Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Dilan 1990: tentang Iqbaal, Nostalgia, dan Apa Jadinya Jika Dilan Seorang Aktivis (AWAS SPOILER)



Sebwa introdaksyen~
Saya jarang mengambil keputusan yang serta-merta. Seringnya dipikir dulu, diukur dulu, lalu putuskan. Tapi hari ini tidak. Mungkin karena sedih mendengar kabar hard disk saya tak bisa diperbaiki, dan bahwa sesungguhnya semua hard disk punya kemungkinan rusak yang sama. Yang berat bagi saya adalah kehilangan foto dan artikel bacaan di dalam hard disk itu. Ah, berat.

Mungkin karena ingin menghibur diri sendiri, saya masuk saja ke XXI dan memesan satu tiket Dilan 1990. Sambil menunggu jam 14.45, mampirlah saya ke kedai teh di samping bioskop. Saat itu saya baru sempat mengedarkan pandang. Ramai sekali. Remaja bergerombol. Ukhti-ukhti sedang selfie. Berpasang-pasang kekasih tumpah ruah, lengkap dengan tangan saling menggenggam.

Oh, saya baru sadar… ini malam Minggu.

Di satu sudut kedai teh itu, asal Mas tahu, saya sendirian. #eh #kokJadiMas

Oke tak apa, anggap saja ini challenge ala jomblo: nonton sendirian di Sabtu sore. Accepted!



Iqbaal, Terima Kasih..
Pertama-tama, izinkan saya bersyukur karena bukan termasuk netizen julid yang nyinyir dengan judesnya kala pertama kali nama Iqbaal Ramadhan muncul sebagai pemeran Dilan.

Saya pembaca buku pertama Dilan. Meski buku lanjutannya tidak saya baca, atau belum. Sekarang sih belum. Mungkin nanti sore sudah. #eh.

Saat pertama kali baca, iya, maaf, saya tak bisa menahan kedua ujung bibir ini melengkung akibat rasa gemas sekaligus bahagia menelusuri dialog-dialog remeh tapi menggelitik hati ala Dilan (dan itu juga terjadi sepanjang saya nonton film ini).

Waktu tahu Iqbaal jadi Dilan, saya malah senang bukan main. Pertama, karena penasaran. Apa jadinya penyanyi “cilik” itu sekarang? Ah jadi ingat, dulu, saya dan Tita pernah nongkrong di minimarket sekitar Trans TV dan menyaksikan anak-anak Coboy Junior masuk ke minimarket itu sambil berlarian nggak jelas. Aduh, saya ingat bahwa saya pernah bilang, “Tit, fotoin gue sama Iqbal, dong.” HAHAHA!

Ehm, lanjut.

Kedua, ini penyegaran, man! Nama-nama yang dulu (dan kini masih) riwa-riwi layar bioskop… siapa saja? Reza Rahadian, Adipati Dolken, Vino Bastian, atau Dimas Anggara. Iqbal jelas penyegaran diantaranya, dan saya sepenuhnya tidak menyesal mengatakan ini, apalagi setelah menontonnya berakting.

Memang, harus diakui, Iqbal tak seluwes karakter Dilan dalam bayangan saya. Saat membaca novelnya, saya merasa Dilan lebih tengil dari akting Iqbal. Bernyalii, manis, luwes, dan tengil. Iqbal tak seluwes itu, awalnya. Menuju akhir, makin terasa sih Dilan-nya, walau masih kurang sedikit lagi.

Tetap saja, Iqbal berhasil tampil jadi cowok nakal yang manis. Tengil, tapi memabukkan. I am not being a fangirl here, ini murni dari perasaanku sebagai pembaca buku.

Tapi, Iqbal, terima kasih. Itu sudah cukup. Lain kali tolong, itu tatapan mata nggak usah ngeselin, bikin deg-degan. Tengil-tengil menggemaskan.


Nostalgia ala Dilan 1990

Ada yang bilang, film Dilan adalah film horor: bapaknya Milea tentara angkatan darat. Tapi ternyata, bapak Dilan juga iya. Meski tak diceritakan lebih detil. Bayangkan, duet maut antara tentara angkatan darat dengan Dilan Sang Panglima Tempur. Sedap! Iya, si Dilan ini pentolan geng motor yang rentan tawuran.

Kekhasan Dilan adalah, jokes-jokes remeh yang bikin gemas, kata-kata yang bermuatan romantis, gombal, sekaligus posesif. Ah, dan… cara-caranya mencintai Milea.

Hm, saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono, aku mencintaimu dengan sederhana. Seperti itu saya melihat Dilan mengekspresikan rasa pada Milea. Sesederhana TTS yang dia hadiahkan di hari ulang tahun Milea, membawa tukang pijit saat Milea sakit, menemaninya pulang sekolah naik angkot (sejujurnya ini agak creepy), mengirim surat-surat sederhana, dan.. menuliskan puisi tentang Milea.

