Langsung ke konten utama

Unggulan

[REVIEW BUKU] Ada Apa dengan Introver: Siapa, Mengapa, dan Bagaimana

Mungkin memang enggak ada yang namanya kebetulan, melainkan takdir.  Takdir untuk buku ini adalah, saya dapat masukan dari Mbak Lintor untuk menyusun buku tentang move on , kala itu kata move on sedang beken-bekennya, sekitar tahun 2014-2015? Iya sekitar segitu. Blio juga mengusulkan seorang psikolog bernama Pingkan Rumondor, yang dalam waktu dekat bakal mengisi seminar di Universitas Indonesia, untuk menulis buku soal move on  itu.  Proyek itu disambut hangat oleh mbak Pingkan. Dalam proses menulis dan mengedit naskah blio, saya pun mengunjungi tempat blio mengajar di Binus untuk ngobrol , hingga akhirnya dalam sebuah kunjungan, saya bertemu mbak Rani Agias Fitri . Di sana, lahirlah obrolan mengenai rencana penulisan buku blio mengenai introver, sebuah bidang yang menjadi kajian mbak Rani. Kebetulan saat itu, blio dan rekannya, Regi, tengah menyelesaikan proyek tugas akhir mengenai introver pula.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, gitu kali ya peribahasanya. Saya pun usu...

Aku dan Film India Melawan Dunia (I): Curhat Seorang "Angry Young Man"


Sebagai sebenar-benar penggemar Shah Rukh Khan (SRK), yang sampai mengunduh segala video wawancara dan konferensi pers-nya, aku sudah memaafkan Cak Mahfud.

Iya, aku sudah memaafkanmu, Mas.

Saat kamu bilang Kuch Kuch Hota Hai, film India sejuta umat yang jelas berjasa menjadi pintu turunnya ilham pada anak 90-an bahwa drama India sungguh beautiful, kau anggap serupa air bah, banjir bandang, angin puting beliung, dan segala jenis bencana alam lainnya --aku memaafkanmu.

Oke, maaf berlebihan. Let's start the talk!

*





Suatu malam, saya iseng scrolling di Instagram @bukupocer, kalau ndak salah. Seperti biasa, cuci mata lihat buku, walau dalam hati merintih perih karena banyak buku kece yang belum terbeli. Lalu terpaparlah mata saya oleh buku Cak Mahfud ini.

Yang terjadi berikutnya terlalu cepat... mengirim direct message ke akun tersebut, memesan buku, dan.. buku datang! Iya ini padahal pas lagi bokek banget, tapi gimana ya namanya demen...

Saat iseng sharing buku ini ke Facebook, saya baru tahu bahwa Cak Mahfud adalah kakaknya Cak Habib, senior saya di Majalah Intisari dulu. Dan setelah baca buku ini... saya baru tahu Cak Mahfud adalah pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 lalu! Waw.

By the way, bukunya bertanda tangan, lho! Sebuah kemewahan.




Judul: Aku dan Film India Melawan Dunia I
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: EA Books
Tebal: viii + 150 hlm.


Kenapa tertarik baca ini?
Tentu, jelas, karena, ada muatan "film India" di dalamnya. Mana mungkin diriku sebagai pecinta Bollywood bisa tahan tak tergiur begitu melihat buku ini Seingat saya, saat itu saya juga sedang jengah dengan dunia K-pop, butuh sesuatu yang beda gitu, setelah sekian tahun lamanya nggak bersentuhan intens dengan drama India lagi. Bagi saya pribadi, film dan lagu Bollywood selalu klasik, indah, dan menjanjikan. Meski makin ke sini, drama anak muda yang kerap dibintangi Alia Bhatt atau Sidhrath Malhotra, misalnya, lebih banyak dilatari musik-musik EDM kekinian, yang jelas tak lagi klasik.




Bukunya tentang apa?
Ini bukan sekadar buku "pembelaan" seorang penonton minoritas terhadap film India di tengah terjangan film Barat yang tak terperikan, tapi juga perjalanan Cak Mahfud mengenal film tersebut, yang membentang sepanjang buku.

