|
I see what you did there~ |
Jelang Pemilihan Presiden, 2014.
Malam itu, selepas pulang dari kantor magang, Majalah Intisari, satu pesan masuk ke Whatsapp. Ah, rupanya dari chat grup. Saya buka pesannya, dan saya dapati kalimat-kalimat bernada amarah -- karena menggunakan banyak tanda seru dan huruf kapital, maka saya simpulkan ini kemarahan, boleh kan? Kurang lebih isinya sebagai berikut:
ASTAGHFIRULLAH!! TELAH TERJADI PENYEMBAHAN PATUNG JOKOWI DAN PERINTAH MINUM DARAH BABI DI PAPUA!
Sebarkan! Ini kisah nyata, dialami oleh adik saya sendiri. Dia sedang ada di Papua bersama keluarga. Katanya, saat ini sudah dibangun patung Jokowi di Papua. Adik saya naik mobil, melewati pusat kota. Semua orang dihentikan untuk memuja-muja patung Jokowi! Bahkan, mereka dipaksa meminum darah babi untuk merayakan kemenangan Jokowi!! Astaghfirullah!! Belum menang sudah dirayakan. Ini konspirasi jahat!! Ini adalah bentuk kezaliman! Sungguh telah datang kaum kafir yang berusaha memimpin negara ini! Islam dalam kondisi terancam!! Sebarkan pesan ini pada seluruh umat Muslim Indonesia demi menyelamatkan akidah umat!
Lalu, diikuti beberapa ayat di bawahnya.
Saya menghela napas.
Tak heran, karena grup chat itu memang terafiliasi ke partai tertentu. Dalam sekali baca, saya yakin ini berita palsu. Hoax. Notifikasi terus bermunculan, berisik sekali, menanggapi chat tadi.
Astaghfirullah…. kenapa tega sekali?????
Umat Islam harus bangkit!
Allahuakbar.. ya Allah, tolong selamatkan kami dari pemimpin kafir!!!
Kenapa saya yakin “berita” tersebut palsu?
Di tahun terakhir kuliah, saya kebetulan tertatik mengumpulkan info soal isu sosial di Papua dan mendatangi beberapa pertemuan yang membahas isu tersebut, antara lain diskusi dan pemutaran film Papuan Voices serta peluncuran buku Menuju Papua Tanah Damai, yang mana untuk pertama dan terakhir kalinya saya bertemu Pak Muridan di sini, minta nomor telepon, tapi beliau dipanggil Tuhan sebelum kami sempat ngobrol.
Dari sana, setahu saya, Papua punya puluhan masalah terkait hak asasi. Pendatang dan investor secara terang-terangan dan semena-mena memberangus hak hidup layak para warga Papua. Guru-guru tak mengajar karena tak dibayar cukup. Warga asli harus bersaing dengan pendatang untuk urusan cari makan, sementara pemerintah setempat malah berpihak pada pendatang. Pemuda-pemudanya hobi minum, hingga membawa mereka pada tindakan tidak bermoral.
Ketimpangan HAM terus bermunculan. “Kalau ada pendatang berkelahi, polisi melerai. Tapi kalau yang berkelahi orang Papua, polisi menonton saja,” begitu kata Thomas dan Lias, seorang warga Papua yang turut hadir di pemutaran film Papuan Voices. Menurutnya, ada yang mengompori konflik di Papua. Bukan tak mungkin bisa disimpulkan bahwa apa-apa di Papua sudah dipolitisir. Dikuasai kepentingan-kepentingan yang tidak mensejahterakan rakyat asli Papua.
Bahkan, sudah tahukah kamu? Tahun lalu terjadi penembakan warga Papua bernama Yulianus Pigai yang dilakukan oleh polisi di Tigi, hingga menyebabkan warga yang tak bersalah tewas. Karena tak terima, jenazah yang bersangkutan diletakkan di depan kantor polisi demi mengingatkan bahwa tindakan yang polisi lakukan sungguh brutal. Padahal, si pemuda hanya mempertanyakan hal yang sepele. Bahkan hak untuk tahu saja sudah diberangus. Kamu bisa baca beritanya di sini: http://tabloidjubi.com/m/artikel-8350-protes-jenazah-yulianus-pigai-diletakkan-di-depan-mapolsek-tigi.html.
Wallaahua'lam.
Sungguh dengan segala kepelikan itu, adakah mereka punya waktu buat memberhalakan Jokowi, lalu menyunat babi dan memaksa seluruh orang meminum darahnya? Sementara buat bertahan hidup dan membela diri saja taruhannya adalah moncong pistol “polisi”? Sementara mereka pusing melihat tanahnya dikeruk orang asing? Mereka pusing melihat usaha-usahanya melindungi alam Papua malah dirusak pendatang? Mereka pusing karena bahkan mereka bersaing dengan pendatang hanya untuk cari nafkah di tanahnya sendiri! Ini menyedihkan. Mereka sudah cukup pusing, terus sekarang kamu jadikan target berita hoax.
