Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi tak masalah kalau mau dianggap begitu. Yang penting, saya menulis dengan jujur.
Buku di atas berjudul
Memoar of Jeddah: How Can I Not Love Jeddah?, menceritakan tentang pengalaman Jihan Davincka yang “terpaksa” pindah ke Jeddah mengikuti suaminya dipindahtugaskan ke sana. Tak disangka, hidup Jihan di negeri Timur Tengah justru penuh kejutan. Satu per satu prasangkanya runtuh, satu per satu rasa syukurnya tumbuh.
Sejak awal membaca, saya sudah menahan air mata. Sungguh, susah sekali. Pasalnya, saya belum lama ini diberi Allah kesempatan untuk singgah ke Saudi, sehingga membaca tulisan Jihan membuat saya membayangkan betapa istimewanya Mekkah dan Madinah, dan betapa saya merindukannya.
Bahasa Jihan lugas. Kata-katanya di awal kisah juga seolah mewakili pikiran saya kala menginjakkan kaki ke Kota Suci Islam; Mekkah dan Medinah. Saya hanya menganggap keduanya sebagai kota untuk ibadah. Tapi sekarang, cita-cita saya seolah hanya; pindah ke Madinah. Hidup di Madinah.
Awalnya, Jihan pikir, Jeddah adalah kota serba terbatas. Dia bakal jarang keluar rumah, karena konon perempuan tak aman jalan sendirian. Kalaupun keluar harus pakai abaya, dan dilarang menyetir. Teman-temannya memberondong Jihan dengan pertanyaan, “Eh, ada berita penyiksaan TKW, tuh. Bagaimana di sana? Aman?” atau “Enak tidak sih, pakai baju hitam di bawah teriknya matahari?”
Lagipula, saat suaminya bilang akan pindah ke luar negeri, Jihan membayangkan Paris, London… bukan Jeddah. Tapi seperti kata pepatah, “Bila kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan, mungkin saja itu keberuntunganmu.”
Bahagia itu bisa diciptakan, sebagaimana kepindahannya ke Jeddah yang awalnya menimbulkan keresahan, belakangan justru membuatnya bersyukur. Ia mampu mendatangkan bahagia dalam hidupnya.
Siapa bilang bersyukur itu mudah? Namun, untuk rasa syukur yang berharga mahal itu, Allah menjanjikan ganjaran yang tidak sedikit.
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih. (Ibrahim: 7)
Ketika Mekkah Begitu Dekat
Bagian yang tak kalah bikin nyesek adalah saat Jihan menceritakan mudahnya berumrah selama ia tinggal di Jeddah. Kalau kita di sini, kudu nabung dulu, nyari waktu untuk cuti kerja atau kuliah dulu, ngurus administrasi macam-macam, baru bisa berangkat.
Sementara suami Jihan ngajak umrah itu kayak ngajak nge-mall! Tinggal nanya, "Lagi sibuk nggak? Umrah, yuk. Abis aku nyuapin dan mandiin anak-anak, kita berangkat."
Sudah iri? Saya sih sudah. Aduuuh, nyesek di dada. Ini cita-cita saya banget. Umrah terus! Jarak kediaman Jihan hanya 70 kilo ke Baitullah. Satu jam perjalanan.
Sudah makin iri? Saya sudah.
Astaghfirullah, nggak papa kan iri sama kebaikan? Hehehe.
Tapi, walau jalan di sana lebar-lebar, jangan tergoda untuk ngebut, ya. Kalau tertangkap kamera pengaman, kamu bakal dijerat denda ratusan riyal.
Walau begitu, menurut cerita pembimbing umrah saya, di Saudi sudah lazim orang kebut-kebutan di jalan. Maklum, jalannya luas, bebas macet, tolnya gratis pula. Siapa tak tergoda? Alhasil, banyak kasus tabrakan di sana. Kalau orang Arabnya tak sabaran, mereka akan saling bentak. Tapi ada satu trik untuk menenangkan orang Arab yang marah; suruh mereka shalawat. Katakanlah, “Shollu ‘alan Nabi,” artinya, bershalawatlah untuk Nabi. Sambil elus atau peluk mereka. Kalau berhasil, trik ini akan membuat mereka tenang dan damai. Sama seperti di Mesir.
Jarak memang dekat. Biaya? Waduh, bensin di Saudi itu turah-turah alias banyak banget! Tinggal tancap gas, sejam sampai di basement parkiran mall atau hotel, lalu jalan kaki ke Masjidil Haram.
Sementara di sini, haji kudu antre 7 tahun. Biaya tak main-main. Kesehatan juga harus siap sedia. Sedangkan mendaftar haji di hamla (biro haji) lokal Saudi sudah terjangkau harganya, plus fasilitas memadai pake banget.
“Dari Indonesia? TKW, ya?”
Itulah pikiran banyak orang Indonesia saat bertemu dengan Jihan. Dikiranya, Jihan adalah TKW asal Indonesia, atau istri TKI. Hahaha.