Sungguh, itu sederhana sekaligus manis sekali. Seolah mengingatkan kita bahwa cinta bukan tentang harta, fisik, dan hal-hal fana lainnya, melainkan kesetiaan, keberadaan, kepedulian, dan kasih sayang. 


Maka ingatlah, perempuan di luar sana. Ingin dapat yang seperti Dilan? Belajarlah jadi Milea: menerima lelaki dengan segala kesederhanaannya menerjemahkan perasaan, dengan segala kurang dan kurang yang dia punya. Jadilah Milea yang ridha dan bahagia saat dikirimi kado TTS, dibuatkan puisi, diajak muter-muter nyari bakso.

Milea ini juga ngeselin, sih. Hehehe. Mau aja lho dia mengikuti alur ketengilan Dilan, hahaha. Termasuk, saat disuruh membagi kerupuk jadi dua dan membawa sisanya pulang untuk dijadikan santapan makan malam di rumah.

Aduh, neng.


Eh tapi, kalau dipikir lagi, serem juga ya kalau ada orang yang kita nggak kenal tapi tahu alamat rumah, ulang tahun... kalau zaman sekarang sih gampang, tinggal stalking Instagram atau Facebook. Mungkin kalau dulu, bisa tahu dari binder diary kali ya? Inget nggak, anak 90-an, yang suka tuker-tukeran binder buat ngisi biodata? Minuman Favorit, Makanan Favorit? Hahaha. Yah, jadi kangen.

*

Btw, Dilan banyak berkomunikasi lewat surat waktu awal PDKT ke Milea. Surat memang sarana berkomunikasi yang tak bakal basi. Malah klasik dan berkelas. Hmm.. jadi ingat, dulu pernah dapat surat juga. Dari teman mengaji di kampung. Dia tulis, bahwa dia suka saya. Katanya, “Ai Lop Yu.” Keesokan hari saat kami mengaji lagi, saya katakana padanya, “Yang benar itu I Love You, bukan Ai Lop You.” Sejak itu dia tidak dekat-dekat saya lagi. Entah why.

Zaman now, masih ada nggak ya kid yang berkirim surat? Yang ditulis tangan, tentunya. Bukan diketik komputer.

Masih ada juga nggak ya, yang cuci sepatu pakai sikat gigi, selain aku? Hihihi.

*

Sesungguhnya, kadang ada hal-hal yang mengganggu buat saya ketika menonton film yang diadaptasi dari buku. Salah satunya, perubahan isi cerita yang bisa jadi terkesan memaksa, sehingga filmnya nggak bisa dinikmati. Atau mungkin dinikmati hanya oleh mereka yang tidak terpapar kisah asli di bukunya. Kalau perubahannya nggak “memaksa” sih nggak apa.

Dan itu tidak terjadi di Dilan, menurutku. Terima kasih, Pidi Baiq turut hadir di sini sehingga itu tak terjadi. Karakter-karakter yang kubayangkan berhasil hidup dengan apik. Shoot-shoot cantiknya juga memanjakan mata.


Setidaknya aku belajar bahwa…
Saat kamu menyukai, bahkan mencintai seseorang, kamu sedikit banyak akan menjadi serupa dia. Bukan hanya mengerti seleranya, tapi mengikuti.

Pernah dengar nggak, ungkapan bahwa dekat dengan penjual parfum bakal kecipratan wanginya?

Sama dengan bagaimana Milea yang dingin jadi mampu membalas jokes-jokes yang bikin saya mengernyit sambil tersenyum dan bergumam “apaan sih?” Milea jadi serupa Dilan saat bercanda dan menggombal. Lucu sekali.

Atau mungkin Milea memang berkarakter menyenangkan dan mudah hanyut seperti ini?

“Sun jauh, jangan? Jangan deh, sun dekat aja nanti.”

AAAAAKKKK GELIIII ADUUUH!

Iya, film ini full gombalan. Bersiaplah tersenyum selama nonton.

Inti ceritanya sederhana, sih: suka, PDKT, pacaran, cemburu.

Soal cemburu.. Dilan pernah bilang begini, “Cemburu itu untuk orang yang tak percaya diri. Dan aku sedang tidak percaya diri.”

Kok bisa ya Pidi Baiq nulis itu? Gemas.

Atau yang ini,

“Ke KUA, yuk. Halamannya aja. Pemanasan.”

Sederhana, ya. Tapi bikin nyengir-nyengir bahagia gimana gituuu, ya kan?