Kalau kata temenku, penyebar hoax itu; kere tenan. Sebenar-benar kere: kere simpati.
Huaduh.
Tak lama, sebuah chat masuk lagi. Dari si pengirim berita palsu. Katanya, “Maaf, informasi tadi ternyata hoax.”
Ingin rasanya saya balas, “Iya, saya sudah tahu.”
Saya tekan chat itu lebih lama, dan memilih fitur Leave Group. Hidup sudah riuh ramai tanpa perlu disesaki informasi kere seperti ini.
Kalau digambarin, ekspresi saya pas baca chat tadi serupa Jung Yong-hwa pada gambar di atas tadi. Aku tahu, tapi menunggu. #tsah #terLeoTolstoy
Menghadapi informasi di era kini, sesulit menaklukkan hatimu, my lov~
Lalu sekarang, agar tak terulang lagi, juga agar kita lebih kuat diri, bagaimana menghadapi informasi, terutama seperti chat di atas? Karena, bukannya berkurang, justru informasi bernada sejenis kian bertebaran.
Pertama, mengenai sang pembawa informasi. Kenali dia. Jika informasi itu kamu dapat dari situs, maka kredibelkah dia? Layakkah dipercaya? Apakah berita mereka cenderung mengarah pada sosok tertentu? Ideology tertentu? Timpangkah dia? Sudah berapa lama situs itu beredar? Obyektifkah tulisan-tulisannya? Apakah dikelola secara profesional?
Ini cara simpel, sih. Tapi saya praktikkan. Kamu bisa lihat kelayakan situs dari kualitas tulisan yang dihasilkan. Perhatikan hal-hal detail (meski sepele) seperti diksi (pilihan kata), tanda baca, dan susunan kalimat.
Contoh, kasus agen umroh First Travel yang hingga kini kasusnya masih hangat di meja peradilan. Dulu pun keluarga saya sempat tertarik menggunakan agen ini karena harganya terjangkau. Tapi saat saya perhatikan lagi, konten pada situs agen ini cukup kacau. Salah ketik dimana-mana, tanda baca tidak pas, penulisan EYD tidak tepat. Saya jadi tak yakin pada profesonalitasnya. Eh, ternyata benar, mereka penipu. Ini contoh kecil saja. Lebih luas lagi, jika berita tersebut memuat konten yang memfitnah sosok tertentu, maka kamu perlu berhati-hati karena itu artinya situs tersebut bisa jadi tidak obyektif.
Sebaiknya pembawa informasi sadar bahwa kamu diminta menyampaikan perkataan yang benar atau sadid (Al-Ahzab:70). Selain harus benar, perkataan itu juga seharusnya tak membawa si penerima informasi jadi terjerumus dalam kesulitan. Kredibilitas pemberi informasi sungguh penting. Ibaratnya, kalau di Islam, kita hanya bisa mengikuti hadis (perkataan Nabi) yang sanad atau perawi atau sumbernya jelas, tidak boleh dipercaya jika meragukan.
Kedua, carilah informasi pembanding. Ini berguna untuk memperkaya sudut pandang sekaligus mencari kebenaran. “Kata orang” bisa jadi benar, tapi itu bukan jaminan. Menakar langkah dengan menilik sejarah atau latar belakang itu penting.
Ketiga, menguji tingkat kebenaran isi informasi, sebagaimana kita diajarkan untuk menyikapi kebenaran berita dengan tidak mengedepankan prasangka buruk terlebih dulu (Al-Hujurat:12). Prasangka awal tidak boleh jadi sikap akhir. Jangan lupa pesan Nabi,
“Hati-hati kalian dari prasangkaan yang buruk, karena itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ah, satu lagi yang kita sering luput. Saat menguji kebenaran berita pun, kita harus tetap berpikir adil dan objektif. Kenapa? Karena menurut Surat Al-Maidah ayat 8, “Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum sehingga kamu berlaku tidak adil.” Atau, tidak objektif.
Tuh, ingat, Al-Maidah bukan cuma ayat 51 doang isinya, he he he.
Keempat, besar manakah porsi informasi itu: mudharat atau maslahat? Buruk atau baik? Apakah informasi itu bakal berpotensi menimbulkan kesalahpahaman? Khususnya zaman now, di mana kita kenal aturan tentang tidak menyebarkan kebencian, apalagi informasi palsu. Kalau mau belajar dari zaman Nabi, dikenal ungkapan berbunyi, li kulli maqam maqal wa likulli maqal maqam, artinya, untuk setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai. Artinya, bukan tidak mungkin ada kebenaran yang harus ditangguhkan lebih dulu penyampaiannya demi kebaikan bersama. Kenapa? Karena ini terkait dengan kemudharatan dan kemaslahatan yang diakibatkan informasi itu.
Wallaahu a’lam.