“Ikut suami apa bagaimana, Mbak?”
“Ikut suami, Bu.”
“Kok bisa ya, bawa istri? Katanya susah, lho.”
Aduh, kasihan, tapi lucu juga ceritanya. Stigma itu masih melekat; stigma yang menunjukkan betapa orang Indonesia dianggap “rendah” di sana. Jadi mereka sering takjub kalau lihat ada orang Indonesia bisa Bahasa Inggris. Pasti ditanyainnya, “Masya Allah! Malasya?” Huuu, dikira orang Malaysia doang apa yang bisa Bahasa Inggris.
Di Masjidil Haram, anak Jihan bahkan pernah diberi uang oleh jamaah asal Indonesia. Katanya, “Belajar yang rajin. Ingat kerja keras Ibu.” Hihihi. Sungguh dianggap pembantu.
Kata Jihan, biarpun kadang marah dan sakit hati, setidaknya saya belajar kalau diperlakukan seperti itu rasanya tidak menyenangkan. Jadi, jangan lakukan hal yang sama pada orang lain.
Pengalaman itu membuat Jihan belajar untuk tidak menghakimi orang lain hanya karena stereotip yang menempel pada mereka. Misalnya, Jihan sempat berpikir bahwa perempuan Arab itu angkuh. Tapi ternyata, saat berhaji, saat ditangani dokter Arab, juga pada saat-saat yang lain, Jihan sadar stigmanya salah. Banyak perempuan Arab yang ramah dan menyenangkan.
Makanan Indonesia? Melimpah Ruah!
Tak perlu panik bawa bumbu macam-macam dari tanah air. Cerita Jihan, makanan Indonesia banyak sekali di Saudi. Bumbu dan rempah juga mudah ditemukan di toko-toko Indonesia. Indomie apalagi. Harganya berapa? Dua ribu lima ratus rupiah, konon lebih murah dibanding di Sidney.
Menurut cerita, Indomie jadi hits di Saudi karena dibawa oleh para TKI/TKW yang nggak mau ribet saat kondisi kepepet lapar. Mereka pun menyodori Indomie pada anak-anak majikan mereka, dan diteruskan pada keturunan berikutnya, sehingga hits lah makanan itu.
Jeddah Bukan Kota Tertinggal
Apa yang terbayang tentang Arab Saudi? Padang pasir? Bangunan jadul? Hahaha. Selamat, Anda sama kudet-nya dengan mereka yang masih berpikir bahwa film India isinya joget-joget di pohon doang :p
Pengen nge-mal? Mudah sekali, kok. Bahkan di seberang Masjidil Haram ada pertokoan beken dan ramai siang-malam. Komplit pula: apotek, toko baju, outlet makan, toko perhiasan, banyak! Mal di Jeddah rata-rata hanya dua lantai, tapi luaaaas bukan main. Salah satu mal terbesar ada di Jeddah, namanya Red Sea Mall. Kalau yang pernah saya lihat saat meninggalkan Mekkah, namanya Mall of Arabia. Gerai internasional macam Zaea, Mango, Guess, mudah sekali didapat di sana.
Jadi, Saudi bukan hanya desir pasir di padang tandus, seperti lirik lagu :P
Cita-cita Final
Saya menemukan buku Jihan ini diantara tumpukan buku diskon. Waktu itu, nggak ada buku yang masuk kategori “layak beli” buat saya. Keliling sana, keliling sini. Lalu, mata saya tertubuk pada buku ini. Baca judulnya saja, saya langsung penasaran. Baca sinopsis di belakangnya… wah, kudu beli! Saya bersyukur sekali dipertemukan dengan buku ini. Selain untuk bernostalgia, buku ini juga memperkuat keinginan saya kembali ke Tanah Allah.
Sungguh saya ingin hidup di Madinah.
Saya ingin merasakan debur Pantai Dhurrat.
Menggelar tikar di Corniche Road.
Menyusuri pantai kota Yanbu yang airnya bening sekali.
Melihat air mancur tertinggi di dunia; King Fahd Fountain.
Memanjakan mata dengan pemandangan hijau, udara dingin nan segar di Thaif.
Melangkah di atas awan Al Baha.
Mandi pasir di Bahrah.
Jalan-jalan ke Masjid Nabawi, Kiblatain, Kuba.
Menyimak sisa perang Khandaq di Jabal Uhud.
Ziarah ke Makam Nabi di Rawdah, Masjid Nabawi.
Belanja-belanji di Distrik Balad.
Menjadi borjuis di Tahlia Street.
Nonton lentera warna-warni di King Abdullah Road.
Terima kasih, Jihan, sudah berbagi kekuatan :)
Jadi gimana, sudah pengen singgah ke Madinah?
Kalau sudah, bareng yuk :)
#ea
#KodeTeruuuus
Komentar
Posting Komentar