelaki, atau perempuan menguasai lelaki, perempuan menguasai dunia, dan sejenisnya. Emansipasi adalah upaya peningkatan kemampuan perempuan untuk mendapat hak yang sama dengan lelaki.

Kata “emansipasi” toh tak sepenuhnya digunjingkan lagi di era sekarang. Perempuan sudah punya akses yang sama dengan lelaki, untuk beropini, berpolitik, bersikap kritis, berpendidikan. Perempuan bukan lagi cuma “teman di belakang”; entah di dapur atau di kasur. Perempuan kini memimpin, berkarir.

Tapi emansipasi bukan berarti perempuan menguasai lelaki. Kamu mungkin bisa menggunakan kata “kemandirian” untuk mengganti "emansipasi". Seperti yang ditulis Prof. Quraish Shihab, kemandirian perempuan mengharuskannya tampil sebagai perempuan dan bangga dengan identitasnya. Kemandiriannya tidak boleh lebur sehingga menjadikannya lelaki, dan juga tidak membuatnya harus mengalah dan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak dan kewajiban setara dengan lelaki. Kemandirian menjadikannya berkewajiban menolak setiap upaya yang bermaksud mengeksploitasi keunggulannya sebagai perempuan demi tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kehormatannya sebagai manusia dan sebagai perempuan. Kemandiriannya menuntut mereka untuk tidak terpaksa harus menerima begitu saja apa yang diperintahkan kepadanya –walau oleh ayah atau suaminya.

Filosof dan sastrawan kenamaan asal Mesir, Anis Manshur, menuturkan, “Pada 1965 di Amerika, diadakan konferensi internasional yang membahas tentang keluarga. Salah satu yang disepakati kala itu adalah bahwa sungguh lebih baik masyarakat untuk menjadikan lelaki tetap lelaki dan perempuan tetap perempuan, dan dalam saat yang sama kedua jenis kelamin ini diberi kesempatan yang sama." 

Memang benar –kata pakar-pakar yang berkumpul itu– ada perbedaan antara perempuan dan lelaki serta benar juga keduanya memiliki kemiripan. Bisa saja diupayakan mencairkan perbedaan-perbedaan antara keduanya, misalnya dengan mendidik anak-anak lelaki agar memiliki kelemahlembutan dan rasa kasih sayang serta melatih perempuan melakukan pekerjaan yang menggunakan tangan dan alat-alat perlengkapan. Akan tetapi, bagaimana pun juga, perbedaan-perbedaan keduanya tetap menonjol jelas, baik dalam jasmani, jiwa, sosial, maupun sejarah.[6]

Betapa pun, melalui perbedaan itu masing-masing memiliki kemandirian yang pada akhirnya bertujuan menciptakan keharmonisan di antara keduanya sebagai prasyarat bagi terwujudnya masyarakat yang penuh kedamaian dan kesejahteraan, asalkan perbedaan yang ada tidak lantas mengakibatkan supremasi lelaki.

Barangkali ada bagian-bagian yang kurang tepat jika kita membandingkan hidup di era Kartini dan hidup di era kita kini. Tapi pada faktanya, kembali menyelami dan meneladani semangat juang Kartini nyatanya masih relevan dan mampu menghidupkan semangat kita untuk jadi perempuan yang lebih berkualitas.

Sebagai penutup, kutipan surat Kartini di bawah ini adalah pesan kuat bagi kita, perempuan berjiwa muda, yang menjadi harapan besar bagi Kartini.

“Aduhai, jangan biarkan jiwa yang muda belia, tenaga yang segar bugar itu hilang lenyap! Dalam arti yang baik tenaga seperti itu harus diperas demi kepentingan bangsa, yang memang sangat memerlukan tenaga yang demikian.”[7]


Referensi:
Shihab, M. Quraish. Perempuan. 2014. Tangerang: Penerbit Lentera Hati.
Ulum, Amirul. Kartini Nyantri. 2015. Yogyakarta: Pustaka Ulama.
[1] Surat Kartini pada Nona E. H. Zeehandelaar (Jepara, 25 Mei 1899)
[2] Surat Kartini kepada Tuan H. H. van Kol (21 Juni 1902)
[3] Sumber: http://www.antarajateng.com/detail/mensos-jumlah-anak-terlantar-di-indonesia-mencapai-41-juta.html
[4] Inasshabihah. 2014. “Asal Beropini Bisa Berujung Bui”. Majalah Intisari Edisi Agustus 2014.
[5] Surat Kartini pada Nona E. H. Zeehandelaar (11 Oktober 1901)
[6] Termaktub dalam buku Min Awwal Nazhrah fi al-Jins wa al-Hubb wa az-Zawaj karya Anis Manshur
[7] Surat Kartini kepada Nyonya R. M. Abendanon (24 Juli 1903)

Komentar

Postingan Populer