Kini, tiap-tiap kita, khususnya pemerintah, harus merancang langkah ke depan untuk menyelamatkan yang tersisa. Apa saja kondisi-kondisi yang membuat hoax jadi konsumsi? Kontrol yang lemah terhadap penyebaran informasi? Apa yang membuat orang menulis hoax? Cari tenar, sensasi, atau malah demi memperbaiki kondisi ekonomi sendiri? Dari mana harus dibenahi?
Di titik ini, barangkali kita tidak mungkin memberantas hoax secara total. Kita tak bisa mengontrol apa saja informasi yang boleh menerpa kita, dan apa yang tidak. Tapi, kita bisa membangun dinding. Filter. Saringan. Sebuah rompi anti peluru.
*
Saya jelas bukan jagoan. Saya menulis ini bukan karena saya suci: tak pernah terjerat hoax. Nyatanya saya pernah membagikan link di akun Facebook yang ternyata merupakan berita palsu. Untung bukan sesuatu yang bernada rasis dan fatal. Padahal, itu berita dari kanal yang terkenal kredibel, lho. Rupanya berita itu belum dikonfirmasi ulang, atau hanya judulnya saja yang dibuat kontroversial.
Haduh, buyung. Pada situs berita mainstream pun aku sudah susah percaya...
Jadi saya bukan membagi ini karena saya merasa sudah sempurna. Ini adalah upaya mengingatkan bagi saya dan sampeyan.
Dan sejak itu, sejak diajak untuk melihat dari jauh, saya jadi tahu bahwa hoax adalah sesuatu yang menyeramkan. Hoax sangat mungkin dirakit jadi bom dan ledakannya melukai orang-orang yang rawan, yang tidak dalam penjagaan.
*
Bisakah disimpulkan kiranya, bahwa kita saat ini berada di antara persaingan kekuasaan atas informasi dan perebutan membangun opini, bahkan upaya untuk menarik massa? Sementara, informasi yang kita terima juga melalui proses penyaringan: disaring sesuai keberpihakan media, disaring lagi menurut kebutuhan, disaring, disaring, disaring. Dalam istilah berita, proses ini dinamakan framing; upaya pembingkaian suatu informasi. Tiap media berita punya pakem tertentu, sehingga berita dari sumber sama bisa menghasilkan dua cerita berbeda. Contoh klasiknya adalah saat bencana lumpur diberitakan dengan headline “Lumpur Sidoarjo”, tapi disebut “Lumpur Lapindo” di channel lain. Atau, saat Syiah Sampang digambarkan "diusir" di Harian Tempo, tapi digambarkan "dipindah sesuai keinginan Syiah" di Republika.
Maka betul kiranya jika DR Mutohharun Jinan, M Ag menyebutkan bahwa di sinilah penting bagi kita untuk bersikap bersahaja terhadap informasi, apalagi jika informasi tersebut mengarah pada pencitraan sosok tertentu, juga pada opini.
Itulah juga kenapa dear, yang perlu dibela bukanlah sosok. Sosok juga adalah manusia, punya khilaf, kepentingan, keberpihakan. Apa yang harus dibela? Pikiran adil.
Mengapa ini penting untuk lebih dari sekadar diresapi? Karena saat ini, perputaran informasi seolah tak bisa dibatasi dan diawasi. Sehingga banyak informasi palsu bertebaran yang kontennya mengandung kebencian atas golongan, ras bahkan agama tertentu. Bukan tidak mungkin hoax-hoax ini jadi peluru yang siap menikam persatuan kita dan mengancam keberagaman yang sudah subur di Indonesia sejak dulu kala. Apalagi, rasa benci dan tindakan intoleran tidak akan menjadi solusi atas masalah apapun. Karena, ketahuilah, berita-berita jahat itu hanya dibuat untuk memenuhi kebutuhan perut oknum-oknum. Apakah pantas kita “menafkahi” mereka?
Toh, kita sudah hidup dalam keberagaman dari awal. Mulai dari Hindu, Buddha, muncul Kristen, Katolik, dan Islam di Indonesia. Pahlawan-pahlawan yang darahnya terkucur di atas perjuangan kemerdekaan bukan hanya dari agama atau ras yang satu. Tapi ada banyak. Saya kira, ada pasti orang-orang Islam yang duduk di atas kuda dan berperang. Ada pula Pastor yang melindungi rakyat dari kejaran penjajah. Perbedaan ini berkah, bukan masalah.
Maka, semangat dari para pahlawan terdahulu harusnya kita maknai lagi di era kini; tak peduli apa agama dan rasmu, kita sama-sama berjuang menjaga persatuan dalam keberagaman. Kita sama-sama berjuang melawan tindakan semena-mena yang melukai hak asasi manusia.
Juga melawan kebodohan.
Arafabye aswarakwar....
Terinspirasi dari: tulisan DR Mutohharun Jinan, M Ag pada buletin Suara Muhammadiyah (Edisi No.20 /2013)
Komentar
Posting Komentar