Ah, satu lagi, saat Dilan dan Milea makan mie dan bakso. Dilan minta Milea tidak tertawa karena tawanya itu bagus dan bisa membuat pengunjung lelaki di samping mereka suka pada Milea. Milea malah menantang, dia bilang bakal tersenyum.

"Terserah. Paling nanti aku berantem sama dia."
"Kenapa?"
"Rebutan."
"Aku mau kamu yang menang," kata Milea. 

Ekspresi Dilan selepas Milea bilang begitu, adalah ekspresi yang super manis. Sama seperti saat Milea tiba-tiba mencium tangannya di depan Bi Asih.

Aduh, mules. 

Jika Dilan seorang Aktivis
Melihat Dilan marah sungguh pengalaman menyenangkan. Iqbal mampu mewakili ekspresi itu. Tatapan matanya, rambutnya yang berantakan, gerak tubuh, teriakan, semuanya garang. Saya bisa merasakan perasaan Milea saat melihat Dilan marah: takut, khawatir, tapi sayang. 
Sempurna. 

Pertama, saat Dilan berkelahi dengan guru BP, Pak Suripto. Amarahnya meledak setelah sang guru menarik kasar seragamnya bahkan menamparnya di depan umum. Sontak Iqbal, eh Dilan marah, mengejar si Guru dengan tinju teracung.

Catatan: Teuku Rifnu Wikana ini menarik juga, sudah jadi pahlawan di film-film sebelumnya, lalu kini jadi guru BP yang “pengecut”, takut pada Dilan. Penyegaran.

Kedua, saat Dilan menyerang Anhar, yang adalah teman sepermainannya. Itu terjadi karena Anhar menampar Milea. Ingat kan, kata Dilan: Jangan bilang ke aku ada orang yang menyakitimu. Nanti orang itu hilang.

Ah, harus kutambahkan, akting Anhar sungguh keren. Saking kerennya bikin terbawa pengen gebuk dia. Aura jahatnya betulan nampak. Bravo! Plus, adegan berantem mereka nggak sembarangan, cuy. Betul-betul hidup! Nggak macem berantem abege. Konon, adegan ini diarahkah oleh koreografer The Raid. Nonton sendiri deh, ya...


Selain Anhar, adik Dilan dan adik Milea juga syantik-syantik. Aduh, iri deh.

Sorry but I can’t help myself. Saya jadi membayangkan, jika Dilan seorang aktivis.

Kemarahan Dilan, hasratnya membela diri dan membela Milea, luarrrr biasa. Itu yang membuat saya sekilas membayangkan, kalau dia tumbuh jadi aktivis gimana, ya? Seandainya dia berhenti dari aktivitasnya sebagai Panglima Tempur dan segala adegan berantem, lalu “hiijrah” jadi pembela kaum yang terpinggirkan?

Sedikit banyak karakter Dilan satu itu mengugah saya. Yang tak terima saat seragam sekolahnya ditarik seorang guru hanya karena dia pindah barisan. “Guru itu digugu dan ditiru,” kata Dilan. Jadi jika Bapak bisa menampar saya, saya bisa kan menampar Bapak? Wow. Karakternya yang berani membela diri saat haknya dilanggar itu.. wow.

Jangan. Jangan jadi aktivis, ding. Jangan-jangan nanti Milea malah menyuruhmu berhenti di tengah jalan, karena takut kamu kenapa-kenapa. Jangan-jangan nanti kamu terlampau emosional.

Jangan, jangan.

Udah, Dilan belajar aja. Tuh, buku Tafsir Al-Azhar-nya dibaca, ya.

(Iya lho, kelihatan ada buku tafsir Al-Azhar di kamar Dilan. Ada yang notice, nggak? Atau aku salah lihat? Hehehe.)

*

Maaf melantur.

Akhirul kalam, saya sudah mengapresiasi karya Pidi Baiq ini sejak awal. Dia menuliskan cerita biasa tapi membungkusnya dengan bingkai yang tak biasa. Kekhasannya memikat. Karakter tokoh, terutama Dilan, jadi idola. Secara sederhana. Sesederhana candaan Dilan. Yang saat jatuh cinta aja pakai bikin surat pemberitahuan. Yang minta doa kemana-mana biar jadi beneran sama Milea. Jadian pun pakai bikin surat proklamasi bermaterai.

Dilan dengan ketengilannya yang sederhana dengan mudah jadi idola. 

Dan Iqbal mewakilinya dengan pas.

Mendadak saya merasa muda!

Anyway, jangan lupa… ingat pesan Dilan satu ini: Iqra’, Milea!
(Ini quotes yang lebih ngena dibanding “rindu itu berat”, by the way.)

IQRA', MILEA!

P.s.: “Percayalah aku sedang mengucapkan ‘selamat tidur’ dari jauh. Kamu nggak akan dengar.”

Komentar

Postingan Populer