Pertemuan Cak Mahfud dengan film India dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya, di sebuah desa di pesisir utara Jawa. Berkat kebiasaan nonton film India di desanya, begitu saja, film India menjadi takdir tak terelakkan yang kemudian mengisi hidup doski.

Bagaimana bisa kamu tidak menyukai musik yang lahir dari peradaban tertinggi dan tertua di dunia? -Mustofa

Saya selalu berpikir bahwa sayalah penggemar berat drama India yang tumbuh dalam siksaan karena tak punya teman diskusi yang sehat dan kesulitan mencari film.




Tapi, di depan Vijay Avtara (nama India yang dipakai Cak Mahfud), saya merasa kerdil. Doi telah menjadi minoritas sejak dalam pikiran. Di SMA, Cak Mahfud jelas mencolok karena dendangan favoritnya adalah O Priya Priya, sementara teman-temannya menggandrungi Slank atau KLa Project.


Cak Mahfud kepada Shah Rukh Khan: sedikit suka, banyak tidaknya?
Bagi saya, Kuch Kuch Hota Hai adalah bencana. Tak ubahnya banjir bagi seorang penduduk di tepian Bengawan Solo. Ya, Kuch Kuch Hota Hai adalah banjir dan saya adalah penduduk muara Bengawan Solo yang malang.


Iya, jadi gini. Sejak Kuch Kuch Hota Hai merekah di permukaan, serta mampu merebut atensi banyak penonton yang bahkan awalnya tak menggemari film India -bahkan mungkin dulunya ikut mencaci-, industri film India pun seolah "mendapat ketenaran hebat yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya," sejak itulah film India tak lagi sama di mata Cak Mahfud. Kesuksesan film ini sekaligus memproklamirkan nama raja baru yang bakal "menggantikan" Amitabh Bachchan: Shah Rukh Khan.

Padahal, kala itu, SRK barulah aktor pembantu, di saat Aamir Khan dan Salman Khan sudah bersinar lebih dulu, justru. Namun, kemunculannya yang mendayu pada Dilwale Dulhania Le Jayenge dan Dil To Pagal Hai akhirnya menyeret SRK seolah ditahbiskan jadi the unbeatable superstar lewat Kuch Kuch Hota Hai.




Lalu apa yang membuat Cak Mahfud sebal? Rupanya karena... kehadiran film tersebut menyapu (hampir) bersih film India ber-genre angry young man yang adalah kesukaan Cak Mahfud, dan saya juga suka sih sebenarnya. Soalnya, genre ini fokus pada tokoh utama berusia muda, seringnya miskin, antikemapanan, penuh cinta dan dendam. Jelas lebih menantang dibanding kisah cinta-cintaan.

Awalnya, sebutan angry young man ini dialamatkan pada sosok Amitabh Bachchan, yang kemudian menghasilkan Bachchan lainnya seperti Anil Kapoor, Sunny Deol, dan Jackie Shroff, hingga Aamir Khan. Merekalah yang kerap mewakili imej lelaki garang, berotot, pemarah (definisi dari angry young man), yang berjuang demi diri dan keluarganya. Angry young man juga disajikan dengan isu yang kental dengan realitas masyarakat, semisal isu sosial-politik, hubungan antarkelas, hingga kesenjangan negara dan warga. Bisa dibilang genre ini menghasilkan film yang berat dan berkualitas, maka keredupannya membuat Cak Mahfud "sedih." By the way, mungkin Kaho Naa... Pyaar Hai adalah salah satu film angry young man "kekinian", diperankan secara perkasa oleh Hrithik Roshan.

Eh, nggak ding.


Kaho Naa.. Pyaar Hai (giphy) 

Angry Young Man yang hidup enggan, tapi kalau mati ya dirindukan

Salah satu karakter yang menonjol dari angry young man seringnya disebut Inspektur Vijay (lihat deh betapa Cak Mahfud emang penggemar angry young man, wong nama India-nya saja cetho-cetho Vijay, meminjam kekhasan genre itu, muahahah). Tahu kan, nama ini sering muncul di film India zaman dulu, mewakili karakter polisi jujur yang bertekad memberantas kejahatan. Meski kini kisah serupa jarang nampak, tapi masih ada beberapa angry young man yang muncul di era 2000-an, semisal Ghulam-nya Aamir Khan, juga Dabangg dan Singham.

Menurut Cak Mahfud, genre kesukaannya ini hampir tersapu dari daftar film India. Genre ini sudah jarang muncul ke permukaan, dan itu, diakibatkan dobrakan SRK, dengan tarian dan air mata, bukan jotosan dan amarah khas genre angry young man.


tatapan yang mampu menggusur para aktor angry young man hehe 


Tapi Cak Mahfud, jika ini mungkin... sesungguhnya angry young man pernah kembali, bahkan salah satu pemerannya adalah aktor yang menurutmu jadi dalang banjir bandang perfilman India: Shah Rukh Khan. Ya, dalam film Raees, SRK kembali menjadi antihero dengan memerankan Raees si penjahat, ditumpas oleh "Inspektur Vijay" favoritmu. Scene-scene-nya jelas lebih kekinian. Ingat kan saat sang polisi membumihanguskan miras? Gambar di-shoot dari atas dengan zoom in - zoom out. Kece parah. Kecerdikan pak polisi juga semenarik film angry young man dulu itu, meski tentu, tetap, tidak maksimal.



Apapun, demi film India...

Saya pikir, cuma saya yang menderita karena menjadi penggemar India di tengah lautan hiburan Barat. Tapi nggak juga. Penderitaan dan perjuangan Cak Mahfud jelas tiada dua. Doi sudah menggemari film India sejak zaman nonton televisi aja masih numpang tetangga. Itupun kalau tetangganya membolehkan. Kalau tidak? Kadang terpaksa bohong demi bisa nonton. Itupun, bayangkan, kalau filmnya belum selesai tapi doi terpaksa pulang, berarti doi cuma menonton separo, dan harus cari cara untuk menonton separonya lagi. Masa-masa mencekam saat hidup bergantung pada mesin diesel dan aki. Dan, kalau tengah-tengah nonton aki-nya mengering hingga habis, layar televisi bakal mengecil hingga setelapak tangan, lalu habis. Bar.




Sebuah perjuangan, sedangkan saya tinggal nanya teman, "Ada film India yang ini, nggak?"

Ah, maafkan aku...

Lewat narasinya, Cak Mahfud nggak hanya menjabarkan asumsi perkara film India, tapi juga menyelipkan cerita dirinya sebagai seorang santri yang tiap Subuh menghafalkan ikrar-ikrar jihad Hasan al-Banna, menyanyikan nasyid, memajang gambar Syekh Masoud di lemari pakaian, dan lainnya. Detil itu membuat saya merasa dekat dengannya, dan seketika menjadi penggemar meski kami beda mazhab. Saya mazhab Khan, doi mazhab Vijay. Uhuk. Canda, Cak.




Berkenalan dengan Nana

Narasi buku ini semakin personal ketika Cak Mahfud membawa kita pada cerita tentang Nana, seorang aktor yang namanya tak menjulang, tapi akting serta film-film yang dibintanginya memang bagus. Demi mengikuti film-film yang Nana perankan, Cak Mahfud menjalani serentet pencarian, entah nonton lewat televisi atau lanjut bergerilya cari VCD.

Salah satu film Nana yang wajib ditonton adalah Kohram (1999). Tentang apa ceritanya? Hm, mungkin nanti saya bikinin daftar khusus film-film India yang dicuitkan Cak Mahfud di buku ini, karena semuanya rekomendasi-able. Fardhu 'ain untuk ditonton, guys!


Berjarak dengan film India: sebuah ketidakmungkinan
Ya iya lah, dari kecil tumbuh bersama, mana mungkin bisa lepas? Meski begitu, saat menempuh pendidikan sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, Cak Mahfud mengaku mengalami putus hubungan dengan budaya populer India. Tapi tak lama, pada 2009, doi reuni dengan film India lewat 3 Idiots yang dibawakan seorang teman. Barulah Cak Mahfud sadar, dirinya rindu film India.

Dikira bakal betulan berhenti menikmati India, nyatanya Cak Mahfud malah terperosok jauh. Doi menerjemahkan subtitle film India ke bahasa... bahasa Jawa. Hahaha. Hal ini menjadi urgen mengingat film pertama yang dia terjemahkan, Taare Zameen Par adalah film wajib bagi anak sekolah dan guru di desanya. Dia ingin menyebarkan film ini dan membuat dunia menontonnya. Cak Mahfud menyebutnya "beban profetis."

"Saya rupanya hanya seorang penggemar film yang dikutuk oleh keinginan terus-menerus untuk senantiasa membagi kebahagiaan saat menonton kepada orang lain. Diakui atau tidak, saya adalah penonton film yang memanggul beban profetis untuk mendakwahkannya."

Memang benar, doi akhirnya jadi "aktivis" film India betulan, yang bahkan meracuni teman-temannya. Salah satunya, mas Rudi, yang merasa cocok dengan film India bertema sosial-politik karena sesuai dengan latar belakangnya sebagai aktivis tani. Seketika mas Rudi seolah menjadi downline MLM-nya Cak Mahfud, bergairah meneruskan perjuangan mendakwahkan film India.

Kini, mas Rudi bukan hanya membawa bibit saat singgah ke desa binaannya, tapi juga menggotong serta proyektor dan flashdisk berisi film India. Tak hanya di Jogja, "dakwah" ini menyebar hingga ke kantor LSM agraria terkenal di Jakarta, tempat mas Rudi berafiliasi.

Sungguh seorang militan!






Film India bukan hanya tenang 3 Khan dan cewek-cewek cantik di sampingnya...

Saat ditanya jenis film India favoritnya, Cak Mahfud menjawab, "Mumbai Noir," setelah pikir-pikir panjang karena bingung. Jelas, tak ada romantisme dalam Mumbai Noir, apalagi tatapan sayu, atau ujaran mesra. Mumbai Noir dipahami dari perspektif Mumbai-nya, bukan noir saja. Biasanya, Mumbai Noir dekat dengan Parallel Cinema, "kelompok sineas dan aktor yang menjaga jarak dengan arus utama industri film India, baik secara finansial maupun artistik dan, kadang-kadang, ideologi," tulis Cak Mahfud. Apa saja film Mumbai Noir? Nanti saya bikinin daftarnya.. uhuy.


Klarifikasi soal SRK
Cak. Sekalipun dirimu membantah bahwa kamu tidak membenci SRK, kenapa tulisanmu terkesan lebih emosional dan berbumbu amarah dibanding ketika ngomongin lainnya, aku kan jadi su'uzon :(

Oke jadi gini, SRK dulunya adalah "bajingan gila" yang dianugerahi Best Villain dalam ajang Filmfare Festival. Bahkan Encyclopedia Britannica menyebut SRK "mendefinisikan ulang lakon (hero) dengan caranya sendiri."

Tahu kan rasanya menonton karakter jahat? Rasanya kita pengen dia mati aja, gitu. Ibaratnya kayak kita nonton tokoh Miska di sinetron Cinta Fitri Season 1 sampai 1.807. Miska jahat dan harus mati! Ya, kan? Tapi SRK menyajikan sensasi yang beda. Dia adalah penjahat kesayangan penonton.

"Jika para penjahat lainnya sudah disuruh mati sama penonton sejak awal kemunculannya, Shah Rukh adalah penjahat yang kematiannya membuat penonton kehilangan."

Ketika aktor angry young man bertebaran, Khan mengambil jalan berbeda dan risiko-risiko yang mengancam karier, dengan terjun dari satu karakter ke karakter lain, dan mau tak mau, dialah sekarang sang Raja Bollywood. SRK terbukti mampu menjadi aktor yang bagus lewat sebuah perjuangan, saat aktor-aktor lain sudah punya "jalan" berkat bantuan kakak, ayah, ibu, atau paman yang sudah punya tempat di balik tembok studio Bollywood.

Tahun 1995 adalah masa gemilangnya. Begitu Kuch Kuch Hota Hai muncul, banjir bandang itu datang dan mengubah SRK bukan lagi jadi antihero, melainkan romantic-hero. Ini membuatnya tak lagi bajingan, dan malah membosankan. Tapi, ingat, di Raees, dia kembali jadi antihero, seorang pedagang miras yang nasibnya di tangan "Inspektur Vijay"-mu, dear mz Mahfud.

Aamir Khan, dan budaya meniru di Bollywood
Saat SRK mulai mendobrak lewat karakter berbeda dalam Kuch Kuch Hota Hai, Aamir Khan masih bermain di film-film tiruan, sekalipun tenar, membekas di hati penonton, serta melambungkan namanya. Sebut saja film Mann atau Ghulam.

Tapi toh nyatanya, tiru-meniru memang kulturnya Bollywood. Tak hanya film, tapi juga musik. Yang saya baru tahu: Tinak Tin Tana meniru lagu Malaysia berjudul Yang Sedang-Sedang Saja. Saya kira, lagu Malaysia yang niru India #pyar

Dalam dekade berikutnya, Aamir lahir kembali dengan karya-karya orisinil seperti Lagaan (film olah raga terbaik yang pernah dibuat, menurut mas Mahfud), Mangal Pandey: The Rising, Taare Zameen Par, dan Gajini.

Meski begitu, bagi Cak Mahfud, film-film tiruan yang kebanyakan diadopsi dari film Hollywood nyatanya mampu membuat haru biru justru saat ditampilkan dengan cita rasa Bollywood, hahaha. Sehingga, mari kita maafkan mereka. Uhuk.

"Yang lebih buruk dari imitasi adalah cinta yang membabi buta. Tak disangsikan lagi. Ia mengabaikan fakta bahwa semua hal itu tidak sempurna. Dan kebutaan itu akan menyakitkan manakala kebenaran pada akhirnya terbuka."


Kesimpulannya?
Cak Mahfud adalah belahan jiwa saya yang beda mazhab.





Bagaimana tidak, karena nyatanya kami membagi perasaan yang sama sebagai penyuka film India, bahwa tak mudah menggemari mereka di sini, di tengah warga negara yang lebih menggilai semua kemasan Hollywood. Film India menjadi semacam sampah, kedurjanaan, materi yang tak layak dikonsumsi apalagi dibicarakan di muka umum, kecuali kamu siap dicap ndeso, dan dihujani pandangan jijik.

Pertemuan Cak Mahfud dengan film India dimulai sejak kecil, sebagaimana saya yang sejak kecil mengenal India lewat tontonan mbak rewang di rumah. Pembantu Rumah Tangga saya itu, bahkan menuliskan nama-nama aktor India atau lagu atau judul film, di tempat mana pun yang bisa ditulisi. Hehehe. Dasar, memang. Satu dari mereka bernama mbak Siti, yang kini masih betah jadi TKW di Hong Kong. Saat bekerja dengan kami, mbak Siti aktif bergerilya memperkenalkan film India. Bahkan doi berani mengecilkan baju hingga bagian pusarnya nampak, lalu memberi anting pada pusarnya, demi agar menjadi "India". Ya jelas lah ditegur sama Ayah, lalu doi berhenti melakukan itu hahaha.

Saat membaca buku Cak Mahfud ini.. saya termenung. Jadi ini rasanya menjadi penggemar Shah Rukh Khan saat membaca buku Cak Mahfud. Antara gelo dan beruntung. Gelo karena Cak Mahfud tak seperti penggemar lain yang meng-King-kan SRK, tapi juga beruntung karena bisa mengenal genre angry young man yang ternyata tak kalah menarik. Tentu, karena, muatan sosial politik dalam filmnya.

Meski kami beda mazhab, saya tetap menghormati Cak Mahfud karena doi seorang senior, sungguh lebih paham perkara karier SRK di dunia perfilman India. Saya bahkan masih harus menonton film-film King Khan yang disebutkan Cal Mahfud di sini: Hey Ram, Swades, Paheli, juga Chak De! India.

Saya bahagia membaca ini. Terima kasih, Cak, telah menemani.





Catatan: semua GIF Shah Rukh Khan diambil dari WeHeartIt, sementara lainnya dari GIPHY.
Foto buku semua dokumentasi pribadi eik.

Komentar

  1. makasih infonya gan, bermanfaat bgt. kebetulan ane jg suka film India subtitle Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Kak. Jangan lupa baca bukunya dan terus menonton film India! :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer